Manusia tidak bisa menolak kematian. Anda tahu itu. Masih dalam kepastian yang sama dengan kematian, manusia juga sulit menolak perbedaan pendapat. Seseorang melihat selembar 10 ribu rupiah itu amat berharga. Orang lain menilainya biasa saja. Seperti halnya manusia diciptakan dan akan mati, begitu juga kita diciptakan dan akan terus hidup dalam perbedaan pendapat.
Jangan menolak kematian, itu hanya menyiksa kedamaian batin kita. Dan, jangan membenci pendapat yang berbeda, karena itu juga menyiksa hati nurani kita. Kita bisa berbeda pendapat dengan ayah, ibu, atau pasangan di rumah. Tapi, apa itu berarti kita juga harus bertengkar dengan mereka?
Perbedaan Bukan Masalah
Ada orang yang begitu terganggu dengan perbedaan pendapat ini. Pada intinya ia lebih suka jika hanya ada satu pendapat. Dan memang hanya ada satu pendapat yang benar baginya. Biasanya itu adalah pendapat yang ia katakan berasal dari sumber hukum tertinggi yang harus semua orang patuhi. Sumber itu bisa berupa kitab suci, nabi, orang suci, ulama, undang-undang, keyakinan, ideologi, dan segala hal lainnya yang dianggap hukum tertinggi yang menguasai semua orang.
Hampir semua pertikaian dan peperangan yang terjadi antar manusia adalah akibat dari keinginan memberangus pendapat yang berbeda ini.
Ini yang sering luput dari kesadaran kita. Jika seseorang membenci satu pendapat, maka ia akan mengidentifikasi siapa pihak yang menyuarakan pendapat itu, dan akhirnya pihak itu menjadi sasaran empuk kebenciannya.
Seseorang bisa saja membenci paham demokrasi, tapi demokrasi itu abstrak, tidak bisa ia cium, lihat, raba, dan pukul. Ia akan mencari siapa orang yang berdiri bersama demokrasi, dan ia akan melihat, meraba, dan jika bisa, memukulnya. Uniknya, di era media sosial begini, meski tidak menyentuh tubuh seseorang, Anda sudah bisa menyakitinya.
***
Pendapat yang berbeda-beda akan selamanya ada. Mengapa begitu? Para ahli sampai sekarang masih mencari jawabannya. Mulai dari para filsuf hingga para ahli neuroscience masih berupaya mengungkap kenapa.
Tapi ada satu hal pasti yang menyebabkan perbedaan pendapat itu akhirnya tidak bisa dielakkan. Ia adalah manusia. Ya, hanya manusia yang bisa terjebak sedemikian rupa dalam perbedaan pendapat. Kucing dan anjing tidak bertengkar gara-gara, misalnya, kucing adalah monoteis sementara anjing adalah politeis. Hanya setelah spesies manusia muncul di muka bumi, bumi mulai ramai dengan perbedaan pendapat.
Apa itu artinya kita gampang terjebak dalam persepsi kita sendiri? Tidak sepenuhnya salah. Itulah mengapa kita mengenal subyektivitas dan obyektivitas. Tapi, dalam cara pandang Hegelian, subyek dan obyek sebenarnya tidak begitu terpisah. Apa yang Anda amati adalah kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang Anda amati.
Bagaimana Anda bisa tahu bahwa sesuatu adalah kebenaran, jika Anda tidak pernah mengamatinya? Nah, inilah hebatnya manusia. Ia bisa menganggap benar hal-hal yang tidak pernah ia amati sekali pun. Apa Anda pernah mengamati surga dan neraka? Tidak. Tapi Anda percaya pada keduanya kan?
Sejarah Perbedaan Pendapat
Jika kita harus masuk sedalam-dalamnya ke dalam sejarah manusia, kita akan melihat bagaimana spesies kita menciptakan banyak sekali pendapat, lalu kita bertengkar satu sama lain, lalu kita mencari jalan damai dengan menciptakan pendapat-pendapat yang baru.
Mungkin itulah salah satu cara menerapkan teori dialektika dalam sejarah. Satu pendapat muncul, lalu direspon oleh pendapat lain, lalu keduanya berhadap-hadapan, hingga akhirnya muncul pendapat baru yang menengahi, dan kelak ia juga akan ditantang pendapat yang lainnya.
Ya, sejarah kita adalah sejarah perbedaan pendapat. Manusia adalah binatang yang gemar berbeda pendapat. Jika Anda bermaksud menghilangkan perbedaan itu, maka itu artinya Anda hendak menghilangkan kemanusiaan itu sendiri. Sebuah tindakan yang sangat ahistoris.
Tapi, jika yang Anda maksud adalah menjaga perdamaian hidup antar manusia, maka Anda harus memberi ruang sebesar-besarnya kepada perbedaan pendapat itu. Sebenarnya, perbedaan pendapat adalah cermin yang menunjukkan wajah dan wujud asli spesies kita. Jangan memecahkan cermin yang memperlihatkan jerawat di pipi Anda.
***
Jangan membenci perbedaan pendapat. Karena itu artinya kita membenci diri kita sendiri. Sampai Anda menjadi raja yang menguasai dunia sekali pun, Anda tidak akan bisa menghalangi munculnya orang-orang yang berbeda dengan Anda.
Mungkin kita membenci perbedaan pendapat, karena ia mengesankan sebuah kondisi tidak teratur. Mungkin Anda membenci perbedaan pendapat, karena Anda kira ia yang menyebabkan kita berperang satu sama lain. Anda sama seperti malaikat yang bertanya kepada Tuhan dalam rangka menyampaikan gugatan: “Mengapa Kau jadikan wakil-Mu di bumi adalah dari golongan spesies yang gemar bertengkar dan menumpahkan darah?”
Tapi, apa yang dikatakan Tuhan? Apa yang ditunjukkan kenyataan? Kenyataannya kita tetap menjadi spesies pilihan-Nya. Dan kenyataannya, Tuhan tidak sependapat dengan malaikat atau pun manusia yang menganggap perbedaan pendapat adalah sumber petaka dan harus dimusnahkan. “Jika Aku mau, Aku sudah jadikan kalian semua ini golongan yang seragam,” firman-Nya. Anda jangan lupa, Tuhan bahkan pernah memberi kita sebuah pertanyaan retoris: “Apakah kalian akan membenci semua orang sampai mereka sependapat dengan kalian?”
Mensyukuri Perbedaan
Jika hari ini manusia bisa hidup dalam kedamaian (relatif, tentu saja), maka itu adalah karena setiap orang dijamin kebebasannya dalam berpendapat. Jika kita membaca kisah-kisah perang yang terjadi sepanjang sejarah spesies kita, kita akan sadar satu hal: Manusia menindas manusia lainnya karena ingin memaksakan sesuatu kepada mereka yang berbeda.
Invasi Amerika ke Irak dan Afghanistan pasca peristiwa 9/11 adalah karena mereka ingin memaksakan paham demokrasi kepada dua negara itu (selain juga karena nafsu menguasai sumber daya alamnya). Amerika merasa paling demokratis, dan merasa negara lain kurang demokratis, akhirnya memaksa orang menjadi demokratis. Padahal itu sendiri sudah mencederai demokrasi. Demokrasi adalah kemerdekaan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri.
Beberapa golongan agama menyerang dan membumihanguskan rumah, tempat ibadah, negeri, dan orang-orang yang mereka anggap kafir dan menyimpang. Mereka merasa paling paham tentang kebenaran agama. Padahal itu sendiri sudah mencederai agama. Agama adalah jalan hidup manusia dalam menciptakan perdamaian di bumi. Islam sendiri berarti kedamaian dan penyerahan diri. Bukan peperangan dan agresi.
Akhirnya, hari ini kita harus bersyukur bahwa kita hidup di negara yang menjamin kebebasan berpendapat bagi semua warganya. Meski belum sepenuhnya sempurna, kita saat ini bisa bekerja sama karena kita semua diberikan tempat yang setara.
Jangan terlalu risau pada belum sempurnanya demokrasi dan kedamaian di negara kita dan dunia pada umumnya. Kita seharusnya melihat demokrasi sebagai proses menjadi, bukan sebagai barang yang sudah jadi. Dan karena demokrasi adalah sebuah proses, maka ia harus dijaga agar tetap berjalan dan dinamis. Jika Anda berhenti mengayuh sepeda, sepeda akan rubuh, dan Anda akan jatuh.
Editor: Yahya FR