Ada tren bagus tapi penuh resiko yang sedang berlangsung dalam respon-respon berbagai negara berkaitan dengan penyelenggaran layanan pendidikan. Berkah bagi negara-negara yang berhasil memanfaatkan kesempatan ini untuk mendorong aksesibilitas pengetahuan dan informasi. Bencana bagi negara-negara yang justru menstimulasi terjadinya neo-privatisasi layanan pendidikan.
Tren kebijakan pelayanan pendidikan global sebetulnya berpotensi bergerak ke arah yang lebih baik. Di berbagai negara, muncul inisiatif luar biasa untuk memperbaiki ketimpangan pelayanan pendidikan. Tren yang mengglobal ini misalnya ditempuh dengan kebijakan menggratiskan secara penuh layanan pendidikan dan pelatihan, memberi anggaran ekstra untuk bidang pendidikan dan mendesak perusahaan telekomunikasi meningkatkan pelayanan jaringan internet.
Di Argentina, Kementerian Pendidikan menyediakan satu portal daring khusus untuk pembelajaran daring dan mengirimi buku teks pelajaran pada setiap siswa di rumah masing-masing. Portal daring itu gratis dan tanpa syarat durasi apapun. Austria dan Bhutan menggratiskan biaya penggunaan internet untuk mendukung pembelajaran daring tanpa syarat. Bulgaria, menggratiskan akun platform Google Teams dan menyediakan layanan pendampingan penyelenggaraan pembelajaran untuk para guru. China menggratiskan 24.000 layanan belajar daring untuk mahasiswa dan bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi untuk meningkatkan kapasitas internet.
***
Berbeda dengan tren global yang baik ini, Indonesia justru mengambil langkah ganjil dan beracun. Sebagaimana diketahui, selang beberapa saat sebelum pandemi menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia, ada gonjang-ganjing kebijakan RUU Omnimbus Law. Salah satunya berdampak pada penyelenggaraan pelatihan bagi calon pekerja yang disebut program prakerja dan UU Perppu No.2/2020. Malangnya, agenda ini turut merangsek dalam layanan belajar daring yang harusnya menempatkan kepentingan hak pengetahuan dan informasi. Idealnya, agenda program prakerja itu tidak membayang-bayangi atau menindih program belajar jarak-jauh dan daring.
Tren yang ditempuh pemerintah Indonesia dengan menumpang-tindihkan kebijakan layanan pendidikan jarak jauh dan agenda program prakerja ini disebut model asimetris. Jadi, alih-alih membuka kesetaraan akses atas pengetahuan dan informasi secara penuh, tumpang-tindih ini justru menambah masalah baru aksesibilitas pendidikan. Sementara itu, negara-negara lain justru sedang menerapkan model simetris dengan menggratiskan tanpa syarat layanan pendidikan dari negara dan menambah anggaran untuk pengiriman buku gratis.
Respon Bagus yang Gagal Landas
Strategi penataan layanan pendidikan selama masa pandemi di Indonesia berpotensi antiklimaks. Banyak orang berharap pada Nadiem Makarim, mantan CEO perusahaan transportasi digital yang kini menjabat Menteri Kemendibud itu untuk mengatasi problem infrastruktur telekomunikasi yang selama ini jadi masalah pemerataan pengetahuan dan informasi. Ekspektasi publik tersebut berhadapan dengan visi pembangunan ekonomi negara yang kekeuh menerapkan skema “perdagangan layanan”.
Indonesia mengambil langkah beresiko dengan deregulasi perusahaan-perusahaan penyedia layanan pendidikan. Negara memberi kebebasan penentuan tarif layanan pendidikan pada perusahaan. Negara juga tidak mau beresiko dengan membuka kemungkinan subsidi langsung atas layanan pendidikan komersil. Serta tidak mau repot membangun sistem baru bekerjasama dan berkolaborasi dengan banyak kelompok warga sipil yang sudah terlebih dahulu menyediakan sarana pendidikan gratis.
Satu-satunya intervensi regulatif negara atas layanan pendidikan masa krisis adalah menggandeng stasiun televisi publik TVRI untuk penayangan program “Belajar dari Rumah”. Itupun dengan kenyataan bahwa program tersebut hanya berdurasi tiga bulan sejak diluncurkan pertama kali pada tanggal 13 April. Padahal program “Belajar dari Rumah” ini bisa membantu pemerataan pendidikan dan informasi. Program ini juga sebetulnya sangatlah memuaskan karena menyediakan langsung tiga tema belajar, yakni literasi, numerasi, dan pendidikan karakter secara gratis.
Intervensi layanan pendidikan lainnya justru mendorong privatisasi dan asimetri informasi. Sejak kementrian menerbitkan kebijakan pemberlakuan sistem belajar jarak jauh pada tanggal 17 Maret 2020 melalui surat edaran nomor 36962/MPK.A/HK/2020, pemanfaatan layanan belajar meningkat pesat. Tidak diragukan lagi, kebutuhan terhadap platform edukasi kian sentral dalam kehidupan sehari-hari. Praktik menikmati layanan pendidikan semacam ini harus diatur dengan jelas. Kementrian juga harus mengambil bagiannya lebih dominan daripada perusahaan yang meyediakan layanan pendidikan komersial. Jika tidak, yang terjadi justru ketimpangan kualitas sumber daya manusia makin menganga.
***
Kemendikbud perlu mengatur model kemitraan dengan penyedia layanan pendidikan komersil. Sebagaimana diketahui, kementrian bekerjasama dengan sebelas platform layanan belajar daring yakni Rumah Belajar, MejaKita, Pahamify, Icando, IndonesiaX, Ganeca Digital, Kelas Pintar, Quipper School, Ruangguru, Sekolahmu dan Zenius. Jika tidak ada regulasi yang pro-kepentingan publik, maka layanan pendidikan komersil ini akan menjadi masalah besar.
Hal yang sama berlaku dengan kemitraan kementrian bersama perusahaan telekomunikasi dan teknologi digital seperti XL Axiata, Indosat Ooredoo, Telkomsel, Google, Microsoft dan Cisco Webex. Kementrian harus menentukan bagaimana model kerjasama yang tidak memberatkan penerima layanan seperti siswa, guru dan orangtua. Krisis ekonomi tidak terelakkan lagi akan menjadi latar krusial ketimpangan pemanfaatan layanan telekomunikasi dan teknologi digital di masa mendatang. Kementrian harus berhasil mendapat banyak anggaran untuk hal ini, alih-alih dipangkas.
Bekerja adalah Prakerja: Tren Aneh Layanan Pendidikan di Indonesia
Mekanisme penyediaan layanan pendidikan membutuhkan keseimbangan baru dan mutlak, antara negara dan pasar. Indonesia harus mempertimbangkan ini dengan serius. Jangan sampai kita menjalani pandemi ini dengan sia-sia. Peran penting negara meregulasi kepentingan publik makin dibutuhkan terutama sektor kesehatan dan pendidikan. Keduanya adalah hak warga negara dan tanggungjawab konstitusional negara.
Layanan pendidikan komersil yang ditunjukkan dengan munculnya sejumlah perusahaan digital mengungkap masalah besar. Pemerintah tidak punya solusi digitalisasi pengetahuan dan informasi. Hal ini memperburuk demokratisasi pengetahuan dan memperberat ketimpangan kesejahteraan. Sebab, pendidikan adalah faktor penting yang menunjang kesejahteraan masyarakat di masa mendatang.
Covid-19 membantu kita menguak ini dengan jelas. Negara ternyata tidak punya layanan pendidikan daring dan jarak jauh yang berkualitas. Bahkan ketika harapan untuk mengatasi masalah ini mulai muncul, tantangan justru datang dari luar. Pembangunan infrastruktur pembelajaran daring dan jarak jauh dibayang-bayangi agenda program prakerja pemerintah. Perpaduan ini menghasilkan tren aneh dalam respon negara atas layanan pendidikan selama masa krisis kesehatan yakni batas antara hak dan kewajiban atas pendidikan menjadi buram. Seolah-olah, hak atas belajar sama dengan aktivitas prakerja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto mengatakan bahwa program kartu prakerja merupakan “solusi” bagi masyarakat terdampak Covid-19 (sekolah.mu, 20/3). Program prakerja ini diharapkan memberi masyarakat pendampingan pengembangan keterampilan prakerja. Jadi jelas bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan penyedia layanan pendidikan komersil adalah respon bisnis atas proyek prakerja pemerintah atau mereka merupakan penikmat deregulasi dan privatisasi layanan pendidikan.
***
Implikasi fundamental dari tren tumpang-tindih program belajar daring dan proyek prakerja adalah bencana aksesibilitas pengetahuan dan informasi yang ditandai dengan makin komersilnya kebutuhan sejahtera masyarakat. Siswa dan guru pengguna perusahaan mitra kemendikbud bingung apakah mereka harus membayar layanan atau gratis sebagaimana janji kementrian. Sebab, ini aneh, karena pemerintah tidak punya platform layanan belajar daring dan digital. Jadi mereka mau tidak mau tetap harus menggunakan layanan “berbayar” pada perusahaan cepat atau lambat. Kalau pun ada, itu terbatas pada platform publik yang memang gratis disediakan perusahaan media raksasa seperti Youtube.
Relasi kemitraan antara perusahaan layanan komersil pendidikan dan kementrian juga tidak jelas dan tertutup. Perusahaan mitra kementrian tidak punya aturan yang jelas bagaimana posisi mereka terhadap subjek pengguna layanan pendidikan. Tidak ada afirmasi khusus bagi subjek pengguna sebagai masyarakat terdampak Covid-19 dibandingkan dengan konsumen sebagai subjek komersil. Batasan itu hanya temporal dan ditentukan oleh tiga model akses layanan: gratis, harga promosi atau diskon. Sederhananya, perusahaan menawarkan tiga metode akses layanan: gratis (terbatas atau berdurasi), segmentatif (pengguna voucher kartu prakerja), diskon dan berbayar (bagian dari strategi pemasaran).
Model kemitraan deregulatif antara kementrian dan perusahaan layanan pendidikan komersil berdampak buruk pada tren deprivatisasi pendidikan yang diinisiasi oleh warga sipil sejak era reformasi 1998 misalnya Sekolah Sanggar Anak Alam (Jawa) dan SOKOLA (Sumatera). Orientasi komersialisasi atau perdagangan pendidikan adalah wujud ambyar tren pendidikan di Indonesia. Padahal Indonesia pernah punya layanan pendidikan publik seperti program Sekolah Instruksi Presiden (Inpres). Tren kebijakan pendidikan kita sedang dalam bentuk terburuknya.