Majid – Betul kiranya cinta hanya bisa dimengerti sebagai proses. Ia tak pernah bisa dicerna utuh. Jalaludin Rumi tokoh sufi mengungkapkan pengertiannya dengan istilah Ishq. Cinta adalah laut ‘’ke-Tak-Ada-an’’. Kata Rumi cinta adalah kubu yang berlawanan dengan nalar.
Demikian yang Rumi sampaikan tergambar di film The Outcast (orang-orang terusir) film Iran tahun 2007, ditulis dan disutradarai oleh Masoud Dehnamaki, film ini bercerita tentang seorang preman Teheran yang jatuh cinta kepada gadis bernama Nargis.
Ayah Nargis sendiri merupakan ustadz yang terkenal di kampung halamannya. Majid sebagai preman brandalan telah mencoba berbagai skema untuk dapat mempersunting Nargis. Tetapi Masyarakat di sekitarnya selalu memandang ahlak Majid tidak pantas mendapatkan pujaan hatinya.
Demi menghindari stigma negatif dari orang-orang, pada suatu hari saat Majid keluar dari penjara, ia membuat isu bahwa dirinya telah lama pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, sontak semua warga kaget dan tidak mempercayai hal demikian.
Namun, sebagian warga ada yang menyambut hangat dan mendoakan haji Majid semoga mabrur, termasuk ayah Nargis sendiri. Peristiwa lucu di sesi film ini, tatkala Majid hendak membagikan buah tangan Mekkah air zam-zam dan batu turbah Karbala.
Warga Iran yang mayoritas Syiah semua tertawa dan bertanya, ‘’Sejak kapan haji di Mekkah menjual turbah Karbala?’’Akhirnya skema haji ini gagal dan membuat Nargis beserta keluarga malu karena ulah kebohongannya.
Di tengah-tengah kebohongan Majid, seorang komandan relawan perang Iran Irak, Sayyid Mortaza meminta izin kepada ayah Nargis hendak pergi ke medan jihad dan berniat melamar anaknya sepulang perang, dengan adanya berita ini Majid menjadi khawatir.
Untuk menarik hati Nargis, ia memutuskan bergabung dengan pasukan relawan ke front pertempuran. Bersama teman-temannya sesama pemuda brandalan, Majid telah membuat kekacuan dalam sesi-sesi latihan perang, dan akhirnya mereka diusir dari pasukan relawan perang. Akan tetapi, sejumlah insiden terjadi membuat mereka justru tertahan di kamp latihan, hingga terseret dalam front pertempuran.
***
Motivasi Majid terlibat di front pertempuran kini bukan sekedar menarik hari Nargis semata, tetapi menemukan ‘’cinta’’ yang lain. Sepanjang di kamp pertempuran Majid telah menemukan perenungan atas apa yang telah ia lakukan selama hidupnya.
Majid yang semula dipandang penuh lumuran dosa tidak pantas menyandang gelar mujahid perlahan berubah menjadi sosok yang sangat militan. Ia menanggungkan dosa, seraya menunggu mati dalam membela negara dan agamanya. Ia juga memaksa dirinya menjalani kesakitan yang perih agar pasukan yang lain tak perlu merasakan apa yang ia rasakan.
Ada sesuatu yang parakdosal di sini, Majid telah meniadakan diri, kediriannya dikorbankan demi cinta yang lebih besar. Ada benarnya Kata-kata terkenal Albert Camus ‘’L’homme revolte’’ dapat diartikan ‘’aku berontak maka aku ada’’ ia telah berkorban untuk sesuatu yang lebih besar ketimbang dirinya.
Pada akhirnya diri Majid menjadi ‘’sesuatu’’ yang universal. Ia menanggalkan apa yang partikular dari dirinya. Ia memberontak kepada sesuatu keadaan yang menindasnya, tapi dengan itu ia justru tak hanya membebaskan dirinya semata.
Lebih jauh dari itu, film ini juga mengajak kita kepada sebuah perenungan tentang apa yang Nietzsche katakan ‘’Manusia Penghabisan’’ ditengah jeruji modernitas dalam suasana akhir sejarah manusia saat ini takut mati, karena mereka juga takut hidup, hidup dewasa ini bukan seberkas nilai di kedalaman akal dan batin, melainkan memiliki benda tertentu. Nyawa tidak lagi terletak pada hakikat ruh dan kesadaran diri, melainkan kepada benda-benda.
Nietzsche mencemooh manusia penghabisan adalah orang-orang yang tak lagi punya dorongan jiwa untuk mencapai yang luhur dan agung. Tak ada laku yang heroik. Tak ada yang seru. Membuat bosan..
Konsep harakiri orang Jepang sama sekali bermakna terbalik yang sebagian anggap kita konyol mati bunuh diri. Orang Jepang ber-harakiri- justru untuk mempertahankan kehidupan.
Bagi mereka, kehidupan adalah terus digenggamnya keyakinan, meskipun pada akhirnya cara mempertahankan keyakinan itu justru dengan memisahkan nyawa dari badan. Kalau dia tak harakiri, matilah keyakinannya.
***
Pun demikian, Ali Syariati di dalam buku Panji Syahadah menjelaskan perbedaan istilah Martyr dan Syahadah. Dalam bahasa barat Martyr diartikan sebagai orang memilih mati dalam membela keyakinannya melawan musuh-musuhnya, di mana jalan satu-satunya adalah mati. Tetapi kata syahadah, dalam kultur Islam, bermakna bangkit bersaksi. Meskipun kerap digunakan untuk seseorang yang menetapkan mati sebagai pilihan.
Mati syahid berarti pengorbanan para pahlawan yang terbunuh oleh pihak lawan di medan perang dan dianggap suatu peristiwa yang penuh kesengsaraan. Orang-orang yang terbunuh di jalan ini disebut syuhada dan kematiannya disebut syahid.
Kematian Majid sebagai pilihan tentu berdasarkan perhitungan, ia merelakan cintanya kepada Nargis, memilih mati tertembak sebab menemukan kecintaan yang lebih besar.
Kematian adalah fakta, kapanpun menghampiri. Manusia butuh sepanjang usia hidupnya belajar bagaimana mati (dengan bermartabat).
Karenanya haruslah manusia belajar menjalani kehidupan yang baik, itulah caranya berkhidmat pada kepastiaan akan kematiaan. Ujar Seneca dalam buku How To Die, sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal.
Sedemikian adanya, sedemikian baiknya.
Editor: Rozy