Sebelum membahas tentang moderasi beragama di Amerika Serikat, pembaca sekalian mungkin sudah tahu bahwa Amerika Serikat adalah negara sekuler. Namun, negara sekuler yang dimaksud berbeda dengan stereotip istilah “sekuler” yang serba buruk di Indonesia. Salah satu buktinya adalah Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada tahun 1776 yang berbunyi:
“Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini mutlak, bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikaruniai beberapa hak tertentu yang tak dapat diganggu gugat, bahwa di antaranya ialah hidup, kemerdekaan, dan usaha mencapai kebahagiaan…..”
Amati kata-kata di atas. Pada deklarasi tersebut jelas bahwa kemerdekaan Amerika Serikat berlandaskan karunia Tuhan. Tidak hanya terletak pada deklarasi kemerdekaan, Amerika Serikat juga mempertegas prinsip kebebasan beragama dalam konstitusinya. Pada Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat:
“Kongres tidak akan membuat undang-undang mengenai pembentukan agama, atau yang melarang dijalankannya agama secara bebas; atau menghambat kebebasan berbicara, atau kebebasan pers; atau hak rakyat untuk berkumpul secara damai, dan untuk menyampaikan petisi kepada Pemerintah untuk ganti rugi atas keluhan-keluhan mereka…..”
Tapi itu kan aturan tertulis di atas kertas. Lantas bagaimana kenyataannya? Penulis berkesempatan merasakan langsung di Kota Omaha, Nebraska selama menjalani program Young South East Asian Leader Initiative (YSEALI) pada Oktober-November 2022.
Moderasi Beragama dari Sudut Pandang Minoritas
Bagi minoritas seperti umat muslim, rumah ibadah memang jarang dijumpai. Namun, di setiap kota biasanya terdapat beberapa komunitas muslim. Selain itu, di bangunan publik khususnya gedung pemerintahan dan kampus, terdapat ruang ibadah. Di tempat-tempat ini umat muslim dapat melaksanakan salat.
Jika tiba waktu salat, tentu saja tidak ada kumandang azan terdengar lantang seperti di Indonesia. Umumnya, masjid-masjid menggunakan speaker dalam sehingga tidak terdengar dari luar. Para pemeluk agama Islam juga sangat dipersilakan untuk meninggalkan acara sejenak jika harus melaksanakan salat.
Lain salat, lain lagi puasa. Orang-orang akan menghargai jika kita berpuasa, dengan menanyakan apakah tidak masalah jika makan di depan orang yang berpuasa. Berdasarkan pengalaman singkat penulis, dalam urusan ibadah puasa, pemeluk agama Yahudi dapat memahami ibadah ini dengan baik. Karena mereka juga menjalankan ibadah puasa yang tidak jauh berbeda dengan puasanya orang Islam.
Soal makanan, kita memang harus teliti untuk memastikan makanan yang kita makan halal. Di sebagian tempat, misalnya kantin kampus, terdapat penanda jika makanan mengandung daging babi. Namun, secara umum kita harus mencari tahu secara mandiri apakah makanan yang kita pilih mengandung daging babi atau alkohol.
Saat berbelanja kita juga perlu teliti untuk selalu mengecek komposisi makanan. Setiap makanan yang mengandung daging perlu dipastikan tidak mengandung daging babi. Minuman/cairan untuk dikonsumsi perlu dipastikan tidak mengandung alkohol/minuman beralkohol.
Terlihat sulit, namun jika sudah menjalani ternyata tidak terlalu berat. Salah satu cara praktisnya adalah dengan memahami beberapa jenis makanan/minuman yang umum dijumpai.
Misalnya bacon, salami, dan pepperoni merupakan olahan daging babi. Ham (dalam hamburger) umumnya merupakan olahan daging sapi. Sosis, merupakan olahan daging babi. Bumbu yang mengandung daging olahan (misalnya saus spaghetti), umumnya merupakan campuran daging sapi dan babi. Untuk minuman, jus buah dan cider tidak mengandung alkohol, softdrink juga tidak mengandung alkohol.
Selain itu, jika makan di luar dan tidak mau ribet, pilihan paling mudah adalah memilih resto Timur Tengah dan India. Jika berbelanja, simbol kosher (semacam aturan halal umat Yahudi) pada kemasan dapat menjadi pertanda bahwa makanan/minuman tersebut halal. Bahkan, aturan kosher lebih ketat dibanding aturan halal dalam Islam.
911 dan Tri-Faith Institute
Setelah peristiwa terorisme oleh Al-Qaeda pada 9 September 2001 di Kota New York, islamofobia di berbagai kota seantero Amerika Serikat merebak. Kecurigaan bahkan kekerasan terhadap umat Islam yang tidak bersalah pun muncul. Saat itu, persekusi paling parah terhadap umat Islam terjadi di Kota Omaha. Tindakan kekerasan terhadap umat Islam yang paling banyak terjadi di daerah tersebut.
Menariknya, setelah kejadian tersebut, muncul solidaritas dari umat beragama, khususnya umat Kristiani dan Yahudi. Bahkan, suatu saat di tahun 2006, umat Yahudi secara periodik melindungi ibadah salat Jumat dengan menjadi pagar hidup. Sehingga, umat muslim dapat beribadah tanpa rasa takut.
Momen ini menjadi kabar baik, sebab islamofobia yang muncul justru seiring berjalannya waktu memperkuat persaudaraan antar-umat beragama. Selain itu berdasarkan riset dari Pew Research Center tahun 2021, pemeluk agama Islam diketahui meningkat pesat selama dua puluh tahun terakhir di Amerika Serikat. Kecurigaan terhadap pemeluk Islam juga berkurang.
Kembali ke cerita kerukunan umat beragama, setelah kasus islamofobia mereda, kerja sama antar pemeluk agama dilanjutkan. Di Kota Omaha bagian barat didirikan Tri-Faith Initiative (inisiasi tiga keyakinan). Kompleks ini merupakan tempat tiga agama samawi bersatu, bekerja sama, dan membangun kerukunan umat beragama.
Dalam Tri-Faith Initiative terdapat Masjid American Muslim Institute, Gereja Countryside Community Church, Sinagog (rumah ibadah umat Yahudi) Temple Israel, dan satu gedung Tri-Faith Center. Tidak hanya itu, juga terdapat kebun komunal dan Abrahamic Bridge (Jembatan Ibrahim) yang melingkar di tengah-tengah kompleks ini.
Meskipun kecurigaan terhadap umat Islam—dan Yahudi—masih cukup tinggi, namun secara umum kehadiran Tri-Faith ini merupakan kemajuan. Terlebih lagi, gereja dan masjid di dalam kompleks Tri-Faith Initiative dapat digunakan oleh siapa saja di dalam agama masing-masing. Penggunaan masjid tidak memandang pemisahan Sunni-Syiah, sementara gereja dapat digunakan oleh dari berbagai denominasi dalam agama Kristen.
Ini adalah contoh baik bagaimana moderasi beragama dapat dipupuk justru setelah peristiwa kelam 911. Kuncinya adalah saling mengenal, lalu saling memahami. Seperti pada penelitian Pew Research Center yang menyatakan kesan terhadap umat Islam (dan umat beragama lain) tercatat lebih baik saat responden mengenal orang lain yang berbeda keyakinan.
Amerika Serikat, HAM, dan Perlawanan Terhadap Eropa
Sebagai penutup, penulis ingin kembali menyinggung bagian awal tulisan. Para pendiri negara Amerika Serikat percaya bahwa hak-hak dasar manusia (yang kini disebut sebagai HAM) adalah pemberian Tuhan yang perlu dijaga. Ini menjadi bentuk perlawanan bangsa Amerika Serikat pada bangsa Eropa, khususnya Inggris, yang saat itu didominasi kerajaan.
Di mana dalam kerajaan, raja-lah yang menentukan hidup, mati, hukuman, sampai kehidupan rakyatnya. Selain itu, Eropa juga menyimpan sejarah yang pelik dalam hal hubungan negara dengan entitas agama.
Perlawanan terhadap Bangsa Eropa ini tidak terlepas dari sejarah Amerika Serikat yang mendapatkan kemerdekaan setelah menang dalam Perang Revolusi Amerika Serikat melawan Kerajaan Inggris pada 1775-1783. Dari situlah asal-usul Amerika Serikat sebagai negara sekuler yang menghargai kebebasan beragama.
Editor: Yusuf