Tulisan ini saya buat setelah mendengar beberapa video di Youtube tentang ceramah yang bernuansa akhir zaman. Jujur setelah mendengar ceramah-ceramah tersebut saya justru menjadi geram, mungkin sebagian pembaca heran kenapa saya menjadi geram.
Normalnya, setelah mendengar ceramah tentang akhir zaman, kebanyakan orang akan berkata naudzubilahimin dzalik serta merasa was-was apakah imannya sudah kuat untuk menghadapi hari akhir yang begitu keras. Begitu pula yang saya dapati setelah men-scroll kolom komentar di channel tersebut.
Dewasa ini, memang sudah banyak pembahasan terkait akhir zaman dan biasanya ustaz-ustaz yang membawakan materi-materi seputar akhir zaman di beri nama sebagai “Ustaz akhir zaman”.
Nomenklatur ini dinisbatkan oleh netizen Indonesia karena seringnya ustaz-ustaz tersebut membawakan tema seputar hari akhir. Entah itu proses terjadinya kiamat, turunnya Dajjal, Imam Mahdi, Dukhan (asap), dan banyak tanda-tanda lainnya.
Saya sendiri tidak menyangsikan adanya hari akhir, namun dalam hal ini saya ingin sedikit mengkritisi narasi-narasi yang dibawakan para ustaz tersebut mengenai hari akhir.
Salah Paham tentang Akhir Zaman
Pada awal saya mendengar ceramah ustaz tersebut, saya masih khidmat dalam menelaah kalimat-demi kalimat yang beliau ucapkan, sampailah pada narasi “seberapapun ummat Islam berusaha menyaingi teknologi Barat, maka umat Islam tidak akan mampu melakukannya” dalam konteks ketika saat ini umat Islam tidak mampu bahkan tidak akan pernah mampu menyaingi teknologi Barat, ummat hanya mampu menyaingi ketika teknologi sudah mati dan zaman kembali pada pedang dan panah.
Sontak hal ini membuat saya berpikir, lantas di mana letak usaha kaum muslimin atas ketertinggalan tersebut. Apakah kemudian Allah memang menghendaki kemunduran umat Islam tanpa memberi peluang agar umat Islam dapat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang tersebut.
Apakah ini adalah suatu takdir yang mutlak .Kalaupun iya, berarti umat Islam saat ini sedang terjebak pada paham Fatalism atau Jabariyah, Di mana seakan-akan manusia tidak dapat merubah apa yang kedepannya akan terjadi.
Terlepas dari berbagai perdebatan yang terjadi di kalangan ulama mengenai perang Malhamah Al-Kubra akan menggunakan teknologi atau tidak, saya benar-benar yakin kemenangan umat Islam tidak akan terjadi secara instan.
Kalau kita kembali ke narasi awal ustaz tersebut seakan-akan dalam kondisi kita yang terpuruk tak usah bersusah payah untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Toh pada akhirnya, kita tidak akan memenangkan pertarungan teknologi tersebut. Dalam narasi tersebut, seakan-akan kemenangan akan kita raih ketika munculnya Al-Mahdi tanpa usaha apapun.
Tentu hal ini menimbulkan rasa pesimistis di kalangan umat Islam, bahkan ada saat itu seorang pendengar yang galau akan meneruskan pendidikan IT nya atau tidak karena termakan narasi tersebut.
Ia berpikir bahwa ilmunya tidak akan terpakai nanti. Perasaan-perasaan tersebut mungkin dirasakan juga oleh beberapa kaum muslimin yang mendengar ceramah tersebut.
Hal ini justru memperburuk keadaan kaum muslimin saat ini. Bukan malah menyokong umat untuk maju hal ini malah menjatuhkan mental semangat bersaing Islam dengan Barat.
Interpretasi Baru Terhadap Dalil Akhir Zaman
Saya kira kita perlu memahami ulang hadis-hadis yang bernuansa akhir zaman, dalam hal ini utamanya agama Islam dan umat Islam seringkali mendapat posisi terbelakang di akhir zaman.
Hal ini bukan berarti kita harus pasrah pada keadaan dan duduk berpangku tangan menerima celaan atas kemunduran yang kita alami oleh Barat. Seharusnya, hadis-hadis ini dimaknai sebagai pemompa semangat perubahan umat Islam.
Narasi “ Di akhir zaman umat Islam layaknya seperti buih yang ada di lautan, banyak tapi tak berguna” kurang lebih itu yang familiar di telinga kita hari ini, Islam juga dikatakan layaknya roti yang diperebutkan banyak orang dan Islam sendiri tak memiliki daya untuk melakukan pembelaan.
Seharusnya ketika mendengar narasi-narasi di atas kita terbangun untuk melakukan perubahan. Jikalau pada akhirnya kita pasrah pada keadaan yang terbelakang ini, lantas di mana letak spirit perubahan yang dibawa Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afgani, dan pemiki-pemikir Islam lainnya.
Seharusnya, narasi-narasi di atas menjadi tonggak dalam melakukan perubahan. Ketika kita disebut sebagai buih, seyogyanya kita berupaya sebisa mungkin menghindari hal itu. Terlepas dari fakta bahwa hal itu benar-benar terjadi kita harus tetap melakukan perubahan.
Narasi-narasi pesimis tersebut sudah tentu bertentangan dengan spirit yang dibawa Al-Qur’an surat Ar-Rad ayat 11 yang artinya “… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…”
Dalam kutipan ayat tersebut, terdapat spirit perubahan, untuk apa kemudian ayat ini diturunkan jika pada akhirnya kita akan terpaku dengan keterbelakangan yang kita alami. Ulama seharusnya menjadi ujung tombak pembawa perubahan pada umat. Spirit-spirit perjuangan harus senantiasa digembor-gemborkan demi terciptanya umat Islam yang maju.
Kesimpulan
Perubahan tidak bisa dilakukan secara instan begitu saja, apalagi tanpa usaha sama sekali. Ketika perubahan itu terjadi tanpa usaha sama sekali maka secara tidak langsung Allah telah mengingkari janjinya sendiri dalam Al-Quran.
Maka hal ini adalah sesuatu yang mustahil. Dalam sunnatullah sebab akan mempengaruhi akibat, ketika tidak ada sebab maka akibat juga tidak akan muncul. Pada muaranya, perubahan akan datang dari diri kita sendiri, menunggu perubahan dari pihak lain hanya akan menunjukkan kelemahan kita sendiri.
Memang perlu adanya intropeksi dalam internal umat Islam itu sendiri mengenai penyebab kemunduran-kemunduran yang dialami, akan tetapi jangan sampai kita terjebak dalam lingkaran tersebut.
Perubahan dan pembaharuan harus senantiasa dilakukan oleh umat Islam itu sendiri. Realisasi spirit Ar-Ra’d ayat 11 harus menjadi pondasi dalam melakukan perubahan demi kejayaan umat Islam.
Editor: Yahya FR