Perspektif

Indonesia adalah Negara Bangsa, Bukan Negara Agama

5 Mins read

Pendahuluan

Kebanyakan tulisan saya ditulis di rumah kecil kami di ujung timur kota Jakarta. Berkat internet, barangkali ada orang di ujung barat Indonesia, atau pun ujung timurnya, yang tidak sengaja membaca apa yang saya tulis selama ini. Salah satu hal yang bisa membuat tulisan saya bisa dipahami adalah samanya bahasa yang kita gunakan: bahasa Indonesia. Ada prosesnya, sehingga kita punya bahasa nasional ini. Tak hanya bahasa nasional, kita juga punya wilayah negara nasional, dan nasionalisme itu sendiri sebagai ikatan bersama.

Berkah Nation-State

Nasionalisme adalah satu langkah yang lebih maju bagi kehidupan umat manusia di planet Bumi. Rasa ikatan dan persaudaraan yang berusaha ia bangun melampaui identitas-identitas lama semacam agama dan etnis. Mengetahui hal tersebut, saya bersyukur bahwa para ibu dan bapak pendiri bangsa ini memilih ikatan nasional sebagai identitas utama – melebihi agama, apalagi hanya sekadar etnis.

Setidaknya itulah yang sudah mereka tuliskan sebagai panduan bagi kita. Itulah mengapa bangsa majemuk seperti Indonesia bisa menghasilkan konsensus identitas dan nilai bersama dalam Pancasila.

Tidak seperti beberapa di antara kita yang masih ngotot ingin mendirikan sebuah negara-agama – ibu dan bapak pendiri bangsa ini punya pemikiran yang lebih maju dan lebih baik. Jika ada yang benar-benar harus kita syukuri dari eksistensi bangsa ini, maka itu adalah: Negara ini dibangun sebagai nation-state, bukan religion-state, atau ethnic-state.

Baiklah, di mana letak kemajuan nasionalisme dan nation-state dibandingkan religion-state? Apa yang hari ini orang-orang bayangkan sebagai negara-agama selalu merupakan refleksi nostalgia. Artinya, mereka ingin kembali merasakan sebuah negara di bawah naungan Tuhan – dengan berasumsi negara seperti itu pernah eksis di dunia yang fana ini.

Negara-bangsa jauh lebih baik daripada khayalan negara-agama tersebut. Negara-bangsa menyadari realitas, hidup sesuai realitas, dan tidak berlebih-lebihan memuja atau menangisi masa silam yang sudah lewat.

***

Masalah yang biasanya diidap oleh masyarakat tradisional yang “terpaksa” ikut-ikutan dimodernisasi adalah mengira bahwa keadaan dunia makin lama makin memburuk. Ini semacam power syndrome, tak bisa menerima kenyataan bahwa – misalnya – ternyata agamanya tidak lagi menjadi agama, umat, dan ajaran yang superior di dunia.

Baca Juga  Lahirnya Kartunis Berjiwa Busuk

Kemajuan nation-state yang berikutnya adalah karena sudah bisa meninggalkan power-syndrome ini. Nation-state bisa memahami fakta bahwa dunia tidak dikendalikan oleh agama dan Tuhan, melainkan oleh hukum alam, atau intervensi hukum sejarah manusia – tak satu pun di antaranya yang merupakan hukum Tuhan.

Bukan hanya itu yang membuat kita memilih menjadi nation-state daripada religion-state. Negara-bangsa seperti Indonesia, Amerika Serikat, Singapura (dan banyak lainnya lagi) terdiri dari etnis dan agama yang majemuk. Demi keadilan, mereka tidak mengistimewakan satu agama pun atas yang lain.

Begitu pula, demi persatuan, mereka membangun bangsa baru. Jawa dan Makassar itu sangat berbeda – tapi, so what, jika kita bisa bersatu sebagai bangsa baru bernama Indonesia. Dalam nation-state, negara tak mengatur kehidupan etnis dan agama warganya. Dalam religion-state, agama merasa pantas-pantas saja mengatur negara.

Hati-Hati dengan Religion-State

Apakah negara harus mengatur agama dan kehidupan beragama warganya? Tanyakan hal tersebut pada sekularis dan kita akan mendapat jawaban “tidak”. Bagi mereka, negara harus membebaskan warganya untuk mempercayai agama mana pun ia suka – atau untuk tidak lagi percaya pada satu agama pun jika ia suka.

Dalam sebuah religion-state, bukan lagi sekadar negara yang mengatur kehidupan beragama kita, bahkan agama (dan ini pun harus spesifik satu agama tertentu) itu sendiri yang akan mengatur negara dan seluruh sisi kehidupan Anda.

Well, apa yang salah dengan niat religion-state yang seperti itu? Jika (dan ini hanya jika, ya) negara itu hanya sebuah negara kecil, berpenduduk relatif sedikit, penduduk yang sedikit itu semua adalah – misalnya – Muslim (itu pun harus sama sektenya; Sunni semua, atau Syiah semua, atau setidaknya itulah yang dominan), tak memiliki akses kebebasan informasi, anak-anaknya dididik dengan pendidikan yang dikontrol ketat oleh negara, dan ekonomi sepenuhnya dikuasai negara – maka eksperimen religion-state kemungkinan besar akan berhasil.

Dalam sebuah negara seperti itu, Anda – atau siapa pun – bisa menjadi religious supreme-leader yang sekaligus state supreme-leader. Rakyat Anda tak akan ada yang berani melawan. Belum lagi jika kebetulan agama utama di negara Anda itu adalah agama yang mengutamakan ketaatan pada ortodoksi.

Baca Juga  Kalau Bisa Sederhana, Jangan Dibuat Rumit!

Dengan begitu, rasa takut terhadap supreme-leader terjadi berlipat-lipat. Takut ditangkap dan masuk penjara, sekaligus takut berdosa dan masuk neraka. Bayangkan, betapa senang dan enaknya hidup Anda jika jutaan manusia patuh sekaligus takut pada Anda, seperti takut pada Tuhan.

***

Siapa yang mau hidup di negara super ketat seperti itu? Ada banyak yang ingin; sepertinya begitu. Apa pun itu alasannya, negara dengan religious supreme-leader masih bisa kita temukan di dunia modern. Iran misalnya. Ada banyak warga Iran yang terjepit dilema; tetap hidup di negara sendiri, atau pindah demi kebebasan yang lebih besar di negara lain – biasanya negara-negara Eropa dan Amerika.

Negara seperti Pakistan dan Afghanistan mungkin tak punya religious-supreme leader. Tapi, agama tetap menekan negara, di sana. Tekanan itu datang dari pemimpin-pemimpin agama di masyarakat, dan negara takut menghadapi mereka. Itu belum seberapa, jika dibandingkan dengan patuhnya negara pada hukum agama, seperti yang selama ini terjadi di Pakistan.

Dalam kasus Afghanistan, negara yang ketakutan berhasil dikuasai (benar-benar secara harfiah) oleh kelompok konservatif agama. Tiga negara tadi adalah contoh jika Anda ingin melihat wujud religion-state hari ini. Di Israel, hukum agama tak berperan apa-apa dalam hukum negara; dan di Vatikan, kekuasaan Paus bukan dalam urusan negara, melainkan agama.

Berkah Nation-State Lagi

Kini Anda sudah bisa sedikit membayangkan kondisi apa yang diperlukan untuk membangun religion-state. Anda bisa tambahkan syarat, misalnya, supreme-leader haruslah seorang yang suci, wali, keturunan orang suci, bisa melakukan keajaiban, hafal kitab suci, dan seterusnya.

Dalam nation-state, semua itu tak punya makna (setidaknya dalam teori). Ini juga kelebihan nation-state yang berikutnya. Mereka memilih pemimpin secara demokratis dan masuk akal. Klaim kesucian diri dan agama tak bermakna di sini. Ada banyak sekali agama, dan semua agama mengklaim dirinya suci.

Alih-alih menghabiskan energi dalam debat klaim kesucian yang kuno itu, nation-state memilih realistis (artinya, hidup sesuai realitas) bahwa biarkan agama mengurus dapurnya sendiri, dan negara mengurus rumah tangganya sendiri.

Yang harus disediakan makan oleh “dapur” dan “rumah tangga” negara bukan hanya umat agama A, B, dan C, melainkan semua. Artinya, negara berada di atas semua agama, dan ini lebih masuk akal dan lebih adil. Itulah mengapa, nation-state seperti Indonesia tak berdiri atas dasar agama tertentu. Tak ada nama agama tertentu dalam Pancasila dan konstitusi kita.

Baca Juga  Solidaritas Pangan Magelang: Gerakan Anak Muda dalam Pandemi Covid-19

***

Ikutnya Indonesia ke dalam barisan nation-state ini sungguh keajaiban. Kita bisa mengetahui bahwa tokoh-tokoh besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Sjahrir dan lain-lain adalah aktor terjadinya keajaiban ini.

Ajaib, karena kita bisa saja berakhir seperti Iran, Pakistan, atau Afghanistan. Piagam Jakarta yang ingin melegalkan Syariat Islam itu, dibatalkan oleh Bung Hatta, seorang Muslim taat, saleh, asketik, dan berasal dari keluarga ulama. Betapa maju pemikiran Bung Hatta. Bagi dia dan bung-bung besar lainnya, negara ini terlalu besar untuk dikerdilkan menjadi sebuah negara Islam.

Keajaiban nasionalisme Indonesia dan nation-state-nya bukan hal yang tidak bisa dijelaskan sebab-sebabnya. Ia bisa kita baca sebagai sisa-sisa kelanjutan modernisme yang lahir di Eropa sejak abad ke-16 Masehi.

Sejak saat itu (sampai saat ini) gagasan-gagasan humanisme, sekularisme, dan liberalisme telah menjadi cerita yang paling jelas dan paling menjanjikan. Ditambah dengan doktrin Kant soal apa itu pencerahan: Sapere aude – kita juga mulai berani berpikir sendiri dan menentukan nasib kita sendiri.

Benar-benar seperti Kant, negara ini didirikan oleh orang-orang yang mencintai rasionalitas. Akal digunakan semaksimal mungkin untuk menyusun apa pun yang dibutuhkan negara dan bangsa baru ini. Tak ada ketakutan bahwa – misalnya – jika tidak menerapkan Syariat Islam, maka besok Tuhan akan mengazab negara kita.

Penutup

Walhasil, jika Anda punya anak-anak di rumah, cobalah ajarkan mereka untuk bersyukur kepada Tuhan atas berdirinya nation-state Indonesia. Bisa Anda tambahkan bahwa ibu dan bapak pendiri bangsa kita sengaja ditakdirkan Tuhan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran dan keterbelakangan. Tapi, ajarkan juga bahwa, ada kasus di mana sebuah negara kesatuan bisa hancur, seperti yang dialami Yugoslavia; atau terjebak perang saudara, seperti di banyak tempat di Timur Tengah. Ajarkan mereka: Jika kita mensyukuri ini semua, maka harus dibuktikan lewat tindakan nyata.

Editor: Saleh

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *