Feature

Benarkah Muhammadiyah Mementingkan Ego Organisasi?

4 Mins read

Prof. Thomas Djamaluddin astronom senior Badan Riset dan Inovasi Nasional kembali mengeluarkan pernyataan yang menohok tentang sikap organisasi Muhammadiyah. Pada tahun 2011, Thomas Djamaluddin menyatakan bahwa kriteria hisab wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah sudah usang dan ditinggalkan oleh sebagian besar pakar falak.

Kini 12 tahun kemudian, beliau kembali mengkritik Muhammadiyah yang menurutnya lebih mementingkan ego organisasi dibanding dengan persatuan umat. Prof. Thomas juga mengajak Muhammadiyah untuk berbesar hati mengubah pendapatnya demi persatuan umat. Menurutnya ijtihad boleh diubah dan tidak mutlak sifatnya.

Muhammadiyah Mementingkan Ego?

Benarkah Muhammadiyah mementingkan ego organisasi? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengapresiasi kegigihan Prof. Thomas Djamaluddin dalam memperjuangkan gagasannya. Dalam Munas Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang, Prof Thomas menjadi salah satu undangan dalam kegiatan tersebut. Di sana beliau mempresentasikan ide dan gagasan imkanur rukyatnya.

Sayangnya para peserta Munas Tarjih yang merupakan ulama tarjih Muhammadiyah se-Indonesia tersebut tidak menyetujui ide beliau. Barangkali itulah pengalaman “patah hati” beliau karena gagasannya tidak diterima. Mudah-mudahan bukan karena hal tersebut Prof. Thomas senantiasa menyenggol Muhammadiyah dalam beberapa tulisannya.

Menghadapi penolakan Muhammadiyah, Prof. Thomas tidak putus asa. Beliau menyebarkan gagasannya kepada pihak lainnya. Gayung bersambut, organisasi Persatuan Islam (PERSIS) menerima dan mengadopsinya. Puncak kemenangan beliau adalah diadopsinya gagasan beliau oleh Kementerian Agama. Yang menyebabkan kemungkinan perbedaan hari raya antara Muhammadiyah dengan sidang isbat pemerintah semakin besar.

Kembali ke pertanyaan utama, benarkah Muhammadiyah mementingkan ego organisasi dibanding dengan persatuan umat? Pertanyaan lain yang muncul adalah kenapa Muhammadiyah begitu keras kepala untuk mempertahankan hisab wujudul hilal?

Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah dijawab dengan baik oleh Prof. Syamsul Anwar Ketua Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah periode 2010-2022 yang sekarang menjadi salah satu Ketua PP. Muhammadiyah. Tahun 2011 beliau menulis artikel yang berjudul: Otoritas dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Idulfitri 1432 H (Tanggapan Atas Kritik Thomas Djamaluddin). Berikut saya kutip beberapa pernyataan beliau yang relevan dengan pembahasan ini.

Baca Juga  Muhammadiyah adalah Jawaban dari Kemunduran Umat Islam

Tidak dipungkiri bahwa perbedaan jatuhnya hari raya itu adalah suatu ketidaknyamanan karena ada ketidakbersamaan kaum Muslimin dalam merayakannya. Di satu sisi ada yang saling kunjung ke rumah tetangga dan makan-makan, sementara yang lain masih berpuasa. Namun juga harus diakui bahwa penyatuan jatuhnya hari Idulfitri itu tidak gampang, tidak semudah sepasang remaja bikin janji ke pantai bersama, “Mas Minggu besok rekreasi bareng ya di pantai, soalnya habis ujian semester pikiranku buntet banget, perlu refreshing.” “Ya, setuju, aku juga sama. Dah, besok kuampiri ya!” Selesailah masalah. Kesepakatan untuk “rekreasi Minggu besok” tidak memerlukan pertimbangan ilmiah yang mendalam karena itu hanya soal selera dan bisa diputuskan dengan prinsip “setuju-setuju saja”.

Namun tentu tidak demikian halnya dengan penentuan jatuhnya hari raya semisal Idulfitri atau Iduladha. Masalah ini bukan soal selera. Masalah ini memerlukan suatu kajian panjang dan mendalam baik dari segi ilmu syariah maupun dari segi ilmu astronomi. Keputusan itu tidak dapat diambil berdasarkan prinsip “setuju-setuju saja”. Ini semua tentu menjadi tantangan para ilmuwan terkait baik dari bidang syariah maupun astronomi.

Muhammadiyah Berdasarkan Kajian Ilmiah

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa sikap Muhammadiyah tidak berdasarkan emosi atau egoisme, melainkan kajian ilmiah yang mendalam. Tentu saja penulis juga meyakini gagasan Prof. Thomas Djamaluddin juga lahir dari hal yang sama. Namun memang kondisinya hasil kajian tarjih Muhammadiyah dan Prof. Thomas belum menemukan kata sepakat.

Sistem yang tidak dapat memberikan penjadwalan waktu (hari/tanggal) yang pasti jauh ke depan adalah suatu sistem yang buruk dan bertentangan sifat sebagai sebuah kalender yang terstruktur secara seksama, bahkan bertentangan dengan maksud dari kalender itu sendiri. Sistem kalender bertujuan untuk memudahkan masyarakat penggunanya merencanakan kegiatannya disesuaikan dengan sistem penjadwalan waktu yang dimilikinya.

Untuk itu sistem waktu tersebut harus akurat dan pasti agar rencana kegiatannya tidak menjadi berantakan akibat sistem waktu yang tidak pasti. Suatu sistem penanggalan yang akurat dan bagus harus dapat menjadwalkan waktu secara pasti ke depan dan harus dapat dilacak secara pasti pula jadwal waktunya di masa lalu. Untuk itu penetapan jadwal waktu itu harus lahir dari kaidah matematis kalender itu sendiri tanpa campur tangan otoritas luar mana pun selain dari kaidah kalender tersebut.

Apabila setiap penetapan momen penting ditentukan oleh suatu otoritas lain di luar kaidah matematis kalender itu sendiri, maka kita akan menghadapi penjadwalan waktu yang tidak pasti karena jawal waktu tersebut akan sangat tergantung kepada ketetapan yang akan dikeluarkan pada detik-detik akhir menjelang saat dimulainya momen bersangkutan.

Sebaliknya juga kita tidak dapat melacak jadwal waktu penanggalan tersebut di masa lalu karena tidak lahir dari kaidah matematisnya yang ajek. Kita harus mencari arsip surat keputusan otoritas yang menetapkannya hari apa ia menjatuhkan 1 Syawal tahun tertentu di masa lampau. Ini adalah sistem yang buruk. Saudara-saudara kita umat Kristiani dalam menentukan kapan melakukan selebrasi hari Natal telah dapat mengetahui hari jatuhnya jauh hari sebelumnya berdasarkan kaidah kalender Masehi yang mereka gunakan, bukan karena keputusan otoritas penguasa yang melakukan isbat menjelang saat dimulainya momen itu.

Jadi apabila Muhammadiyah dikatakan terlalu kuat berpegang kepada hisab, hal itu adalah karena alasan ini. Dari segi keserhanaan prosedur, biaya murah, dan kemampuan memberikan kepastian jadwal tanggal di masa depan, pendekatan Muhammadiyah jauh lebih maju. Dalam sistem kalendernya, penentuan tanggal merupakan hasil dari logika kalender sendiri tanpa campur tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan memang ia tidak mempunyai kewenangan itu.

Pimpinan Pusat hanya mengumumkan hasil dari sistem kalender itu sendiri dan karena itu dapat dilakukannya jauh hari sebelumnya dan itu sangat memudahkan bagi masyarakat untuk menyusun dan menyesuaikan kegiatan hidupnya. Memang, kalender Muhammadiyah itu belum bersifat global dan ini tentu menjadi tantangan para ahli ilmu falak dan astronom Muhammadiyah untuk melakukan kajian guna menyempurnakan sistemnya hingga dapat menjadi suatu kalender pemersatu yang baik.

Masukan untuk Prof Thomas

Prof. Syamsul berhasil dengan baik menjelaskan dengan baik alasan kengototan Muhammadiyah untuk tidak lagi berpegang pada hasil rukyat dan lebih berpegang kepada hisab sebagai acuan pembuatan kalender. Yang menarik, Prof. Thomas Djamaluddin pun sudah mengamini sikap ini. Hanya saja beliau menawarkan kriteria imkanur rukyat sebagai basis dari pembuatan kalender hijriyah versi beliau.

Baca Juga  Ketua Umum PP Muhammadiyah dan PP Aisyiyah Divaksin

Sayangnya menurut Prof. Susiknan Azhari ahli falak Muhammadiyah, kriteria Imkanur Rukyat jika hanya digunakan sebagai pemandu rukyatul hilal maka akan membuat ada bulan Kamariah yang berjumlah 28 hari sebagaimana terjadi selama ini. Padahal bulan Kamariah hanya berjumlah di antara 29 atau 30 hari saja. 

Hemat saya Prof. Thomas perlu juga menurunkan egonya untuk dengan jernih mendengarkan argumen-argumen yang disampaikan oleh Ahli Falak dan Muhammadiyah. Muhammadiyah pada dasarnya juga menginginkan persatuan, tak hanya Indonesia bahkan umat Islam se-dunia. Itulah mengapa beberapa kali Muhammadiyah berpartisipasi dan menginisiasi upaya penyusunan kalender hijriyah global.

Walaupun memang upaya penyatuan kalender hijriyah global belum menemukan kata sepakat, tapi upaya ini perlu diapresiasi.

Editor: Soleh

Robby Karman
26 posts

About author
Dewan Redaksi IBTimes.ID
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds