Sejatinya kedudukan laki-laki dan perempuan dipandang sama mulianya oleh Islam. Akan tetapi, belakangan ini diskusi mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan kembali mengemuka lantaran terdapat ketimpangan relasi kuasa oleh laki-laki atas perempuan.
Feminisme sebagai paham yang memperjuangkan hak-hak perempuan kemudian digandrungi oleh kalangan perempuan yang memiliki kesadaran akan ketimpangan itu.
Menjadi wajar kemudian bila berbagai kajian dan diskusi dilakukan untuk mempertanyakan kembali nilai dan kebiasaan yang selama ini diyakini oleh mayoritas, untuk membongkar pemahaman dan perilaku yang dianggap mendiskreditkan perempuan.
Perempuan Diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-Laki?
Kajian-kajian tersebut bahkan tanpa ragu masuk dalam ranah agama, ruang di mana keyakinan paling fundamental disematkan. Salah satu tema yang dikaji kembali misalnya Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki). Satu hadis yang menjadi landasan atas keyakinan tersebut diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah, yakni:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya. Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan mematahkannya, (tetapi) kalau engkau biarkan, dia akan tetap bengkok. Maka (sekali lagi) saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan”.
Kritik atas Teks Hadis
Riffat Hassan, seorang feminis muslim terkemuka menolak keras pandangan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Ia bahkan menolak kesahihan hadis yang dijadikan landasan. Sebab, menilai terdapat perawi yang dhaif dalam sanad hadis tersebut. Di antaranya adalah Maisarah al-Asyjâ’i, Haramalah ibn Yahya, Zâidah, dan Abû Zinâd.
Tidak hanya itu, menurutnya matan hadis tersebut apabila dilihat secara sekilas, dapat dikategorikan sebagai hadis misoginis atau mendiskreditkan perempuan. Seolah menganggap perempuan memiliki kemuliaan di bawah laki-laki karena perempuan berasal dari laki-laki.
Masalahnya kemudian adalah, semua mahasiswa ilmu hadis tahu bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim merupakan hadis yang sudah teruji kesahihannya dari sisi sanad dan matan sehingga sulit untuk dibantah. Oleh karenanya, memerlukan kehati-hatian serius jika ingin mengomentari hadis yang diriwayatkan oleh kedua ulama ini.
Kehati-hatian itu misalnya ditunjukkan oleh dua mufasir kenamaan Indonesia, Buya Hamka dan Hasbi Ash-Shiddiqy dalam tafsirnya yang menyinggung hadis ini yang juga sama-sama menolak pandangan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Tanpa membantah sedikit pun kesahihan hadis tersebut, keduanya berpendapat bahwa hadis ini hendaknya dipahami secara metaforis bukan literer. Tampaknya, baik Hamka maupun Hasbi, memiliki kecenderungan memahami hadis ini berpotensi dinilai sebagai hadis misoginis jika dipahami secara literer.
Telaah Teks Hadis
Lantas, bagaimana melihat persoalan di atas. Apakah memang hadis-hadis nabi adalah misoginis atau mendiskreditkan perempuan? Ustaz Hatib Rahmawan (Dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan) dalam satu kesempatan di forum Lingkar Studi Ilmu Hadis (LSH) menyebutkan bahwa konsekuensi dari mengatakan suatu hadis misoginis sama dengan kita mencurigai nabi dan orang-orang yang meriwayatkan hadis.
Olehnya, membutuhkan penelusuran panjang dan pemahaman mendalam terkait dengan suatu hadis yang dicurigai sebagai hadis misoginis
Kaitannya dengan hadis di atas, beliau menjelaskan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan melihat siapa sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut. Bukan dengan melihat siapa mudawwin hadis sebagaimana yang umumnya dilakukan.
Dari sisi sanad, penulis melakukan penelitian dan menemukan bahwa hadis ini sahih secara kualitas dan tergolong ke dalam kategori hadis masyhur secara kuantitas. Selain Abu Hurairah, terdapat pula sahabat lain yang meriwayatkan hadis serupa yakni Aisyah ra, Abu Dzar Al-Ghifari, Sumrata Ibnu Jundub, Miqdam Ibnu Ma’adiy, Annas Ibnu Malik, dan Abdullah Ibnu Qoyis.
Namun, jalur sanad yang sahih hanya terdapat pada jalur Abu Hurairah, Aisyah, dan Abu Dzar. Dengan demikian, tuduhan Riffat Hasan berkenaan dengan lemahnya hadis dari sisi sanad tidak terbukti.
Dari sisi matan, terdapat satu asumsi yang dikemukakan oleh Fatimah Mernisi. Bahwa hadis tentang perempuan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah biasanya berseberangan dengan riwayat Aisyah selaku seorang perempuan dan feminis. Berkaitan dengan hadis ini, Aisyah meriwayatkan dengan redaksi sebagai berikut:
إِنَّمَا الْمَرْأَةُ كَالضِّلْعِ إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تُقَوِّمَهَا كَسَرْتَهَا، وَقَدْ تَسْتَمْتِعُ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya perempuan itu bagaikan tulang rusuk. Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan mematahkannya, (tetapi) kalau engkau biarkan, dia akan tetap bengkok”.
***
Bila dicermati dua redaksi hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan Aisyah, terdapat perbedaan pada penyebutan perempuan sebagai tulang rusuk.
Riwayat dari Abu Hurairah menggunakan redaksi fa inna al-mar’ah khuliqot min dlila’ (perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk). Sedangkan riwayat dari Aisyah menggunakan redaksi innama al-mar’ah ka al-dlila’ (perempuan bagaikan tulang rusuk).
Sesungguhnya, di beberapa tempat Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis tersebut menggunakan redaksi serupa dengan riwayat Aisyah. Namun dalam hal ini, Aisyah lebih konsisten dalam penggunaan kata dengan satu konteks pembahasan tanpa bercampur dengan topik lain.
Selanjutnya, jika dilihat hadis di atas yang menggunakan redaksi innama al-mar’ah ka al-dlila’ konsekuensinya adalah pemaknaan hadis tersebut dimaknai bukan secara hakiki, tetapi secara majazi sebagaimana pandangan Buya Hamka dan Hasbi As-Shiddiq.
Dengan demikian, asumsi Fatimah Mernisi terkait riwayat Aisyah dan Abu Hurairah seringkali berseberangan kali ini tidak sepenuhnya benar.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam membaca hadis tersebut hendaknya dipahami secara majazi, bukan secara hakiki.
Bila hadis dipahami secara hakiki, konsekuensinya adalah melekat tuduhan misoginis pada nabi serta orang yang meriwayatkan hadis tersebut termasuk Aisyah sebagai seorang perempuan.
Kita tahu sejarah Islam adalah perjuangan mengangkat harkat dan martabat perempuan. Olehnya, akan sangat rancu bila mana Nabi Muhammad dan Aisyah sebagai seorang perempuan yang mengajarkan tentang kesetaraan justru mendiskreditkan perempuan melalui satu hadis di atas.
Kedua, pemahaman atas teks hadis di atas yang berkembang selama ini terjebak dalam budaya patriarki sehingga sering kali tafsir agama tidak memihak pada perempuan.
Selain itu, satu hal yang menakutkan bagi para mahasiswa ilmu hadis dalam mengkaji kembali teks keagamaan adalah mendapat label kafir atau liberal ketika memiliki kesimpulan yang berbeda dengan pandangan umum yang selama ini dianut oleh mayoritas umat Islam.