Berpikir Positif Cegah Infeksi Covid-19?
Berpikir Positif – Benarkah kita bakal kebal dan sehat dengan menghindari berita, informasi, atau konten tentang virus corona? Berdasarkan pengalaman saya sebagai penyintas virus ini, kesimpulan begini salah tempat.
Berpikir positif dengan lari dari kenyataan tak sama dengan berpikir positif menghadapi kenyataan. Menutup diri dari informasi adalah melarikan diri. Persoalannya, saran berpikir positif yang salah kaprah seperti ini justru bikin mitigasi pandemi makin parah.
Kita berhadapan dengan pandemi. Syarat utama lolos dari pandemi adalah semua orang punya bekal pengetahuan dan informasi yang tepat. Supaya setiap orang bisa menginisiasi pencegahan, dan kalau terinfeksi bisa sesegera mungkin mengambil tindakan pertolongan pertama.
Tapi hal ini tak terjadi. Kita justru melihat banyak orang panik dan tak tahu harus berbuat apa. Apa yang harus kita lakukan jika terinfeksi Covid-19 pun tak banyak mengerti.
Padahal, pengetahuan dan informasi adalah bekal paling baik. Kita semua ingin pandemi berlalu. Tapi bukan dengan menganggap pandemi adalah konspirasi. Tidak juga dengan sekedar menyerukan berpikir positif, merekayasa persepsi dan opini bahwa segala sesuatu sedang baik-baik saja, kemudian covid bisa lenyap.
Pemahaman begini tak sesuai dengan semangat bersolidaritas menyintas pandemi. Juga merupakan bentuk kesadaran naif akut. Sikap pura-pura tak tahu dan mengakali diri sendiri bahwa semua baik-baik saja adalah bom waktu. Dan akan menyusahkan serta merugikan kita semua. Setitik kenaifan, merusak mitigasi sebelanga.
Ledakan Kasus Covid-19
Ledakan kasus Covid-19 Juni 2021 adalah bom yang terlanjur meledak. Penyebabnya jelas, karena elit politik, wali masyarakat, dan warga tak punya bekal memadai menghadapi pandemi.
Kita melihat bahwa kesadaran atas krisis yang memungkinkan kita merumuskan strategi mitigasi yang manusiawi dan ekologis tak terbentuk. Masih mentah, sepotong-potong, dan bisa konyol.
Berpikir positif yang sesungguhnya adalah bersikap jernih, reflektif, dan adil. Bukan menganggap semua baik-baik saja. Tanpa punya keinginan untuk mengubah atau memahami apa yang sesungguhnya terjadi.
Kenyataan yang kita hadapi tidak akan berubah hanya karena kita mengubah persepsi dan opini. Kenyataan punya hukumnya sendiri. Tidak terikat pada situasi mental kita, manusia.
Misalnya, hukum gravitasi akan tetap berlaku, dengan atau tanpa kita percayai. Juga tak akan hilang hanya karena kita menganggap gravitasi itu hanya konspirasi.
Alam semesta punya hukumnya sendiri. Seharusnya cara berpikir manusia mengharmonisasikan diri dengan kenyataan alam semesta. Bukan sebaliknya.
Pikiran Juga Butuh Kebugaran
Saya tidak menyalahkan seruan berpikir positif. Hanya saja, menurut saya, seruan ini sudah salah kaprah sejak awal.
Untuk menunjang kondisi tubuh supaya tetap baik, tak cukup sekedar berpikir positif. Pikiran kita juga butuh kebugaran. Butuh kesehatan akal dan daya tahan kejernihan berpikir.
Kebugaran dan kesehatan akal pikiran itu tak bisa hanya sekedar pikir yang baik-baik saja. Kita butuh latihan. Butuh asupan bergizi dan bertenaga untuk pikiran kita. Karena hanya dengan itu, alam pikiran kita jadi lebih sehat.
Covid-19 Tak Pilih-Pilih Orang
Mau yang berpikiran positif atau negatif. Sama saja. Karena virus ini menyerang organ tubuh manusia, bukan persepsi dan opini manusia. Memang, daya tahan organ tubuh juga ditunjang pikiran yang tenang dan semangat hidup. Saya sepakat.
Tapi kenyataan bahwa virus berupaya membobol pertahanan tubuh kita berada di luar kendali persepsi dan opini. Jadi sekedar mempersepsikan bahwa Covid-19 tidak bahaya atau tidak ada, tidak mengubah kenyataan bahwa virus ini bisa menginfeksi tubuh kita.
Orang Gila Tidak Terkena Covid-19?
Terus kenapa “orang gila” tak terinfeksi Covid-19? Begitu pertanyaan sekaligus seolah bukti betapa pentingnya “berpikir positif” untuk melawan virus corona.
Bagi para penganut teori berpikir positif ini, “orang gila” tak terinfeksi virus karena mereka tak memikirkan virus sama sekali. Jadi pikiran “orang gila” menjadi sangat “positif” pada kehidupan.
Sebab, mereka tak perlu resah dan panik serta takut melihat dunia ini. Juga karena “orang gila” tak menyerap informasi seputar virus corona, maka mereka tak mudah kebobolan. Imun “orang gila” jadi kuat menangkal virus karena mereka tak panik dan takut pada virus. Begitulah premis yang selalu kita dengar.
Untuk menjawab pertanyaan ini. Saya juga ingin bertanya dulu. Apakah karena seseorang mengalami gejala gangguan mental dan kejiwaan, yang berarti tidak peduli pada hukum gravitasi, apakah mereka masih terdampak hukum gravitasi?
Konyol jika menjawab tidak. Jawabannya sudah pasti iya. Tidak peduli orang dengan gejala gangguan mental atau orang dengan kondisi sehat mental, semua kena hukum gravitasi. Begitu juga dengan virus. Entah kondisi mental anda sedang terganggu atau sehat wal afiat. Virus tetap bisa menginfeksi.
Persoalannya kembali ke cara otak merespon infeksi tersebut dan mengirim sinyal reaksi ke seluruh anggota tubuh. Karena otak kita masih berfungsi baik, maka sinyal dan reaksi tubuh berlangsung tanpa hambatan.
Sedangkan pada orang dengan gangguan mental dan kejiwaan, jelas tak mengalami hal yang sama. “Orang gila” bukan tak terinfeksi virus, tubuh mereka yang tak selalu bereaksi serupa orang pada umumnya.
Saya tak habis pikir. Orang-orang yang mengaku sehat mental dan jiwa, kenapa bisa-bisanya justru ingin “sehat” seperti orang dengan gejala gangguan mental dan jiwa. Anehnya, kenapa hanya cara berpikir “masa bodoh” saja yang ingin ditiru dan dibela. Kenapa bukan gaya hidup orang dengan gejala gangguan mental dan kejiwaan. Justru karena kita terbekali sehat mental, rohani, dan jasmani, tanggungjawab kita adalah merumuskan jalan keluar yang paling baik.
Pengetahuan dan Informasi Seperti apa yang Menunjang Akal Sehat?
Ibarat akan makan, kita tentu harus punya kiat khusus memilih mana yang akan kita konsumsi. Tak semua konten yang sekedar menginformasikan yang baik-baik saja, yang bikin kita tertawa, betul-betul baik buat kondisi kita.
Begitu juga sebaliknya. Tak semua konten yang menginformasikan bencana, tantangan dan perkembangan kasus Covid-19 akan berdampak buruk pada imun tubuh kita.
Pertama, pengetahuan dan informasi yang berkualitas bisa dikonfirmasi dengan beragam cara. Tak cukup sekedar masuk akal atau sesuai dengan opini kita.
Pengetahuan dan informasi itu harus bisa diuji dengan beragam pendekatan. Entah pendekatan teoretis, eksperimen laboratorium, atau pengujian lapangan.
Maka, pengetahuan dan informasi selalu terbuka untuk didebat secara serius dan mendalam. Bukan sekedar dilawan dengan opini.
Kedua, pengetahuan dan informasi haruslah yang mendorong anda bergerak menyelamatkan kepentingan banyak orang. Jika suatu pengetahuan dan informasi membuat anda abai pada kepentingan banyak orang, bahkan cenderung mengorbankan nyawa orang lain, atau menyepelekan kesusahan orang lain, bisa dipastikan anda sedang menelan konten yang tak bermutu. Pengetahuan dan informasi yang sehat selalu membuka refleksi kita atas situasi yang kita hadapi.
Ketiga, pengetahuan dan informasi yang bermutu selalu membuat anda tercerahkan. Bukan mengutuk kegelapan, bersikap masa bodoh, atau jatuh pada kenaifan yang akut. Pengetahuan dan informasi yang menunjang akal sehat selalu menuntun anda menemukan cahaya di lorong yang gelap. Membantu kita menyalakan cahaya terang untuk melihat segala sesuatu secara jelas.
Cahaya pencerahan dari pengetahuan dan informasi itu tidak selalu mewartakan yang baik-baik saja. Selalu ada saat di mana pencerahan itu justru hadir ketika kabar genting disuarakan.
Tantangan hidup di zaman ini istimewa. Sebab, kita berperang melawan pikiran kita sendiri. Kita, manusia, akan bertahan sebagai peradaban atau hancur lebur sangat bergantung pada seberapa besar peluang akal sehat bisa dipertahankan.
Covid-19 ini adalah momen transisi ilmu pengetahuan dan peradaban kita. Yang kita butuhkan untuk melalui transisi ini adalah akal sehat dan kebugaran pikiran. Berpikir bahwa semua sedang baik-baik saja justru merupakan malapetaka umat manusia di masa jelang ambang kepunahan ke enam.
Editor: Rozy