Saya teringat ungkapan seorang teman, bercerita pengalamannya saat berbicara di depan kelas untuk sebuah pertemuan awal. Dengan gesture, performance, dan intonasi yang menyita perhatian. Saat dia usai bicara lalu didekati oleh banyak teman yang ingin berkenalan dengannya, lalu menganggapnya sebagai orang yang pernah berorganisasi. Kemudian teman saya mengatakan, ‘inilah buah berorganisasi’.
“Wow, amazing” kataku. Lain halnya saya, untuk sebuah perkenalan awal saya agak kurang nyaman jika diketahui sebagai anak muda yang aktif berorganisasi, saya lebih nyaman tidak diketahui agar bisa berbaur dan bergaul sebagaimana orang lain secara umum. Saya tidak ingin jika dipandang aktif berorganisasi, sebab hal itu berdampak pada perlakuan orang lain terhadap kita.
Personal Branding
Saya rasa pembaca juga salah satu di antaranya dalam konteks “perkenalan awal”. Tidak ada yang salah perihal personal branding dari kedua jenis kesan di atas, ada yang biasa-biasa saja, ada yang menunjukkan, ada yang kadang biasa dan kadang menunjukkan. Beragam rupa, pun kondisi di organisasi Muhammadiyah. Fenomena yang ada, kader persyarikatan terdiri dari multi latar belakang yang memunculkan multi-karakter dengan berbagai gaya kepemimpinan. Kita tidak bisa menafikan hal itu, sebab kader Muhammadiyah tidak selalu menjadi kader Muhammadiyah sejak lahir, tidak selalu menjadi kader pelajar juga kader ikatan. Belum lagi faktor pendidikan keluarga dan lingkungan di sekitarnya.
Saya rasa konteksnya akan berbeda jika diinterpretasikan di era kekinian dan untuk semua kalangan-golongan di kehidupan sehari-hari. Penjabaran pluralisme Pak Kunto dalam kehidupan beragama di lingkungan masyarakat juga dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman. Jika di era sekarang, kita bisa menggunakan beragam metode untuk menerjemahkan pluralisme positif ini. Pun dalam konteks pertemuan/conference, forum seminar atau keterwakilan organisasi, kegiatan dakwah atau bakti sosial. Tidak selalu di setiap kalangan dan golongan kita menunjukkan identitas diri.
Oleh karena lingkungan kita adalah orang-orang yang berorganisasi, maka kita menganggap semua sudah canggih dan berpikir berkemajuan. Kita harus lebih melihat rekan yang di sekeliling kita yang tidak pernah berorganisasi misalnya. Fenomena public-trust yang semakin menurun oleh kalangan non-organisasi memunculkan sikap anti kepada orang-orang yang berorganisasi. Kita ketahui setiap pejabat di birokrasi adalah orang-orang yang pernah berorganisasi. Orientasi pengabdian dan keberpihakan bergeser ke pendanaan dan pendonoran. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Bermuhammadiyah sebagai Identitas
Sebagai organisasi yang besar dan tersebar di seluruh Indonesia, Muhammadiyah turut andil dalam setiap agenda kebijakan yang menyangkut kepentingan negara dan bangsa Indonesia, baik melalui kritik, dukungan, dan keterlibatan di lembaga pemerintahan dan non pemerintahan. Selanjutnya, Muhammadiyah juga perlu merawat generasi muda dan lapisan masyarakat secara menyeluruh.
Kemudian muncul otokritik bahwa Muhammadiyah terlalu eksklusif, kurang bisa masuk ke gang-gang kecil. Kita tidak bisa alihkan bahwa paradigma ini masih berkembang di masyarakat umum, tak terkecuali yang non organisasi tersebut.
Fenomena penguatan identitas sudah merambah ke organisasi-organisasi hingga aktivis-aktivis muda, organisasi hari ini justru mengakibatkan patriarki dan eksklusivitasnya masing-masing. Saya pernah mengikuti suatu forum aliansi, dalam pembahasannya, mereka mengungkapkan batasan dan keberpihakan organisasinya, tidak membahas pada poin utamanya, yaitu pembelaan pada hak-hak manusia secara universal. Perihal ketidaksepahaman pada poin-poin tertentu saya rasa bisa disiasati dengan penggunaan redaksi pada naskah tuntutan.
Identitas menjadi sangat dispesialkan oleh pengurus organisasi, misalnya dengan menggunakan forum pengajian yang diisi oleh orang-orang organisasinya saja. Sekolah sekolah yang tidak boleh diisi oleh organisasi di luar kedekatan organisasi sekolahnya. Penguatan identitas ini hampir terjadi semua organisasi. Tetapi seharusnya kita kembali ke hakikat berorganisasi. Karena kita Bermuhammadiyah, maka kita harus mengembalikan peran Muhammadiyah secara menyeluruh di masyarakat.
Fungsi organisasi sebagaimana yang kita ketahui berorientasi pada kehendak umum dan kepentingan masyarakat pun keberpihakannya. Bukan kepentingannya orang-orang di dalam organisasi tersebut.
Dalam konteks Bermuhammadiyah, berarti kita harus selesai pada pemahaman eksistensi dan esensi Bermuhammadiyah, eksistensi tak ubahnya essensi. Bermuhammadiyah tetap tidak boleh mengesampingkan idealitasnya, essensi tercermin daripada Bermuhammadiyah sebagaimana para pendahulu dan pendiri Muhammadiyah, perihal kemudian interpretasinya hari ini dengan realitas perkembangan zaman, maka yang diubah ialah metodologinya, kreativitasnya, gaya kepemimpinannya.
Hakekat Bermuhammadiyah
Eksistensi Muhammadiyah tercermin dari branding pengurus organisasi dalam kehidupan sosialnya, apakah pengurus itu mencerminkan orientasi organisasi atau pengurusnya sendiri. Itu akan terlihat bilamana pengurus organisasi melakukan pola-pola untuk stabilitas eksistensi Muhammadiyah.
Bermuhammadiyah tak ubahnya para pendahulu kita dalam menjalankan kepemimpinannya, secara institusional dan kultural kita terikat oleh Tujuan Muhammadiyah, AD/ART Muhammadiyah, MADM, PHIWM, Khittah. Kesemuanya adalah petunjuk hidup pengurus organisasi Muhammadiyah untuk lingkungan organisasi dan untuk kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Bermuhammadiyah tidak selalu dimaknai secara textual. Muqodimah hingga khittah yang menjadi dokumen wajib warga Muhammadiyah boleh saja dilakukan pengkajian ulang untuk menjawab tantangan-tantangan perkembangan sosial hingga politik di masyarakat.
Merumuskan narasi yang bersifat strategis mamuat bahasan formulasi-strategi dalam menjawab persoalan-persoalan yang tampil di masyarakat. Muhammadiyah juga perlu menciptakan trend atau wacana perubahan, tidak sekedar reaktif mengikuti dan menjawab trending issue kekinian.
Ada banyak fenomena yang tidak diungkap oleh media mainstream lainnya, Muhammadiyah dengan bekal organisasi yang besar diharapkan untuk tampil lebih berani. Berpikir berkemajuan itu tidak sekedar meng-upgrade diri dengan hal-hal yang up to date, tapi juga meng-upgrade diri untuk mengambil keputusan dan menjawab permasalahan nyata.
Bermuhammadiyah sama halnya bersikap. Bersikap untuk menjawab tantangan dinamisasi zaman dan kaderisasi generasi. Metodologi dakwah dan kegiatan disesuaikan sebagaimana kebutuhan generasi. Bermuhammadiyah sama halnya mengembalikan peran Muhammadiyah secara menyeluruh di masyarakat.