Perlu dipahami, bahwa dalam ajaran Islam, nama lelaki di belakang nama diri seseorang berarti keturunan atau anak dari lelaki tersebut. Sebagai pengakuan dan penghormatan anak terhadap orang tua kandungnya. Berbeda dalam tradisi Barat, seorang gadis memakai nama sang ayah sebagai nama belakang bila belum menikah. Namun usai berstatus sebagai istri, nama belakang tersebut berganti menjadi nama suami, misalnya, Hillary Clinton yang nama aslinya Hillary Diane Rodham.
Tradisi seperti itu tidak ditemukan dalam sunah Nabi SAW yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya. Karena para istri Rasulullah SAW, yaitu para ibu kaum mukminin, menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya. Namun tidak seorangpun dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliau SAW, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayahnya meskipun ayahnya kafir. Demikian pula para istri sahabat.
***
Namun demikian, pencantuman nama seseorang atau yang lain, bisa jadi hanya soal identifikasi saja, hal tersebut tidak berkaitan dengan hakikat penyandaran nasab (nisbat). Sebagaimana dalam tradisi Arab klasik, ada varian bentuk identifikasi tersebut. Terkadang berdasarkan hubungan pertuanan, seperti Ikrimah Maula Ibn Abbas, atau merujuk pada profesi atau lewat julukan, contoh Fulan al-Hadad (tukang besi).
Sementara, yang dilarang dalam agama ialah, pemakaian nama belakang yang tujuannya untuk mengalihkan nasab atau hubungan darah dengan memakai redaksi bin/binti atau yang semakna.
Berkaitan dengan pentingnya pengakuan penyebutan ayah kandung ini, ada sejumlah dalil antara lain firman Allah dalam surah al-Ahzab (33): 5;
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu [*]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[*] Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
Bahkan Rasulullah SAW mengeluarkan statemen yang keras, sebagaimana hadis dari Ali bin Abi Thalib [diriwayatkan] bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
… وَمَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَو انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا [رواه مسلم]
Barangsiapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah [HR. Muslim].
Di sisi lain, penggunaan nama orang tua itu, mengandung unsur hukum, seperti warisan, perwalian, dan nafkah, selain itu pula, memudahkan identifikasi. Apalagi, apabila isteri memakai nama suami, akan cenderung berganti, misalnya, suami pertama telah meninggal atau bercerai.
Berkenaan dengan sah tidaknya sebuah akad nikah maka nikah dikatakan sah jika memiliki 5 syarat berikut:
Pertama, Ta’yin az-Zaujain. Menyebutkan secara pasti individu pasangan yang dinikahkan, bukan dengan ungkapan yang membuat ragu. Tidak boleh wali nikah hanya mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya”, padahal ia memiliki banyak anak. Harus disebutkan secara pasti anaknya yang mana yang ia nikahkan, dengan menyebutkan namanya. Misal dengan mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya, Aisyah”, ini sah. Tidak boleh juga sekedar menyebutkan: “saya nikahkan anda dengan anak saya yang besar (atau yang kecil)”, yang memungkinkan salah paham.
Kedua, Adanya keridhaan dari kedua mempelai
Ketiga, Adanya wali, berdasarkan Hadis Nabi saw:
عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ [رواه أبو داود]
Dari Abu Musa:
Bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda: tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (HR. Abu Dawud).
Keempat, Adanya saksi:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ [رواه ابن حبان]
Dari ‘Aisyah [diriwayatkan] bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil [HR. Ibnu Hibban].
Keilma, antara kedua mempelai tidak terdapat larangan atau halangan untuk melakukan pernikahan, seperti keduanya termasuk mahram, masih saudara sepersusuan, maupun mempelai wanita masih dalam masa iddah.
***
Mencermati syarat sahnya pernikahan di atas, tidak ada sesuatu yang dilanggar. Maka pernikahannya adalah sah, termasuk akibat dari pernikahan yang sah itu, yaitu anak. Hanya, penyebutan nama paman dalam isian akta nikah sebagai pengganti orang tua kandung, merupakan sebuah kekeliruan.
Mudah-mudahan itu tindakan kekhilafan/ketidaktahuan dan bukan sengaja menghilangkan nasab sesungguhnya. Jalan keluar agar tidak mengganggu secara psikologis, adalah dengan jalan taubat dan menyesali kekhilafan tersebut, dan memohon maaf secara tulus apabila orang tua kandung masih hidup dan dapat dilacak keberadaannya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No. 28 Tahun 2015