Feature

Bukan 75, NKRI Sebenarnya Berumur 70 tahun

4 Mins read

Serangkaian kekalahan Jepang terhadap sekutu, memaksa pemerintah Jepang untuk segera menentukan sikap darurat guna mempertahankan pengaruh Jepang di wilayah-wilayah pendudukan jepang dengan memberikan kemerdekaan, salah satunya Indonesia.

Puncaknya pada bulan Agustus, konstelasi politik di Indonesia semakin memanas setelah mendengar bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu. Sehingga kala itu memaksa Soekarno dan Mohammad Hatta, serta Radjiman Wedyodiningrat, diterbangkan secara rahasia ke Dalat, Vietnam, untuk “menagih” kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang. Menurut berbagai sumber, pemerintah Jepang menyarankan agar kemerdekaan Indonesia dinyatakan setidaknya tanggal 24 Agustus 1945.

Sosok Soekarno dan Mohamad Hatta sendiri merupakan tokoh penting yang memiliki legitimasi dalam pembacaan proklamasi kemerdekaan. Hal ini lah yang mendorong para pemuda yang kala itu sampai harus menculik soekarno ke Rengasdengklok dan memaksa Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa harus menunggu instruksi dari Jepang.

Maka terjadilah perundingan yang memanas antara kaum tua dengan kaum muda dan disepakatilah pada tanggal 17 Agustus akan dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan tanpa sepengetahuan jepang.

Status Quo Indonesia

Setelah proklamasi kemerdekaan dilaksanakan, pemerintahan yang terbentuk kala itu segera mulailah diplomasi dengan pemerintah militer Jepang yang masih memegang pendudukan di Asia Tenggara saat itu.

Sikap Jepang yang masih memposisikan diri sebagai penguasa dengan modal masih memegang senjata. Dalam pelantikan KNIP tanggal 29 Agustus 1945, Soekarno menyebutkan bahwa Indonesia talah memegang status quo otoritas untuk posisi jabatan-jabatan penting pemerintahan. Sedangkan Jepang memegang posisi militer dalam mempertahankan keamanan dan keteraturan sosial (ketertiban), sehingga alur diplomasi yang dilakukan adalah gentlement’s agreements (Patanjala Vol. 9).

Ada sosok yang sangat berjasa dalam memperjuangkan posisi militer Indonesia, sosok itu adalah Kasman Singodimedjo, seorang aktivis Muhammadiyah sejak 1921. Kala itu pada tanggal 22 Agustus 1945 oleh PPKI dibentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai organisasi non militer yang merupakan cikal bakal pasukan tentara kebangsaan Indonesia.

Baca Juga  Posisi Perempuan dalam Kemerdekaan Bangsa

Walaupun organisasi non militer, anggota-anggota BKR dengan gencarnya melakukan tindakan perampasan senjata terhadap anggota pasukan Jepang yang mereka temui. Tindakan BKR dan posisi Jepang yang semakin sempit memberikan dorongan kepada Kasman yang pada saat itu menjabat ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) untuk mengumumkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 sebagai pasukan militer resmi Indonesia.

Belanda Belum Mengakui Kedaulatan Indonesia

Status Indonesia setelah memproklamasikan diri, menjadikan secara de facto Indonesia telah terlepas dari belenggu penjajahan. Pada saat itulah Belanda masih belum menerima kemerdekaan Indonesia. Usaha-usaha belanda dalam merebut kembali tanah jajahannya dilalui dalam segala macam mulai dari penyerangan-penyerangan militer hingga diplomasi-diplomasi. Namun semua diplomasi dari belanda selalu membuat Indonesia dirugikan. Perundingan yang tidak kunjung menemui titik temu, membuat Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II. 

Ada tiga tokoh yang menonjol pada posisi indonesia saat diserang agresi militer Belanda. Ketiga tokoh itu adalah Jenderal Soedirman, kemudian Syafruddin Prawiranegara dan Mr. Mohamad Roem. Jenderal Soedirman dalam posisinya memimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR) harus melakukan taktik Perang Gerilya untuk menyibukan pasukan Belanda. Pada saat itu terjadi kekosongan pemerintahan dengan ditahannya Soekarno dan Mohamad Hatta serta para menterinya oleh Belanda. Kekosongan pemerintahan pada saat itu membuat Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat.

Ketika posisi belanda semakin terjepit oleh Dewan Keamanan PBB dengan meminta Belanda menghentikan Agresi Militernya. Belanda akhirnya memutuskan untuk melakukan Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun sebelum konferensi dimulai pada 14 April 1049 terjadi perundingan antara Belanda yang dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen dan Indonesia yang dipimpin Mohamad Roem. perundingan tersebut menghasilkan pernyataan Roem-van Roijen dan menandai kembalinya pemerintahan indonesia.

Baca Juga  Mbah Liem, Pendiri Pesantren Pancasila Sakti dan Pencetus Slogan NKRI Harga Mati

Kemudian pada 27 Desember 1949 yang melahirkan sebuah pengakuan Belanda dan dunia Internasional atas pemerintahan Indonesia dengan bentuk ketatanegaraan Negara Indonesia Serikat (RIS) yang masih memiliki pertalian dengan Belanda. Dalam RIS bergabunglah 16 negara bagian kecuali irian barat.

Keadaan Kacau RIS dan Lahirnya Mosi Integral Natsir

Baru dimulai, kedaulatan RIS menemui titik permasalahan ketika tanggal 4 Januari 1950, DPRD dari Negara Bagian Jawa Timur memutuskan untuk bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta). Keputusan itu akhirnya membuat negara-negara bagian lainnya mengalami kekacauan pemerintahan dengan banyaknya daerah-daerahnya yang menyatakan bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia.

Keadaan ini membuat Mohammad Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi, mengusulkan untuk membentuk negara kesatuan, yakni peleburan kembali wilayah-wilayah Indonesia yang terkotak-kotak dalam bentuk negara bagian menjadi negara kesatuan. 

Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Setelah berdiskusi dengan para ketua fraksi dari berbagai partai politik yang ada, pada 3 April 1950, Natsir mengajukan mosi integral dan dalam pernyataannya bahwa usulan yang dibawanya mengenai pembentukan negara kesatuan, tidak ada hubungannya dengan bentuk struktur negara federalis maupun unitaris. Hal ini dipertegas kembali bahwa negara kesatuan adalah wujud dari peletakan kepentingan bersama dalam mencapai cita-cita negara.

Perdana Menteri RIS yang saat itu dijabat oleh Mohamad Hatta menyatakan persetujuannya dalam membentuk negara kesatuan sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan kenegaraan. Berkat ide dan usul dari Mohamad Natsir melalui Mosi Integralnya, proses pengembalian pemerintahan Indonesia kepada bentuk kesatuan (NKRI) berjalan dengan baik dan diterima secara aklamasi oleh parlemen RIS tanpa ada pertumpahan darah.

Langkah selanjutnya dibentuklah sebuah panitia bersama untuk merancang kembali Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kemudian disetujui oleh BP-KNIP RI dalam sidangnya pada 12 Agustus 1950. Kemudian pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani Rancangan UUD itu menjadi Undang-Undang Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal dengan nama UUDS 1950.

Baca Juga  Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

Sampai pada tanggal kemerdekaannya, yaitu 17 Agustus 1950, secara resmi RIS dibubarkan dan sebagai gantinya Republik Indonesia diproklamasikan kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Ir. Soekarno terpilih kembali sebagai Presiden, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.

***

Bertepatan pada tanggal hari ini, 17 Agustus 2020 adalah sebuah hari bersejarah yang patut kita peringati bersama. Perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan Indonesia merupakan sebuah perjuangan panjang dan tidak semerta-merta selesai pada saat diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Posisi indonesia masih belum berdaulat penuh pada saat itu dan harus melewati proses penyempurnaan sistem ketatanegaraan yang begitu alot. Babak akhir proses tersebut ditutup dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 berkat Mosi Integral Natsir pada tanggal 3 April 1950 oleh seorang tokoh intelektual muslim besar, Mohamad Natsir.

Sudah menjadi sebuah kewajiban kita sebagai bangsa Indonesia untuk mengambil ibrah dari sejarah panjang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjaga persatuan dan kesatuan yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa. 

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Anggun Nugroho Saputro
10 posts

About author
Mahasiswa Jurusan Sains-Fisika, Institut Teknologi Sumatera. Komisariat IMM Prof BJ Habibie Bandar Lampung. Asal Kudus, Jawa Tengah
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds