Isu Cina vis a vis Islam kembali mengemuka, terutama pada masa tahun politik lalu. Sentimen Cina dimanfaatkan untuk menjatuhkan satu pihak demi mendulang suara emosional dari (terutama) umat Islam.
(Pada tulisan ini, izinkan kami untuk menggunakan kata Cina daripada Tionghoa agar pesan dapat tersampaikan secara emotif dan tepat)
Cukup banyak dugaan legimitif mengapa umat Islam wajib memusuhi Cina, dari mulai isu penistaan agama, solidaritas muslim, serta kesenjangan ekonomi.
Meski begitu, apakah sebenarnya umat Islam benar-benar perlu memiliki sikap permusuhan terhadap Cina?
Romantisme Kejayaan Islam
Dinasti Abbasiyah merupakan imperium yang mencerminkan kejayaan umat Islam. Pada masa itu, selain memiliki wilayah kekuasaan yang luas, Dinasti Abbasiyah pun menjadi pusat peradaban dunia, terutama dalam ilmu pengetahuan.
Interaksi Islam Arab dengan bangsa-bangsa non Arab seperti Persia, Romawi, Turki, sampai Cina memberi warna dalam perkembangan Islam. Umat Islam mampu mengolah budaya secara elaboratif dan adaptif demi kemajuan dunia Islam.
Perang Talas (751 M) antara Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti Tang, Cina menjadi milestone umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa sejarahwan memang meragukan efek pertempuran ini kepada industri kertas yang berkembang pada umat Islam. Meski begitu, tidak bisa dimungkiri, Industri kertas yang berkembang di dunia Islam, terletak di Samarkand (Baghdad) yang dekat dengan pertempuran Talas.
Asumsi kami, strategi perang yang digunakan oleh khalifah Al-Mahdi saat itu adalah menebus para tawanan perang dengan “mengajarkan” produksi kertas kepada umat Islam. Sebagaimana Rasulullah mewajibkan para tawanan kafir Mekkah di perang Badar untuk mengajar literasi kepada umat Islam.
Penemuan industri kertas yang berasal dari Cina kepada umat Islam benar-benar menjadikan bounching umat Islam sangat tinggi, bahkan melebihi Cina itu sendiri. Meski mereka yang menemukan produksi kertas, menurut para sejarawan, justru Islam (Baghdad) lah yang mengawali industri kertas secara massif.
Kita kadang tidak menyadari, selalu diajarkan untuk berpikir jika sebuah fenomena itu berdiri sendiri. Padahal, sejatinya tidak ada seseorang yang sukses dalam satu malam.
Apresiasi kesuksesan seseorang pada suatu malam merupakan proses dari latihan dan kerja keras yang dia lakukan selama bertahun-tahun.
Begitu pula masa kejayaan keilmuan Islam pada masa Khalifah Al-Makmun. Atas jasa khalifah Al-Mahdi yang mengelaborasi kertas untuk diadaptasikan pada keilmuan Islam, merupakan pondasi dari semua kesuksesan program penerjemahan buku di Baitul Hikmah pada masa Al-Makmun.
Belajar Kepada Cina
Bayangkan jika mentalitas strategis terhadap Cina yang dilakukan Khalifah Al-Mahdi juga diaplikasikan pada masa ini.
Kita tidak bisa begitu saja benci kepada (maaf) Cina karena faktanya saat ini mereka sangat maju. Mereka bisa maju karena tentu sunnatullah yang berlaku umum (‘am) kepada semua manusia: jika bekerja keras dan terorganisir, merekalah pemenangnya.
Kenapa tidak, jika kita lebih terbuka dengan potensi kemajuan teknologi mereka sekarang, banyak hal yang jika kita elaborasikan sehingga terwujud praktik Islam yang lebih baik.
Sebagai contoh, industri teknologi dan informasi dalam hal big data yang dilakukan oleh Cina sebenarnya bisa mewujudkan program keagamaan yang tepat sasaran. Karena Cina mampu mewujudkan big data untuk kebijakan negara yang tepat sasaran, sehingga mampu menjadi negara maju.
Sebagai contoh, jika umat Islam mendorong penuh penggunaan e-money maka sebenarnya kita bisa benar-benar mendapatkan data penerima dan wajib zakat.
Hal itu tentu didapatkan dari big data berdasarkan transaksi harian mereka.
Kelompok wajib zakat pun bisa didapatkan secara akurat dengan akumulasi harta wajib zakat sesuai nisab. Setelah itu, maka dilakukan autodebet kepada rekening-rekening wajib zakat tersebut.
Dengan demikian, jumlah uang yang dihimpun dari wajib zakat bisa dicapai secara optimal, lalu penyalurannya dapat dilaksanakan secara tepat sasaran.
Tentunya dalam segi attitude: bekerja keras, pantang menyerah, serta tekun bukanlah hal aib jika kita beradaptasi dari spirit tersebut.
Pada intinya, mentalitas strategik umat Islam perlu dikembangkan agar tidak hitam-putih dalam memandang sebuah persoalan. Terkhusus dalam hal Cina, (bisa kita perdebatkan status hadis/bukan) merupakan bangsa yang perlu kita cermati, lalu lakukan inovasi untuk kemajuan zaman: dalam istilah lain, harus lebih tricky. Mungkin begitu.