Seorang teman datang ke toko buku Mizan Yogyakarta, di suatu ketika. Tujuannya untuk membeli buku Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban (2017), terjemahan karya pemikir Pakistan Fazlur Rahman.
Saat itu, stok buku tersebut kosong. Padahal beberapa hari yang lalu, jumlahnya masih banyak. Penasaran, teman saya lantas bertanya, kenapa cepat sekali terjual. Jawabannya tak pernah diduga, “Buku tersebut diborong oleh Buya Syafii Maarif.”
Ternyata, buku-buku itu diperuntukkan untuk dibagikan kepada para santri kelas 6 Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Kelas 6 sama dengan kelas 3 SMA yang berarti sebentar lagi mereka akan segera melanjutkan pendidikannya di jenjang perguruan tinggi, di dalam dan luar negeri. Buya Syafii ingin menambah bekal pengetahuan Islam bagi mereka. Buya sering menyebut sebagai ikhtiar pertukaran literasi.
Buya Syafii merupakan alumni dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Buya pernah berujar tentang betapa berpengaruhnya hasil pendidikan di Madrasah ini bagi kehidupannya di kemudian hari.
Wajar, jika sampai saat ini Buya selalu semangat berdedikasi pada sekolah ini. Terutama dengan menjadi ketua pembangunan kampus baru. Kata Buya, “Kalau ketika di Muallimin dulu otak saya sudah seperti sekarang, mungkin akan berbeda.”
Buya Syafii menginginkan sebagian kecil para lulusan madrasah ini menjadi intelektual dan pemikir ulung. Mereka tidak hanya perlu paham agama dari perspektif ulama konvensional dengan pendekatan tekstual.
Mereka harus juga memiliki wawasan yang luas, memahami agama dari ragam sudut pandang yang kontekstual, yang menjadikan agama sejalan dengan nilai-nilai kebajikan publik dan mampu menyelesaikan permasalahan kemanusiaan kontemporer.
Guna menjadikan Islam selalu shalih likulli zaman wa makan, dibutuhkan basis doktrin keimanan yang menghujam dan kelenteruran pada aspek tafsir atau pemikiran keislaman. Terutama terhadap kitab suci al-Qur’an yang harus dipahami menyeluruh, yang dalam bahasa Fazlur Rahman, melibatkan gerak double movement.
Menurut Rahman, Qur’an seharusnya menjadi katalisator membangun pandangan dunia. Mufassir tidak hanya memahami makna semantik dan kebahasaan, namun juga harus menyelami makna di balik pesan harfiah, yang disebutnya dengan ratio legis atau maghza.
Karena alasan inilah, Buya Syafii mengiginkan para santri yang terbiasa dengan kajian turats, perlu meluaskan pandangan. Kejadian semacam itu bukan terjadi sekali. Tanggal 17 Desember 2019, Buya Syafii membawa buku Islam karya Fazlur Rahman tersebut ke rapat redaksi Suara Muhammadiyah.
Dalam kesempatan itu, Buya Syafii bertanya, siapa yang belum punya buku tersebut. Kepada salah satu awak redaksi, Buya Syafii minta dibelikan buku untuk semua yang belum punya karya Fazlur Rahman ini. “Pakai uang Anda dulu, nanti saya ganti,” ujar Buya.
Sebelumnya, Buya pernah menitipkan uang sejuta rupiah yang khusus diperuntukkan untuk membeli buku Remy Madinier berjudul Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (2013) terbitan Mizan.
Buya Syafii meminta supaya buku langka ini dibeli dalam jumlah banyak dan dibagikan pada semua awak redaksi. Buya Syafii sangat mengagumi Partai Masyumi dan akhlak para tokohnya yang berintegritas tinggi. “Andai partai ini masih ada, mungkin nasib moral kita tidak seperti sekarang ini,” kata Buya Syafii.
Kepada banyak orang, Buya Syafii sering berbagi buku. Bahkan, pernah dalam acara peletakan batu pertama pembangunan Grha Suara Muhammadiyah yang dihadiri banyak tokoh Muhammadiyah, Buya membawa beberapa buku yang sama. Saya yang penasaran lalu bertanya pada Erik Tauvani. Jawabannya, “Ini buku dari Buya untuk Pak Yunahar (Ilyas), Pak Haedar (Nashir), dan bapak-bapak Muhammadiyah lainnya.”
Saya lupa persis judul bukunya. Buku itu berbicara tentang karakteristik bangsa China, yang dengan kesungguhan dan kepercayaan dirinya mampu bangkit menjadi salah satu kekuatan baru di Asia dan dunia. Ketika itu, sedang marak perdebatan dan kontestasi antara pribumi dan etnis tertentu.
Peristiwa ini terjadi di awal tahun 2017, masih dalam suasana ramainya Pilkada DKI Jakarta yang diikuti oleh salah satu calon dari etnis Cina. Buya sering mengingatkan supaya kita berhenti mencaci maki dan membenci, mari belajar dari mereka.
Orang berbeda pandangan salah satu sebabnya karena berbeda bacaan dan pengalaman. Oleh karena itu, pertukaran literasi dianggap penting. Alasan itulah yang mendorong Buya gemar berbagi buku.
Suatu magrib, saya dihadiahi buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2014) ketika bersilaturahim di masjid perumahan Nogotirto. Saya yang datang bersama beberapa aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UIN Sunan Kalijaga ketika itu, masing-masing mendapatkan hadiah buku.
Kali lainnya, saya mendapatkan buku Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban (2018). Saat itu, Buya ditemui oleh pemilik penerbitan Diva Press, Edi Mulyono, yang membawa beberapa buku untuk dihadiahkan ke Buya Syafii. Salah satunya buku karya Buya yang diterbitkan oleh Ircishod.
Seketika itu juga, saya dan dua kawan diberikan buku karangan Buya yang baru terbit ini. Setiap mendapat buku, Buya selalu meminta dibubuhkan tanda tangan. Sebuah bentuk penghargaan bagi para penulis muda.
Kadang Buya Syafii juga berbagi buku yang diberi pengantar olehnya. Saya pernah menerima buku karya mantan kolumnis Republika, berjudul Pak AR Sang Penyejuk. Seminggu sebelum itu, Buya Syafii mengirim pesan, “Jangan lewatkan buku karya Syaefudin Simon: ‘Pak AR Sang Penyejuk’ Jakarta: Global exPress Media, Mei 2018, 287 hlm. Inspiratif, menyentuh, asketis, ada humornya juga. Maarif”.
Saya pernah juga dihadiahi buku tebal tentang periwayat Syiah dalam Shahih Bukhari dan Muslim karya seorang doktor UIN Syarif Hidayatullah.
Selain memberi buku secara langsung, Buya Syafii sering merekomendasikan buku-buku tertentu sebagai referensi bacaan. Ketika ada peristiwa tertentu, Buya sering mengirim pesan WhatsApp merekomendasikan bacaan. Sering juga lewat email.
Buya Syafii mengirim link atau file PDF artikel-artikel di berbagai media berbahasa Inggris, terutama tentang pemikiran keislaman. Karya para pembaharu Muslim dipandang Buya sebagai bacaan penting untuk membangunkan umat Islam dari tidur nyenyaknya.
Di lain kesempatan, beliau juga pernah menyebar pesan ke para kolega, “Buku agak berat tp perlu dibaca: Arkeologi Tasawuf (Mizan 2016) karya Abdul Kadir Riyadi. Maarif.” Itulah cara Buya. Tanpa perlu menggurui apalagi berdebat secara kasar di muka umum ketika berbeda pendapat.
Buya justru memilih cara yang lebih efektif untuk membuka wawasan banyak orang dan memberi penyadaran. Memberi hadiah buku atau merekomendasikan buku. Minat pada literasi merupakan bagian penting dari pendidikan. Kualitas bacaan akan mencerminkan kualitas hidup.
Lain waktu, sejam sebelum dimulai rapat redaksi Suara Muhammadiyah, Buya mengirim pesan, “Bung Ribas, mohon dicetak artikel Khaled Abou El Fadl: “Saudi Arabia is Misusing Mecca” dlm New York Times, 12 Nop 2018. Utk saya satu. Artikel ini dahsyat sekali. Maarif.” Ternyata, listrik di rumah Buya sedang bermasalah, sehingga minta diprintkan. Tentang bacaan itu, Buya kemudian mengirimkan dan minta tolong dikirimkan ke para ketua PP Muhammadiyah yang akan mengadakan pertemuan dengan Dubes Saudi.
Saya kadang menerima limpahan berkah dari buku-buku yang diberi pengantar atau testimoni oleh Buya Syafii. Biasanya, Buya Syafii dikirimkan PDF buku tersebut untuk dibaca sekilas oleh penulis atau penerbit. Beberapa kali, Buya memforward buku pracetak tersebut untuk kalangan sangat terbatas. Kami sadar bahwa buku PDF tersebut tidak untuk diteruskan. Membeli buku merupakan wujud apresiasi bagi penulis dan industri buku.
Jika berkunjung ke rumah Buya Syafii, maka akan disambut sebuah ruangan di sisi barat yang berisi lemari buku dalam ukuran besar. Memenuhi dinding. Sepanjang empat dimensi ruangan itu berisi bermacam buku dengan berbagai genre dan bahasa.
Tidak cukup di ruangan itu, beberapa buku juga terpajang di ruang tengah hingga ruang garasi. Majalah serta buku terbaru yang sedang dibaca akan tergeletak di meja tamu hingga meja makan.