Inspiring

Buya Syafii: Muazin Bangsa dari Makkah Darat

4 Mins read

Tulisan sebagai bentuk kado spesial untuk Buya Syafii yang pada 31 Mei 2020 telah berusia 85 Tahun. Sosok Buya Syafii sapaan dari Ahmad Syafii Maarif, dalam pandangan banyak orang adalah sosok paripurna. Sosok Muazin Bangsa dari Makkah Darat ini selain memiliki kedalaman dan keluasan ilmu, moralitas dan karakter yang sangat memukau, juga memiliki kesehatan fisik-biologis yang masih nampak kuat, segar dan bugar.

Muazin Bangsa

Istilah “Muazin Bangsa dari Makkah Darat” saya temukan dalam “samudera” biografi intelektual Ahmad Syafii Maarif dan merupakan judul buku yang diperuntukkan sebagai kado Milad beliau yang ke 80 tahun. Buku tersebut terbit 2015 dan merupakan kumpulan buah karya dari kalangan insider (orang dalam) dan outsider (orang luar) Muhmmadiyah.

Buya Syafii, selain sebagai sosok cendekiawan, ulama juga sebagai guru bangsa. Di Indonesia hanya sedikit yang kepadanya dilekatkan istilah “guru bangsa”. Ahmad Najib Burhani, dkk selaku editor pada buku yang saya maksudkan di atas mengungkapkan ”beberapa nama yang pernah dipanggil dengan sebutan itu hanya Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid)”.

Dari Fajar Riza Ul Haq, saya memahami bahwa istilah “muazin bangsa” awalnya terinspirasi dari Alois A. Nugroho, seorang guru besar Universitas Khatolik Atmajaya, yang menabalkan kepada Buya Syafii sebagai “muazin moralitas bangsa”.

Secara harfiah, muazin adalah sang pengingat. Ia berseru, memanggil, tiada lelah mengingatkan banyak orang untuk menunaikan shalat menggapai kebahagiaan. Dalam buku tersebut bisa dipahami bahwa seorang muazin bangsa senantiasa konsisten menyerukan nilai – nilai moralitas dan kebajikan serta mengingatkan orang – orang untuk terhindar dari perilaku – perilaku munkar.

“Makkah Darat” julukan historis untuk Sumpur Kudus, tanah kelahiran Buya Syafii. Menurut Fajar, frase “Makkah Darat” dipungut dari sejarah Minangkabau era Islam yang telah ditimbun debu sejarah selama dua abad.

Baca Juga  Siti Noordjannah Djohantini, Sang Aktivis Perdamaian Anak

Makkah Darat

Dalam buku “Ahmad Syafii Maarif Memoar Seorang Anak Kampung” (2013) yang memotret perjalan hidup Buya digambarkan bahwa “Makkah Darat” secara kultural merupakan simbol perlawanan terhadap “kultur hitam jahiliyah” yang dikuasai oleh parewa (preman) sangar daerah pedalaman dan sekaligus sebagai simbol keberhasilan Islam menundukkan hati manusia Sumpur Kudus.

Penabalan/pelekatan istilah “muazin bangsa” kepada Buya Syafii, tentunya, bukan hanya sebagai arbitrary (semaunya si pemberi istilah) tetapi saya yakin telah mendapatkan social recognition (pengakuan sosial).  

Keyakinan saya tersebut, berdasarkan titik kisar perjalanan hidup Buya Syafii yang di dalamnya melekat spirit, keyakinan, wawasan keilmuan, pandangan, pemikiran yang bermuara pada keistiqamahannya “menggugah nurani bangsa” dan upaya serius buya dalam menyintesiskan antara Islam, Keindonesiaan dan kemanusiaan.  

Pantaskah Buya Syafii sebagai “muazin bangsa”? Pertanyaan ini saya maksudkan bukan untuk mendapatkan jawaban “ya” atau “tidak”. Tetapi pertanyaan ini sebagai pengantar bagi saya untuk memberikan penegasan bahwa Buya Syafii adalah muazin bangsa.

Berdasarkan hasil pembacaan saya, bagaimana Azaki Khoiruddin dalam bukunya Teologi Al- ‘Ashr (2015 : xxii – xxv) membuat sebuah modifikasi kreatif imajinatif hubungan pilar triadik (knowledge x person) + institution. Azaki terinspirasi dari rumusan “generatif” dari Pierre Bourdieu mengenai praktik sosial dengan persamaan: “(habitus x modal) + arena = praktik”.

Bagi saya meskipun tidak cukup ruang menjelaskan secara detail dalam tulisan ini, hubungan pilar triadik sebagai modifikasi kreatif imajinatif Azaki (2015) bisa dikontekstualisasikan untuk memahami bahwa Buya Syafii adalah tepat sebagai “muazin bangsa”. Apalagi jika memperhatikan background kelahiran, akademik, organisasi dan kecenderungan pemikiran Buya Syafii.

Perekat Hubungan Kebangsaan

Buya Syafii sebagaimana disampaikan oleh editor buku “Muazin Bangsa dari Makkah Darat” bahwa dalam dua kali workshop ahli yang dilakukannya, muncul satu kata kunci yang menjadi pembahasan penting terkait hal yang cukup menonjol dari pemikiran Buya beberapa tahun terakhir, yakni terkait suara moral-kemanusiaan yang terus menerus digemakan oleh Buya melalui berbagai kesempatan terutama dalam berbagai tulisan di media cetak (2015: 16). Dan kita temukan hal itu sampai hari ini, tahun 2020.

Baca Juga  Oei Tjeng Hien dan Abdullah Tjan Hoateseng, Dua Tokoh Muhammadiyah Tionghoa

Membaca Prolog M. Amin Abdullah dalam buku “Muazin Bangsa dari Makkah Darat” (2015: 25 – 41) yang pada intinya menjelaskan posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Perkembangan Islam Kontemporer. Saya menemukan bahwa menurun Amin Abdullah Posisi Intelektual Buya Syafii lebih bercorak Progresif-ijtihadi.

Sebagai sosok yang bercorak Progresif-ijtihadi senantiasa menjadi nash Al- Qur’an sebagai mitra dialog dan inspirator utamanya lewati tafsir tematik yang terilhami dari gurunya, Fazlur Rahman. Bagi saya ini semakin memperkuat posisi buya sebagai muazin bangsa terutama dalam konteks Indonesia di tengah kemajemukan bangsa, sebagai negara pancasila dan berpenduduk mayoritas muslim.

Buya Syafii sebagai muazin bangsa bukan hanya sebatas wacana namun telah menjadi praksis sosial kehidupannya. Buya senantiasa hadir sebagai perekat hubungan kebangsaan di tengah kemajemukan.

Dalam Noorhaidi Hasan (2015: 76-95), Buya Syafii sebagai penjaga pluralism dan pengawal keutuhan bangsa. Buya sangat produktif menulis berbagai karya yang memberikan tafsir segar atas dinamika hubungan agama dan negara di Indoensia. Buya terus mengikuti perkembangan Islam, politik dan demokrasi di Indonesia.

Buya senantiasa mengkritik keras “kelompok preman berjubah” yang ingin menegakkan Syariah Islam dengan mengancam dan meneror siapa saja yang berbeda pendapat.

Komitmen Tinggi Buya Syafii

Dalam pandangan Alois A. Nugroho (2015: 119-139), Buya Syafii berani dan blak–blakan dalam menunjukkan apa yang salah sebagai salah, yang kadang–kadang bahkan merupakan perlawanan terhadap kondisi yang didominasi oleh “kekumuhan moral”. Saya memahami pandangan Alois bahwa dalam hal etika politik demokrasi yang bisa dibaca secara rinci dalam buku “Islam dalam Bingkai Keindonesia dan Kemanusiaan”

Dalam pembacaan tersebut bisa dipahami bahwa Indonesia sebagai hasil “kontrak sosial” tidak sama seperti yang dicanangkan oleh filsuf Inggris Thomas Hobbes yang pada dasarnya bersifat dipaksakan lantaran hanya sebagai bentuk refleksi dari ketakutan.

Baca Juga  Prof. Malik: Trendsetter Inovasi Sekolah

“Kontrak Sosial” dalam pandangan Buya adalah relevan dengan pandangan etika filsuf Perancis, Paul Ricoeur bahwa itu muncul dari motivasi agar semua partisipan, termasuk diri sendiri, mendapat perlakuan adil dalam hidup bersama dalam sebuah negara.

Dalam Sudirman Nasir (2015: 225), saya memahami bahwa Buya Syafii sebagai muazin bangsa memiliki komitmen yang tinggi untuk terus mencari pola – pola terbaik hubungan Islam dan negara dalam konteks Indonesia. Terbukti secara personal buya telah mengalami transformasi pemikiran yang awal terpikat dengan ide –ide pendirian negara Islam dan akhirnya menjadi pendukung Islam yang lebih inklusif.

Buya Syafii juga dikenal sebagai muazin bangsa dalam perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Dan sampai pada bagian ini saya menyadari bahwa sungguh tulisan ini tentunya tidak mampu mewakili untuk memberikan gambaran sosok seorang Buya Syafii, itu pun yang dirasakan oleh Zuli Qodir, seorang sosiolog (2015: 367) ketika diminta menulis tentang Buya salah satu alasannya karena Buya adalah sosok cendekiawan-negarawan.

Editor: Nabhan

17 posts

About author
Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, Sulawesi Selatan Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds