Buya Syafii adalah Pelita Kehidupan Bangsa
Buya Syafii telah pergi meninggalkan kita semua pada Jumat 27 Mei lalu. Ia adalah seorang imam sekaligus suluh etika dan nalar bagi kita semua, utamanya dalam membina kehidupan beragama berbangsa dan berkemanusiaan universal. Lahir pada 31 Mei delapan puluh tujuh tahun lalu, Buya adalah pelita terang yang mengarungi lintasan pelbagai jaman. Dari masa revolusi kemerdekaan, demokrasi terpimpin Soekarno, kudeta berdarah 65, Orde Baru Soeharto, Reformasi 98, dan era pos Reformasi dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo. Ia mengarungi lorong waktu perubahan sosial dan politik penting di negeri dan dunia ini.
Saat menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah (1998-2005), putera terbaik Sumpur Kudus Sumatera Barat ini menjadi “wasit” atau saksi pergantian milenium yang ditandai perubahan dan kekacauan tata politik nasional dan internasional. Masa itu, Indonesia diwarnai pergolakan sosial, politik, agama, dan ekonomi yang tak ringan. Sebagai imam, intelektual, dan begawan, ia mengungkapkan keprihatinannya dalam diksi menghentak, “kapal besar ini akan karam”, “korupsi telah membudaya”, “tuna moral dan akal”, dan “preman berjubah”. Semua terhenyak atas diksi alegoris tajam tersebut. Tak sedikit yang marah, tersinggung, mendendam, seraya menuduhnya sebagai “sang moralis”, “dedengkot liberalis” atau diksi-diksi peyoratif lainnya.
Buya tak bergeming. Ia terus menyeru dan menyeru, melalui tulisan, pidato, dan ataupun nasehat di serambi Masjid Nogotirto Yogyakarta. Ia tak surut barang semilimeterpun. Ia tak peduli dengan kritik bahkan cacian dan makian sekalipun padanya. Buya terus melancar-luncurkan seruan dan kritik tajamnya tiada lelah, tanpa henti hingga Tuhan mencukupkannya untuk kembali. Di atas iman dan cinta yang diyakini dan dipeluknya, Buya Syafii adalah seorang Muslim sejati yang memahami dan mengamalkan hakikat dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar, sebuah doktrin sentral yang diajarkan Kiyai Ahmad Dahlan pada murid dan pengikutnya untuk membina-bangun sebuah tatanan sosial politik imajiner “khayr ummah”, umat terbaik. Konsep Quranik ini oleh Muhammadiyah lalu dirumuskan sebagai upaya untuk “menciptakan masyarakat Islami yang sebenar-benarnya” dalam kerangka “Darul Ahdi wa Syahadah” Pancasila dan NKRI.
Sosok Muslim yang Humanis
Buya lahir di Mekah Dare’ atau Makkah Darat, julukan terhormat bagi Sumpur Kudus pada 1936, pada masa-masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Saat itu gagasan kemerdekaan dan kebangsaan “Indonesia” menjadi tali pengikat kuat anak bangsa beragam suku, agama, identitas golongan dan politik yang bisa disimpulkan pada varian “Islam, nasionalisme, dan marxisme”. Meski berbeda, ketiga kubu diikat tali pusar kebangsaan yang sama, yakni utopia mewujudkan komunitas yang dibayangkan, yakni Indonesia merdeka adil dan makmur. Pada masa itu pula, golongan Islam, reformis dan tradisionalis, setahun setelah kelahirannya, dalam sebuah majelis tinggi Islam, MIAI, yang kemudian pada 1943 berubah menjadi partai Islam Masyumi.
Alam Minangkabau dan Indonesia yang dinamis – karena perbedaan dan dinamika politik pasca kemerdekaan, terutama terkait ideologi negara, tampaknya memengaruhi cara bernalar Buya Syafii dari seorang fundamentalis yang mencitakan negara Islam, hingga transformasinya sebagai seorang Muslim humanis yang melihat keserasian Islam, Pancasila, dan Indonesia, serta kemanusiaan universal. Transformasi nilai etik dan falsafah intelektual ini, tampaknya, tidak terpisahkan dari pengalaman dirinya yang kosmpolitan sejak kecil, dari Minangkabau untuk berhijrah di pusar tanah jawa Solo dan Yogyakarta, dan Chicago Amerika Serikat.
Semenjak berguru dengan Fazlur Rahman, ia mengakui, telah membuka mata hati, akal budi, dan nuraninya. Kepulangan Buya dari Chicago bersama Nurcholish Madjid dan Amien Rais pada tahun 80-an memberi harapan segar bagi Indonesia modern. “Mereka adalah tiga pendekar dari Chicago”, tulis Gus Dur di Tempo menyambut kedatangan tiga intelektual Muslim itu.
Buya sebagai Guru Bangsa
Buya adalah seorang Guru Bangsa. Ia tak bosan melakukan kritik dan sekaligus otokritik pada siapapun dan apapun, termasuk langgam politik dan elite negeri yang dinilainya “melenceng” dari garis-garis besar para pendiri bangsa. Menyadari kerja kebangsaan ini adalah kerja kolektif dan bersifat perenial, terus menerus, ia juga berharap besar pada lahirnya generasi baru Muslim Indonesia untuk tampil ke publik. Ia memberikan teladan dan sekaligus kritik dan otokritik pada Muhammadiyah dan NU. Ia meninggalkan harapan dan petuah bagi anak-anak muda Muslim, Muhammadiyah dan NU. Ia tak sungkan memberi nasehat dan petuah.
Petuah Buya kawan-kawan muda Muhammadiyah dan NU adalah tentang kosmopolitanisme dan humanisme. Buya mengajak kita untuk menjebol sekat-sekat identitas, mazhab atau golongan, guna bergaul secara luas, menjadi pribadi kosmopolitan. Bagi Buya, Tuhan menciptakan segala perbedaan, tetapi sumbunya sama, yakni sama-sama manusia dan makhluk Tuhan. Di situlah, kita semua, seyogyanya, tak melupakan hakikat kedirian kita sebagai sama-sama manusia. Kemanusiaan mengatasi perbedaan. Karena itu, ia menyerukan anak muda NU dan Muhammadiyah untuk saling bergaul, bersama-sama memperjuangkan kemanusiaan universal, mengatasi segala residu zaman dan sejarah yang mengotak-kotakkan kemanusiaan kita.
“Residu sejarah Sunni dan Syiah perlu kita pungkasi. Itu adalah produk sejarah”, serunya prihatin melihat konflik besar politik dan sejarah di dalam Islam. Sebagai seorang sejarawan Islam par excellent, Buya memahami artefak politik Islam dengan sangat baik. Pun demikian, ia menyerukan anak-anak muda Muhammadiyah dan NU bersatu pada untuk memikirkan dan memperjuangkan kepentingan umat, bangsa, dan kemanusiaan secara strategis; tak hanya memikirkannya, tetapi memperjuangkannya secara bersama-sama. Ia memimpikan Muhammadiyan dan NU, sebagai benteng Islam Indonesia untuk tampil ke depan, percaya diri, di panggung nasional dan internasional. Buya mengajak kita untuk berpikir strategis melalui pendekatan dialog intelektual.
***
Kita baca ulang, penggalan tulisannya dalam bukunya “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” (2009) berikut ini,
“Anak-anak muda kedua sayap ini pasti akan membantu seniornya dalam menyiapkan bahan dialog intelektual ini. melalui diskusi dan dialog yang jujurdan bermutu tinggi, pasti akan banyak sekali titik temu yang akan diraih untuk kepentingan bangsa dan kemanusiaan. Memandang generasi baru (Muhammadiyah dan NU) ini dengan sebelah mata adalah sebuah kecongkakan yang berasal dari “perasaan serba tahu”, padahal realitas bertolak belakang dengan klaim itu”.
Saya kira, dewasa ini, kedekatan anak muda Muhammadiyah dan NU yang semakin akrab dan intim ini tak lepas dari buah pikiran dan petuah Buya yang melintasi batas, diterima, ditafakuri, dan dilaksanakan oleh generasi muda di kedua jami’yah Islam terbesar di Indonesia itu. Kita bisa menyaksikan sekarang ini intelektual muda Muhammadiyah dan NU berkolaborasi, bercengkerama, dan bertukar pikiran dan canda-tawa di berbagai lini. Kita bisa mudah sekali menyaksikan keguyuban kedua putera puteri ormas modernis dan tradisionalis ini – meminjam istilah Deliar Noer, yang saya sendiri anggap sudah tidak pas lagi untuk memotret fenomena keagamaan Islam di Indonesia itu, di berbagai kesempatan.
Saya mengamini dan mengamalkan nasehat agung Buya itu. Generasi NU Syafiq Hasyim Ulil Abshar Abdalla Abdul Moqsith Ghazali hingga Zuhairi Misrawi adalah mereka yang akrab dengan generasi-generasi muda Muhammadiyah. Generasi ini, seperti yang disebut Buya, adalah generasi yang berbeda dengan generasi para senior yang tumbuh dalam kepekatan persaingan ideologi keagamaan dan politik sejak awal abad kedua puluh.
Harapan Buya Syafii kepada Kader Muda Muhammadiyah
Sejak di Perancis, saya kerap berbagi tulisan dan catatan sederhana saya dengan Buya. Terakhir, saya mengirim tulisan pendek tentang Edgar Morin, seorang sosiolog, filosof, dan humanis Perancis, yang bulan ini akan merayakan 101 tahun hari kelahirannya. Saya menemukan kemiripan Morin dan Buya: melintasi pelbagai perubahan jaman, intelektual publik, dan humanis par excellent. Morin dan Syafii yang berlatar belakang Yahudi dan Islam-Muhammadiyah memiliki pandangan universal yang sama: humanisme, atau kemanusiaan. Di tengah keragaman identitas, ceruk orientasi, dan kepentingan, keduanya menyerukan persatuan kemanusiaan yang sama. Gagasan dan teladan humanisme Buya Syafii ini, kiranya, menjadi salah satu dari sekian petuah kebajikan universal yang diserukan oleh Buya.
Terakhir kali saya bertemu Buya, saat menjenguknya di PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta pada 2019, dua bulan sebelum saya berangkat studi ke Perancis. Saya menjenguk bersama Dirut TransJakarta M Yana Aditya, mendampingi Pak Mensesneg Pratikno dan Kang Teten Masduki. Saya pamit dan minta restu Buya untuk sekolah lagi. Karena itulah, saat ditanya kapan selesai Ph.D, saya tercekat dan berniat untuk bersigegas menyelesaikannya. Itu sebuah doa besar bagi saya. Buya, tampaknya, memantau perkembangan studi saya.
***
Dalam biografinya, Titik-Titik Kisar Di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafii Maarif (2009), Buya berharap munculnya kader-kader muda Muhammadiyah untuk belajar ke luar negeri dan segera pulang ke negeri tercinta.
“Kapan Anda selesai Ph.D?,” tanya Buya. Itulah kontak terakhir daring saya dengan Sang Guru Bangsa. Ia menanyakan kapan saya selesai sekolah dan kembali ke Indonesia. Sebuah pertanyaan yang sulit saya pastikan. Saya hanya meminta doa dan dukungan Buya untuk kelancaran studi saya. Saya tidak seberuntung kawan saya Ahmad Fuad Fanani, Muhammad Abdullah Darraz, dan David Krisna Alka, tiga putera kinasih Buya yang sempat menjenguk Buya sebelum menghadap Yang Kuasa di Yogya. Saya juga tak seberuntung intelektual muda Muhammadiyah Raja Juli Antoni Zuly Qodir, Najib Burhani, Hilman Latief Fajar Riza Ul Haq, Abd Rohim Ghazali dan Sukidi yang bisa berdekatan dengan Buya untuk berdiskusi langsung dan melembagakan pikiran-pikiran cemerlangnya bagi umat, bangsa dan kemanusiaan universal.
Selamat beristirahat Buya. Allah Yang Kuasa telah mencukupkan mujahadah Buya untuk bangsa ini. Kiranya, tugas selanjutnya ada di tangan kami-kami yang muda ini.
Ecole Normale Supérieure (ENS) Lyon, 31 Mei 2022
Editor Soleh