Inspiring

Buya Yunahar: Surau, Minang, dan Muhammadiyah

4 Mins read

Oleh: Gigih Imanadi Darma*

Larut malam 2 Januari 2020, beberapa menit jelang hari berganti pemberitahuan sebuah pesan via ponsel datang. Saat membuka pesan singkat pada aplikasi WhatsApp, hati saya berderit. Terang saja, masih dalam suasana banjir yang mengepung wilayah Jabodetabek, saya pikir pipi-pipi umat kian bertambah basah, ketika mendengar kabar berpulangnya beliau; Prof. Dr. Yunahar Ilyas. Lc., M.Ag.

Seketika itu do’a-do’a saya melangit, bagi mereka yang tau jalan pulang menuju kekasihnya, tak akan pernah risau. Sebab dunia memang fana, dan Prof. Yunahar saya yakini telah menyempurnakan kerja-kerja kemanusian, keumatan, juga kebangsaan. Oleh karenanya pulang adalah perayaan terakhir untuk menuju  kekasih yang mungkin semenjak lama beliau nanti-nanti. Ia tenang dan abadi di surga. Aamiin.

Sampai dengan catatan ini dibuat, di kanal ini, saya menghitung ada sekitar 8 tulisan yang memuat cerita mengenai Almarhum. Baik dari pihak redaktur ataupun kisah yang ditulis oleh para sahabat karib beliau. Dan, percayalah catatan itu akan terus bertambah banyak. Hari ini saya tergerak untuk menambah catatan panjang itu. Menjadi bagian dari sohibul hikayatnya, dengan pendekatan yang mungkin agak berbeda.

Kesaksian Akan Kehebatan Buya Yunahar

Saya adalah mahasiswa Komunikasi & Peyiaran Islam, salah satu program studi di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Fakultas yang pernah beliau bidangi sebagai Dekan periode 2003-2007. Atas capaian akademik itu, setahun berikutnya beliau dikukuhkan sebagai guru besar Ulumul Qur’an oleh fakultas yang sama.

Meski belum sempat menimba ilmu secara langsung dengan beliau, tetapi kabar tentang keluasan pengetahuan, kedalaman ilmu, betapa tawadhu, santun, dan sikap-sikap baik lainnya  sudah sangat sering saya dengar.

Secara pribadi, saya tak cukup beruntung, karena tidak punya pengalaman spesial bersama Almarhum, hanya saja  pernah sekali berpapasan di lobby fakultas. Tetapi senyum dan suaranya itu, wajah teduh dan songkok hitam yang beliau kenakan tempo hari, tak pernah berhasil membuat saya benar-benar lupa. 

Baca Juga  Katip Çelebi (1609-1659): Ulama dan Intelektual dari Istanbul

Begitulah orang-orang berilmu, keberadaanya menentramkan, ketiadaannya banyak dilepas pergi. Didoakan tak putus-putus.

Buya Yunahar, sebagaimana intelektual pada umumnya, pergi dengan meninggalkan “anak” berupa karya. Di antara karya beliau yang paling dekat dan monumental bagi saya adalah seri buku Kuliah Aqidah Islam (1992) dan Kuliah Akhlaq ( 1999). Kedua buku tersebut menjadi bahan ajar dan buku rujukan dalam perkuliahan. Buku yang sangat penting yang judulnya adalah bahasa sindiran. Dua kata yang mulai hilang dari kamus sehari-hari kita : Akidah dan Akhlak.

Tidak berhenti disitu, beberapa karyanya yang lain, menunjukan rentang pemikiran beliau, bisa kita akses hingga hari ini seperti ;  Feminisme dalam kajian Tafsir Klasik dan Kontemporer (1997), Akhlaq Masyarakat Islam (2002), Tafsir Tematis Cakrawala Al-Qur’an (2003), Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Musafir (2005), Kisah Para Rasul (2006), Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Musafir (2006), Tipologi Manusia dalam Al-Qur’an (2007), Kuliah Ulumul Qur’an (2013), dan Dialektika Pemikiran Islam; dari Klasik hingga Modern (2014).

Muhammadiyah dan Minang

Berdasarkan sejarah hidup, izinkan saya memanggil Prof. Yunahar dengan sebutan Buya atau mungkin Uda. Panggilan keakraban yang juga dipakai oleh Pak Mahli Zainudin Tago pada tulisan sebelum ini. Tapi rasanya saya lebih takzim dan pantas menyebut Prof. Yunahar tetap dengan sebutan diawal, Buya.

Buya adalah sebutan khusus, dialamatkan untuk laki-laki Minang yang cakap, luas dan dalam pengetahuannya, yang arif juga luhur tindak perilakunya. Buya Yunahar adalah putra Minang Asli, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 22 September 1956, enam puluh lima tahun silam.

Kita sama-sama mahfum. Minang semenjak dulu menjadi suku yang berulang kali memproduksi tokoh-tokoh hebat. Kita bisa sebut, tokoh bangsa sekelas Bung Hatta, Agus Salim, Muhammad Natsir, M. Yamin, Tan Malaka, dan banyak lainnya.

Tapi yang paling membuat saya berdecak kagum, membuat kita bangga untuk terus ingat adalah para kaum berilmunya. Terutama dalam bidang keagamaan; alim-ulama.

Baca Juga  Kiai Ahmad Badawi: Ulama Ahli Nahwu Saraf yang Lentur Berdakwah

Kita mengenal Syaikh Khatib Al Minangkabawi, Buya Hamka, Buya Syafii Maarif, dan Buya Yunahar tentu saja. Hampir kesemuanya itu, jika kita jeli sadari adalah para pegiat dan pembesar di persyarikatan Muhammadiyah. Ini adalah fakta sejarah yang tidak boleh kita abaikan begitu saja.

Orang-orang Minang dalam Muhammadiyah sudah seperti, anak dan ibu tak dapat dipisahkan. Meski lahir di Yogyakarta, Muhamaddiyah justru eksis di Sumatera Barat, tempat lahir tumbuh dan besarnya Buya Yunahar. Bahkan sampai ada lelucon, jika Madura adalah tempatnya Nahdatul Ulama, maka Minangkabau atau Sumatera Barat adalah kepunyaan Muhammadiyah.

Riwayat Panjang Surau

Saya selalu percaya, orang-orang besar tidak begitu saja menjadi besar dengan sendirinya. Tidak ada proses yang alamiah apalagi instan, semua dibentuk dari pengalaman masa lalu mereka. Dalam konteks ini, pertanyaan awal yang perlu diajukan, pengalaman macam apakah yang menjadikan tokoh-tokoh diatas tak lekang oleh zaman?

Mungkin jawabannya dapat terwakilkan melalui Buya Hamka misalnya, dalam buku yang ditulis Haidar Musyafa : Hamka (Sebuah Novel Biografi) yang diterbitkan oleh Mizan. Ia menulis kepribadian Buya Hamka terbentuk kuat lewat tradisi yang dijalani ketika jelang remajanya. Tradisi apakah gerangan?

Bagi orang Minang, pendidikan adalah modal utama. Sebelum adanya madrasah atau sekolah modern, Minang sudah lebih dulu mengenalkan remajanya melalui lokus belajar dengan konsep mukim atau bermalam di satu tempat bernama Surau.

Surau adalah bangunan khas suku Minang. Atapnya berbentuk runcing seperti tanduk kerbau, arsitektur bangunan ini terlihat seperti perpaduan antara rumah Gadang dan masjid di Indonesia pada umumnya. Surau dalam tradisi Minang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, kegiatan adat dan sosial juga dilakukan di surau.

Dulu, adalah aib jika seorang laki-laki yang sudah akil baligh tidak belajar di surau. Setiap malam mereka menginap di surau, meninggalkan rumah dan berkumpul dengan sebaya lainnya. Pelajaran pertama yang di dapat, tentu adalah kemandirian hidup dan rasa persaudaraan.

Baca Juga  Haji Agus Salim: Membangun Teologi Islam yang Progresif

Dua hal itu yang kita lihat pada diri Buya Yunahar, juga laki-laki Minang kebanyakan. Perjalanan hidup orang Minang adalah merantau dan bekal untuk hidup di tanah orang sudah didapatkan dari surau.

Pendidikan ala Surau

Di surau, anak-anak belajar dengan syekh atau gurunya, pengajaran dilakukan secara berjenjang, mulai dari mengaji Al-Qur’an, Nahwu Sharaf, sampai dengan tarekat. Anak-anak juga dilatih untuk berpidato.

Bukan hanya ritus keagamaan yang diajarkan. Di tempat ini, anak-anak  juga dibekali ilmu beladiri : bersilat wajib hukumnya. 3 fondasi yang ditancapkan : agama, adat istiadat, dan silat. Maka terkenallah Minang lewat falsafah hidup; Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. ( Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an).

Surau lebih dari sekedar institusi pendidikan formal, semua jenis pengalaman hidup ada di surau. Dari surau, kita dapat berkaca bahwa pendidikan hari ini, melalui sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, tak ubahnya adalah kelas persiapan bagi para pekerja industri. Taruhanya adalah para pembelajar berlomba untuk nilai, sebagai syarat formil kelulusan, untuk menuju gerbang gagah-gagahan di hadapan calon bos mereka.

Walhasil bukan temuan baru, bahwa sistem pendidikan kita hari ini minus akhlak. Berbeda dengan pola pendidikan surau yang menekankan kredibilitas moral. Akan tetapi, tetap saja keberadaan surau makin terpinggirkan seiring dengan tawaran sistem pendidikan modern yang di mata industri barang pasti jauh lebih seksi.

Agar surau tidak sekedar menjadi riwayat dan roboh seperti yang dimaksudkan oleh Ali Akbar Navis, maka paling tidak, nilai-nilai dalam surau, serta semangatnya harus tetap kita bawa. Jangan pernah lupa surau telah berjasa meluluskan orang-orang hebat. Mungkin saja Buya Yunahar satu diantaranya.  Di kemudian hari, semoga ada kesaksian yang membenarkan.

Untuk Buya Yunahar, Al-Fatihah…

*) Mahasiswa S1 Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Editor: Nabhan Mudrik Alyaum

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds