Inspiring

Zaenab Damiri: Perempuan Pertama Anggota DPRD DI Yogyakarta

4 Mins read

Tidak banyak perempuan memilih jalur politik sebagai jalan perjuangan, apalagi pada pertengahan abad ke-20, tidak lama setelah Indonesia merdeka. Politik sering dianggap sebagai dunianya laki-laki. Di tengah masih minimnya kesadaran politik perempuan, Siti Zaenab Damiri, justru berani mengambil pilihan tersebut. Ia memilih politik sebagai salah satu jalan perjuangannya.

Zaenab Damiri

Kiprah Zaenab di bidang politik tampak melalui peran aktifnya dalam Muslimat Masyumi, sayap perempuan partai politik Masyumi. Bahkan ia pernah menjadi Ketua Pengurus Besar Muslimat Masyumi, wadah aktivitas politik perempuan muslim yang berafiliasi ke Masyumi. Muslimat Masyumi berperan membina anggota Muslimat Masyumi maupun simpatisan perempuan Masyumi, mengikuti kampanye, dan menjadi juru bicara kampanye. Tak terkecuali Siti Zaenab. 

Muslimat Masyumi memiliki tanda keanggotaan dan mempunyai kegiatan sendiri, seperti pengajian dan kursus politik bagi perempuan. Marfu’ah, aktivis Muslimat Masyumi yang di kemudian hari juga menjadi anggota DPRD menyampaikan, bahwa Zaenab Damiri yang merupakan tokoh Muslimat Masyumi sekaligus tokoh ‘Aisyiyah, kerap memberikan pengajian. Ia tidak jarang menyampaikan perihal aspek politik dalam sejarah rasulullah.

Jumlah peserta pengajian, berdasarkan informasi Marfu’ah, lebih banyak dibandingkan peserta kursus politik. Menurut Marfu’ah, tidak mudah mencari perempuan yang mau terlibat dalam politik karena kesadaran perempuan tentang pentingnya keterlibatan dalam politik masih kurang. Hal sebaliknya terjadi pada Zaenab. Ia justru berpikir, bahwa melalui politik, ia berharap dapat mewarnai kebijakan dan menjadi aspirasi bagi perempuan. Marfu’ah pun menggambarkan profil Zaenab sebagai perempuan yang tegas dan pandai berbicara di depan publik.

Perempuan Pertama Anggota DPRD DIY

Dalam Pemilihan Umum Daerah untuk memilih anggota DPRD Provinsi DIY pada tahun 1951, Siti Zaenab Damiri menjadi satu-satunya perempuan yang terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi. Pemilu tersebut diselenggarakan mengacu pada UU No. 7 Tahun 1950 tentang Pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan daerah-daerah di dalam lingkungannya, dengan sistem pemilihan bertingkat, yaitu pemilihan umum memilih pemilih, dan pemilih memilih anggota DPRD. Dari 296 calon Anggota DPR DIY, hanya terdapat 15 calon perempuan, Zaenab salah satunya. Saat itu, Zaenab merupakan calon dari partai Masyumi, partai yang mencalonkan perempuan terbanyak, yaitu 6 calon dibandingkan partai lainnya. Ia dicalonkan bersama Nj. Anisah Djufri, St. Aisjah Hilal, Nj. Alfiah Muhadi, Siti Ruchajanah, dan Siti Halifah.

Baca Juga  Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Sarjana Indonesia dari Sejarahwan Merle Ricklefs?

Pemilu Daerah tahun 1951 di Yogyakarta menjadi pengalaman pertama bagi perempuan untuk memilih dan dipilih. Bukan hal mudah terpilih sebagai anggota DPRD dalam pemilu daerah melalui sistem pemilihan bertingkat, karena hasil pemilihan umum sebagian besar ditentukan dari hasil pemilihan ‘pemilih’. Menurut Ny. Soepeni Pudjobuntoro, aktivis gerakan perempuan masa itu, partai atau organisasi yang menguasai banyak ‘pemilih’-lah yang akan menjadi pemenang.

Tantangan bagi calon perempuan juga berasal dari penggunaan istilah yang bersifat maskulin, yaitu ‘Djago’ untuk menyebut calon pemilih yang akan memilih anggota DPRD. Sedangkan ‘Djago’ dalam bahasa Jawa identik dengan laki-laki. Dalam pandangan Ny. Soepeni Pudjobuntoro, istilah ‘Djago’ yang berarti ayam jantan digunakan untuk menyebut para calon pemilih, sehingga para pemilih termasuk pemilih perempuan menganggap bahwa sudah semestinya mereka memilih para ‘Djago’ atau kaum laki-laki. Secara simbolik, penggunaan istilah tersebut, dapat menunjukkan adanya anggapan bahwa politik adalah wilayahnya laki-laki.

Belum lagi, problem patronase suami terhadap istri dalam menentukan pilihan. Menurut Ny. Soepeni, kebanyakan kaum perempuan masih anut grubyuk atau menurut saja dalam menggunakan hak pilihnya, bahwa istri harus memilih suami atau memilih partai atau calon yang dikehendaki dan dipilih oleh suaminya. Zaenab pun melakukan pendidikan politik bagi perempuan, bahwa perempuan memiliki hak politik baik dipilih maupun memilih untuk meningkatkan derajat hidup perempuan.

***

Zaenab bersyukur bahwa Ihtiarnya bersama partai Masyumi dan Muslimat Masyumi maupun pendukungnya membuahkan hasil. Sebagai elemen perempuan dalam tubuh partai, Muslimat Masyumi jelas-jelas mempunyai andil dalam usaha-usaha pemenangan Pemilu terutama untuk membidik para pemilih perempuan.

Dalam susunan seksi-seksi pada DPRD Istimewa Yogyakarta, Siti Zaenab Damiri masuk dalam seksi sosial dan pendidikan bersama anggota DPRD dari partai lainnya. Sebagai perempuan anggota DPRD DIY dan aktivis partai, ia membangun komunikasi yang terbuka pada banyak pihak. Terutama untuk menyerap aspirasi dan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat.

Baca Juga  Ki Bagus Hadikusumo (1): Sang Mujahid Konstitusi

Pada masa keanggotaan Zaenab sebagai anggota DPR DIY, telah ditetapkan regulasi yang cukup penting dalam mengatasi problem sosial. Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta (PERDA DIY) Nomor 15 Tahun 1956 tentang penampungan pengemis, fakir miskin, orang/anak gelandangan, anak-anak terlantar di luar daerah Kota Besar Yogyakarta. Peraturan ini sendiri merupakan respons dari banyaknya pengemis dan fakir miskin yang terlantar di tempat umum sehingga membutuhkan tempat tinggal yang diistilahkan sebagai rumah perawatan.

Jejaring Zaenab dikenal luas. Ia merupakan tokoh perempuan Islam yang turut membidangi lahirnya Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta (BMWIY), semacam forum kerjasama antar organisasi perempuan Islam di Yogyakarta. Bahkan di kemudian hari, Zaenab bersama tokoh perempuan Islam lainnya juga turut melahirkan organisasi Wanita Islam pada tahun 1962 di Yogyakarta.

Pembentukan Wanita Islam merupakan hasil musyawarah besar para tokoh “Badan Kesejahteraan Wanita Islam” untuk menyatukan organisasi tersebut di bawah satu pimpinan supaya usaha lebih efektif dan teratur. Ia kemudian terpilih sebagai Ketua Umum PP Wanita Islam.

Zaenab Damiri Penggerak ‘Aisyiyah

Membicarakan Zaenab tidak mungkin tanpa menyebut keterlibatannya sebagai penggerak dalam organisasi ‘Aisyiyah. Ia dikenal sebagai ulama perempuan di kampung Kauman, kampung tempat awal mula lahirnya Muhammadiyah.

Zaenab juga merupakan salah satu anggota Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Ketika ‘Aisyiyah ditetapkan sebagai organisasi otonom Muhammadiyah berdasarkan hasil keputusan Muktamar tahun 1950. Melalui sidang khusus tertanggal 23 Desember 1950, ‘Aisyiyah yang semula merupakan bahagian majelis dari Muhammadiyah ditetapkan sebagai organisasi otonom bernama Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Selanjutnya penyusunan organisasi diserahkan kepada tim yang beranggotakan beberapa pimpinan ‘Aisyiyah. Zaenab salah satu di antaranya bersama Siti Aisyah Hilal, Siti Badilah, N. Pardjaman, dan Ny. Djokorahardjo.

Baca Juga  Mulla Shadra: Pemikir Terbesar Pasca Ibnu Rusyd

Berdasarkan Maklumat PP Muhammadiyah, disahkan susunan pimpinan PP ‘Aisyiyah, yang menetapkan Siti Badilah Zuber sebagai Ketua dan Siti Hajinah sebagai Wakil Ketua. Sedangkan Zaenab Damiri ditetapkan sebagai anggota PP ‘Aisyiyah bersama Siti Aisyah Hilal, Fatma Wasol, Aminah Dahlan, dsb. Zaenab kemudian dipercaya menangani bidang hukum. Ia bersama Siti Aisyah Hilal dipercaya sebagai representasi ‘Aisyiyah pada Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Talak dan Rujuk.

Perempuan agar Tempuh Jalan yang Dinamis

Tidak jarang tulisan Zaenab Damiri ditemukan pada terbitan majalah Suara ‘Aisyiyah pada tahun 1950-an maupun 1960-an. Dalam tulisannya, Zaenab mengutarakan pandangannya perihal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari ajaran Islam. Menurutnya, bahwa perempuan juga berhak hidup sebagaimana laki-laki. Kedua memiliki hak untuk menyeru pada kebaikan maupun mencegah hal yang merugikan, terutama bagi bangsa dan negara. Ia mengajak perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan, “jangan ada yang ketinggalan, jangan ada yang mempunyai sikap masa bodoh.”

Perempuan, dalam pandangan Zaenab, hendaknya berani menempuh jalan baru, sistem baru, cara baru, pikiran baru, dan daya cipta agar dapat mengatasi masalah yang dihadapi rakyat.

“Sekuat-kuatnya kita bekerja giat, kita harus lepaskan tabir-tabir, hati yang beku, statis, jumud, kita tempuh jalan yang dinamis.. Jika tidak kita mulai sekarang, maka kita akan menghadapi 2 alternatif yang mau tidak mau harus kita telan, kita biarkan mereka bingung, terus sengsara, atau kita tinggalkan rakyat kita mencari yang lain.”  

Zaenab Damiri

Editor: Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Redaktur Majalah Suara Aisyiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *