Fikih

Cak Nur: Pernikahan Muslim dan Non-Muslim Itu Boleh Saja!

3 Mins read

Baru-baru ini warga net dihebohkan dengan isu tentang pro-kontra pernikahan antara muslim dan non-muslim. Isu ini awalnya muncul dari sebuah unggahan foto pernikahan antara wanita muslimah dan pria Nasrani yang berlangsung di Gereja. Foto tersebut menuai banyak sekali kontra dari berbagai kalangan, mulai dari pihak-pihak hukum hingga dari para tokoh agama di Indonesia.

Namun, yang menjadi sorotan perhatian masyarakat yaitu pernikahan tersebut ternyata dihadiri oleh tokoh muslim yang pro terhadap pernikahan beda agama. Beliau adalah Ahmad Nurcholish, yang dijuluki sebagai bapak penghulu pernikahan beda agama di Indonesia.

Pendapat Cak Nur Tentang Pernikahan Muslim dan Non-Muslim

Pendapat-pendapat Cak Nur ini memang menuai banyak kontroversi dari kalangan ulama. Bahkan Buya Hamka dan ulama-ulama fikih lainnya sempat menyatakan bahwa cara yang ditempuh Nurcholish Madjid ini termasuk kecurangan, karena tidak ada dasar hukum dan dampaknya bisa sampai menghancurkan nilai-nilai ibadah dan akidah umat Islam.

Pendapat yang dikemukakan oleh Nurkholish Madjid merupakan ijtihad beliau dengan ra’yu-nya dalam memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan pernikahan muslim dan non-muslim. Ayat-ayat pernikahan muslim dan non-muslim dalam Al-Qur’an adalah QS. Al-Baqarah ayat 221, Al-Maidah ayat 5 dan al-Mumtahanah ayat 10. Berikut pendapat beliau tentang ayat-ayat tersebut:

[1]. QS. Al-Baqarah ayat 221, “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu….”

Yang dimaksud musyrik oleh Cak Nur pada ayat ini, yaitu orang-orang yang menyembah berhala Arab saja, tidak termasuk ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Beliau memberikan pendapat tersebut berdasarkan pada QS. Al-Bayyinah ayat 1, bahwa Allah SWT tidak memanggil ahli kitab dengan musyrik, melainkan dengan ahli kitab. Artinya, beliau mengeluarkan golongan ahli kitab dalam pelarangan pernikahan seorang muslim dengan musyrik.

Baca Juga  Berjabat Tangan Saat Idul Fitri: Antara Tradisi dan Syariat

***

[2]. QS. Al-Maidah ayat 5, “Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu…”

Menurut Cak Nur, ahli kitab dalam ayat ini tidak termasuk di dalamnya kafir musyrik. Beliau memperluas makna ahli kitab pada ayat ini kepada seluruh penganut agama. Seperti Yahudi, Kristen, Majusi, Kong Hu Chu, bahkan apapun agama dan kepercayaannya, mereka termasuk golongan ahli kitab. Ayat inilah sebagai dalil utamanya terkait pembolehan pernikahan seorang muslim dan non-muslim.

[3]. QS. Mumtahanah ayat 10, “jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka…”

Sama halnya dengan memaknai musyrik pada QS. Al-Baqarah ayat 221, Cak Nur juga memaknai kafir pada ayat ini yaitu kafir musyrik Arab saja, tidak termasuk ahli kitab. Adapun kafir musyrik yang dimaksud adalah golongan yang tidak mempercayai kitab-kitab samawi dan Nabi-Nabi. Pendapatnya ini disandarkan pada QS. Al-Bayyinah ayat 1-6.

Bagaimana Pernikahan Muslim dan Non-Muslim Menurut Jumhur Ulama?

Setelah membaca pendapat-pendapat Nurcholish Madjid di atas, kita juga perlu mengetahui pendapat-pendapat dari kalangan ulama tentang pernikahan muslim dan non-muslim. Berikut pendapat-pendapat ulama:

(1). Menurut pandangan ahli fikih atau jumhur ulama, musyrik dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 yaitu kafir musyrik yang menyekutukan Allah SWT, termasuk golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun animisme dan agama lainnya. Ayat ini turun sebagai larangan bagi Martsad bin Abu Muthsid untuk menikah dengan wanita musyrikah. Ia adalah seorang yang sering menyelundupkan tawanan-tawanan muslim di Arab menuju Madinah. Ketika ia akan menikah dengan wanita musyrikah, ia meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah SAW. Dan turunlah ayat ini sebagai larangan bagi seorang muslim menikah dengan wanita musyrikah, ataupun sebaliknya.

Baca Juga  Antara 11 dan 23 Rakaat Tarawih, Manakah yang Sesuai Contoh Nabi?

(2). Menurut pandangan ulama mazhab, yaitu mahzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, mereka berempat sepakat bahwa hukum pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab adalah boleh. Sedangkan pernikahan wanita Muslimah dengan pria ahli kitab jelas haram hukumnya. Namun, masih terdapat perdebatan tentang kebolehan seorang muslim menikah dengan wanita ahli kitab.

Perdebatan pembolehan mengacu pada perkataan Ibn Umar ketika beliau ditanya tentang hukum menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Beliau menyampaikan kepada seluruh sahabat untuk menceraikan istri mereka yaitu wanita ahli kitab.

Alasannya adalah terdapat kekhawatiran Umar akan kehidupan umat Islam kedepannya, terutama generasi muda di masa mendatang. Jika dibiarkan, maka kaum muslimin akan mengikuti jejaknya untuk menikahi wanita ahli kitab dan menyebabkan wanita-wanita muslimah menjadi perawan tua. Sikap yang diambil oleh Umar tersebut adalah bentuk dari kehati-hatian.

[3]. Ulama sepakat bahwa persoalan pernikahan yang dilakukan wanita muslimah dengan seorang laki-laki kafir, baik dia golongan ahli kitab, maupun golongan musyrik hukumnya adalah haram.

Kesimpulan

Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas, pernikahan antara muslim dan non-muslim sebaiknya dihindari oleh umat muslim. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa pernikahan itu menyangkut banyak aspek kehidupan, mulai dari keyakinan, keturunan, adat, budaya, keluarga dan lain sebagainya.

Jika pernikahan semacam ini masih tetap diteruskan, yang akan menjadi sasaran utama adalah keimanan masing-masing dan akidah anak. Apakah anak dari kedua mempelai akan menganut agama ibunya, atau bapaknya, maka perlu pertimbangan secara matang terkait pernikahan muslim dan non-muslim.

Sumber : Buku Pernikahan Beda Agama Dalam Al-Qur’an (Kajian Perbandingan Pro dan Kontra) karya Dr. H. Syamruddin Nasution, M.Ag.

Editor: Yeni

Avatar
14 posts

About author
Mahasiswi STIQSI (Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains al-Ishlah) Asal Tuban Bumi Wali
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds