Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelaskan virus corona – yang dikenal juga sebagai Covid-19 – dari perspektif medis. Fokus tulisan ini pada dampak wabah virus corona dalam berbagai bentuk kebijakan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. Selain daripada itu, tulisan ini bermaksud meneropong wabah virus corona dalam berbagai perspektif yang berkembang terutama perspektif dari kaum rebahan.
Corona dalam Berbagai Perspektif
Ada banyak perspektif yang mewarnai analisis terkait wabah virus corona untuk memahami penyebab, pendekatan, pencegahan, dan perilaku sebagai refleksi sikap seseorang. Ada yang menilai bahwa virus corona adalah senjata biologis untuk memusnahkan kehidupan yang sengaja diproduksi sebagai hasil rekayasa dari sebuah konspirasi.
Sebagian di antaranya menilai bahwa virus corona adalah “tentara Allah”. Selain daripada itu, ada juga yang kesannya bahwa virus corona adalah untuk kepentingan ekonomi politik dan atau politik ekonomi negara tertentu.Hal ini sangat tidak bijak dalam ruang musibah yang menuntut rasa dan sikap empati yang besar.
Ada banyak perilaku dan sikap yang bisa kita temukan dan rasakan dalam merespon wabah virus corona. Mulai dari yang lucu, panik, dan bijak. Bahkan perdebatan masa lampau terkesan muncul kembali antara Jabariyah dan Qadariyah.
Di tengah wabah virus corona, muncul diskurus tentang bangkitnya neo-Jabariyah dan bisa juga disebut Jabariyah kontemporer. Hatib Rahmawan pun dalam sebuah tulisannya membuat sebuah tesis – untuk memberikan wawasan pencerahan kepada publik – bahwa tawakkal, sebagai etos hidup minimalis. Hal ini bagi saya merupakan antitesa dari neo-Jabariyah.
World Health Organization (WHO) sebagai lembaga dunia yang memiliki otoritas dalam menilai sesuatu yang bersentuhan dengan masalah kesehatan, telah menyebut bahwa virus corona adalah sebuah pandemic global. Begitupun pemerintah Indonesia telah menyebut bahwa Covid-19 adalah bencana nasional.
Kelas Rebahan
Pertama kali saya membaca dan mengenal istilah ”kelas rebahan” dari Nia Lavinia dalam sebuah artikelnya: Artificial Inteleligent dan Kemunculan Kelas Rebahan, terbit pada tanggal 1 Februari 2020 di media online mojok.co. Dalam pembacaan saya yang dimaksud kelas rebahan oleh Nia Lavinia adalah sosok manusia yang tidak perlu lagi bekerja karena pekerjaannya telah diambil alih oleh artificial intelligent. Memiliki banyak waktu luang, karena pekerjaannya dilakukan oleh robot cerdas. Kelas baru ini oleh Harari disebutnya useless class, kelas tidak berguna. Disebut demikian karena tidak bekerja lagi.
Berbeda dengan Nia Lavinia dan Harari, saya menyebut kelas rebahan sebagai sosok manusia yang waktunya lebih banyak di rumah namun tetap eksis merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan segala program dan kegiatan yang menjadi tujuan dan harapan hidupnya. Kelas rebahan ini, demi tujuan dan harapan hidupny, memanfaatkan secara maksimal pilar – pilar revolusi industri 4.0. Antara lain: Artificial Intelligent, Algoritrma, dan segala sesuatu yang berbasis perangkat digital dan media sosial.
Virus corona sebagai sebuah pandemic global dan bagi Indonesia sebagai bencana nasional (bencana non-alam) telah mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai bentuk langkah pencegahan dan meminimalisir penularan Covid-19.
Meliburkan sekolah, work from home (WFH), dan Sosial Distancing merupakan langkah pencegahan yang telah ditempuh oleh pemerintah. Lembaga dan ormas yang memiliki otoritas masalah keagamaan dan kesehatan di Indonesia telah mengeluarkan fatwa dan anjuran terkait untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Zhuhur di rumah sebagai salah satu bentuk sosial distancing.
Aktivitas atau kegiatan sosial yang melibatkan orang banyak dianjurkan untuk ditunda sampai minimal 14 hari ke depan mulai 17 Maret sampai 31 Maret 2020. Dan kemungkinan akan diperpanjang sampai tanggal 29 Mei 2020.
***
Dibanding dengan beberapa negara yang terpapar wabah Covid-19 yang melakukan lockdown –yang memiliki dampak ekonomi yang sangat signifikan – Indonesia baru menerapkan social distancing dan hal itupun dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya dilakukan.
Lockdown maupun social distancing yang berdampak pada aspek ekonomi secara signifikan dalam perspektif kelas rebahan, sejatinya bukanlah sebuah problem. Sebagaimana pemahaman tentang revolusi industri 4.0 atau dalam pandangan Yasraf Amir Piliang (2011) disebut era pasca industri, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik.
Hari ini dunia bisa dikendalikan dalam genggaman hanya berbekal perangkat digital untuk memaksimalkan eksistensi diri dalam kehidupan dunia maya melalui media sosial.
Bagi kelas rebaha, lockdown, social distancing, WFH, libur, dan lain lain bukanlah sebuah problem yang akan membuat dirinya mengalami stress dan depresi. Sesungguhnya kehidupan kita hari ini sebelum ada kebijakan pemerintah terkait Covid-19, disadari atau tidak pada prakteknya telah banyak dan sering bersentuhan dimensi social distancing dan termasuk work from home (WFH).
Kita bisa menyaksikan hari ini – sebagai salah satu contoh – Lazada, Bukalapak dan beberapa toko online lainnya lebih berkembang daripada Mall konvensional. Bahkan mungkin bisa disimpulkan bahwa dengan wabah Covid-19 dan kebijakan pemerintah tentang social distancing bisa menjadi kabar gembira bagi kelas rebahan.
***
Terkait wabah virus corona, kelas rebahan selain melihat dari sisi positif juga melihat dan sangat merasakan dampak negatifnya. Meminjam perspektif Bernando J. Sujibto, saya melihat bahwa kelas rebahan sangat massif bergerak dalam wilayah virtual tempat kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini.
Terkait virus corona, kita bisa melihat bagaimana diskursus, sikap, dan perdebatan yang bermuara pada perbedaan perspektif sangat tajam sebagai bentuk respon terhadap pandemic global tersebut. Ketika kita mengharapkan kesadaran dan rasa empati dari berbagai elemen bangsa, justru di antaranya ada yang hanya meluapkan emosi kebencian dan menghamburkan opini yang jauh dari pijakan ilmu pengetahuan, akal dan rasionalitas.
Padahal sebagaimana Kyai Dahlan – dan itupun menjadi spirit organisasi yang didirikannya – dan Haidar Bagir sebagai pemikir muslim jika ditelusuri pemikirannya sampai pada kesimpulan bahwa ”tidak ada agama tanpa akal”.
Bagi kelas rebahan – meskipun tidak bisa digeneralisasikan – kebijakan pemerintah, fatwa MUI, termasuk himbauan Muhammadiyah, dan berbagai ormas lainnya terkait Covid-19 dinilai tidak memiliki urgensi untuk diimplementasikan demi kebaikan bersama.
Pada dasarnya, salah satu karakter kelas rebahan melawan legitimasi, grand narration, kebenaran dan fakta fakta empiris. Dan cenderung menimbulkan chaos dan mereka menjadikannya sebagai permainan dan making fun.
Kita bisa menemukan dalam kondisi kehidupan terpapar covid-19 masih ada yang bikin meme dalam bentuk percakapan “Ortu: Nak, sekolahmu baru saja mengumumkan kamu libur 2 Minggu”; “anak: YESS, I LOVE CORONA”.