Salah satu ajaran Kiai Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi inspirasi lahirnya amal usaha Muhammadiyah adalah ketika Kiai Dahlan mengajarkan surat Al-Maun. Pengajaran yang disampaikan Kiai Dahlan pada waktu itu bisa memantik murid-murid untuk tidak hanya menghafalkan surat Al-Maun tapi juga mengamalkannya dalam perbuatan nyata. Dampaknya dapat kita lihat sampai hari ini pada kerja-kerja yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah seperti hadirnya Panti Asuhan, Rumah Sakit dan Lembaga Pendidikan.
Tulisan ini tidak hendak menguraikan makna Surat Al-Maun yang diajarkan Kiai Ahmad Dahlan. Tulisan seperti itu sudah banyak. Tulisan ini hanya mencoba untuk merenungi metode mengajar yang digunakan Kiai Dahlan sehingga dapat menjadi inspirasi murid-muridnya waktu itu untuk membuat organisasi Muhammadiyah. Menurut Prof. Haedar Nashir, Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan Surat Al-Maun kepada murid-muridnya ini selama 3 (tiga) bulan. Dalam 3 bulan tersebut surat Al-Maun selalu diulang-ulang oleh Kiai Dahlan, sampai pada puncaknya muridnya bertanya: “Kiai, mengapa surat ini (Surat Al-Maun) diajarkan berulang-ulang kepada kami?” Dijawab oleh Kiai Dahlan “Apa kalian sudah mengamalkan Surat Al-Maun?” Murid-muridnya menjawab “sudah kiai, bahkan surat ini kami jadikan bacaan tiap shalat”.
***
Kiai Dahlan menimpali jawaban sang murid: “Kalian memang sudah hafal surat Al-Maun, tapi bukan itu yang saya maksud. Amalkan!. Diamalkan artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya, saudara-saudara belum mengamalkannya”. Sejak saat itu muridnya baru sadar apa artinya pengulangan surat Al-Maun yang diajarkan oleh kiainya tiap hari itu.
Pertanyaan yang patut kita renungkan adalah kenapa kiai Dahlan tidak langsung mengatakan maksudnya mengulang-ngulang surat Al-Maun kepada muridnya sejak pertemuan pertama? Kan sangat mudah bagi Kiai Dahlan saat itu ketika selesai mengajarkan surat Al-Maun langsung mengatakan: “Santri-santriku, saya sudah mengajarkan kepada kalian surat Al-Maun, sekarang tolong amalkan kandungan surat ini dengan cara menyantuni anak yatim dan fakir miskin” kenapa dalam menjelaskan maksud tersebut Kiai perlu menunggu ditanya muridnya? Begitu juga dengan murid-muridnya, Kenapa para murid baru menanyakan maksud dari Kiai Dahlan setelah 3 bulan mengajarkan surat Al-Maun? Kenapa para murid tidak menanyakan saat pertemuan kedua?
Relasi Kiai-Santri Pada Waktu Itu
Kisah tersebut kalau kita renungkan ada suatu pelajaran yang sangat berharga, terutama dalam adab belajar dan mengajar. Untuk mengambil ibrah dari kejadian tersebut perlu penulis sampaikan terlebih dahulu suasana hubungan antara Kiai dengan Santri pada umumnya saat itu. Secara umum pada waktu itu hubungan antara Kiai-Muridnya sangat spesial bahkan sampai mengkultuskan gurunya. Meskipun saya meyakini bahwa Kiai Dahlan menolak untuk dikultuskan namun penghormatan santri kepada seseorang yang dianggap guru pada zaman itu tentu berbeda pada zaman sekarang dengan hormatnya mahasiswa ke dosen.
Kiai tidak hanya diposisikan sebagai pengajar semata namun lebih dari itu Kiai berperan sebagai pembimbing dalam bidang apapun, hubungannya bersifat Patron-Klien. Jangan heran kalau urusan mencari jodoh, pekerjaan, tempat tinggal bahkan memberi nama seorang anak masyarakat kita masih meminta petunjuk kepada kiai. Hubungan demikian menimbulkan perasaan hutang budi sang murid kepada gurunya yang dianggap telah membimbingnya. Murid ingin berkhidmah kepada gurunya. Bahkan murid takut menyinggung perasaan gurunya, takut tidak diakui sebagai murid atau takut tidak mendapatkan barakah.
***
Dengan relasi Kiai-Santri yang demikian, tentunya para santri sangat menjaga adab mereka di depan guru. Salah satu adab murid kepada guru yang dianjurkan adalah tidak bertanya kepada guru tentang sikap-sikap yang mungkin kelihatan aneh di mata murid (rujukan mengenai hal ini bisa dibaca pada kitab Bidayatul Hidayahnya Imam Al-Ghazali). Lalu apakah bertanya kepada guru terhadap sesuatu yang belum diketahui tidak boleh? Tentu saja boleh, karena itu fungsi utama seorang guru, namun maksudnya jangan buru-buru dalam bertanya, murid perlu untuk merenungkan sendiri dan mengambil pelajaran mengapa gurunya bersikap demikian.
Mungkin begitu juga pemikiran Kiai Dahlan waktu itu, alasan Kiai Dahlan mengulang-ngulang materi pelajarannya dan tidak segera menerangkan maksud kepada muridnya adalah supaya murid mampu menangkap sendiri ilmu yang telah diajarkan. Meskipun pada akhirnya sang murid gagal memahami perilaku Kiai Dahlan dan memilih untuk bertanya. Namun bertanyanya murid tersebut setelah mencoba memahami semaksimal mungkin ajaran gurunya. Dihafalkan sudah, dibaca tiap shalat sudah, lalu apa lagi? Begitu pikir sang murid. Akhirnya setelah pertanyaan tersebut dijawab oleh gurunya, tentu timbul perasaan yang senang luar biasa dan kedepannya murid akan lebih siap menerima pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh kiainya Dahlan meskipun tidak secara langsung diucapkan beliau. Murid akan lebih peka untuk menangkap pelajaran dari yang tidak tersirat. Singkatnya Kiai Dahlan ingin melatih kepekaan murid dalam menerima ilmu.
Puncak Kesuksesan Seorang Guru
Kepekaan di sini diartikan sebagai fokus. Seolah-olah kiai Dahlan ingin mengatakan kepada murid-muridnya, kalau belajar itu jangan hanya yang tersurat namun pahami juga apa yang tersirat. Untuk dapat memahami maksud yang tersirat dari seorang guru itu diperlukan syarat. Syarat yang paling utama adalah cinta. Ibaratnya, kalau anda sudah saling jatuh cinta kepada seseorang, anda akan tahu apa yang menyebabkan pasangan anda senang dan sedih, meskipun tanpa harus diucapkan. Semua perasaan, perilaku dan tujuan hidup anda dikerahkan untuk membahagiakan pasangan.
Sang murid harus cinta terlebih dahulu terhadap gurunya. Yakin bahwa gurunya dapat memberi petunjuk sehingga perilaku atau perbuatan apapun yang dilakukan guru dapat diterima dengan baik. Bahkan perilaku yang secara dzahir kelihatan menyakitkan bagi sang murid, namun murid tersebut sadar bahwa perilaku gurunya tersebut untuk mendidiknya. Artinya muridnya siap untuk diberikan pelajaran apapun dari gurunya.
***
Itulah yang ingin diajarkan Kiai Dahlan, menumbuhkan kepekaan sang murid. Kiai Dahlan bermaksud supaya kesadaran untuk mengamalkan kandungan isi Al-Qur’an itu bukan paksaan dari dirinya tapi tumbuh sendiri dari dalam diri sang murid. Oleh sebab itu, Kiai Dahlan menunggu untuk ditanya muridnya baru menjawab. Pertanyaan dari kegelisahan berbulan-bulan karena ketidakpahaman sang murid. Padahal sangat mudah bagi Kiai Dahlan waktu itu untuk segera mengutarakan maksud dari diulang-ulangnya surat Al-Maun kepada muridnya.
Dengan relasi patron-klien antara Kiai dan Santri pada waktu itu, seandainya Kiai Dahlan langsung memerintahkan untuk mengamalkan kandungan isi Al-Maun saat hari pertama mengajarkannya tentu sang murid akan bergegas untuk melaksanakannya. Namun bisa jadi dampak yang ditimbulkan kepada jiwa si murid akan berbeda. Murid akan menjadi kurang peka terhadap perilaku gurunya. Kepekaannya menjadi kurang terlatih jika apa-apa harus diberi tahu oleh gurunya. Murid akan menjadi tidak selalu dalam mode siap dalam menerima pelajaran-pelajaran dari sang guru.
Itulah salah satu pelajaran yang dapat diambil dari metode pembelajaran Kiai Ahmad Dahlan. Saya tutup tulisan ini dengan mengutip pendapatnya dr. Fahruddin Faiz : “Puncak kesuksesan seorang guru itu tidak hanya memahamkan seorang murid tapi menginspirasi. Jadi menginspirasi itu saya bicara apa tapi muridnya lahir pengetahuan baru, tidak sekedar ikut yang saya bicarakan”. Inspirasi tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang hebat jika bertemu 2 (dua) hal: guru yang ikhlas dan murid yang siap belajar. wallahu a’lam bishawab