Korupsi yang menjadi masalah serius bagi negara merupakan fakta yang tidak pernah berhenti menghiasi pemberitaan media. Praktik tersebut kian marak dilakukan oleh beberapa kalangan masyarakat yang memiliki kepentingan untuk memenuhi hasrat materialisme mereka.
Mirisnya, pelaku korupsi tersebut pada umumnya adalah mereka yang menganut agama. Hal ini menunjukkan kesenjangan antara nilai-nilai agama dan perilaku penganutnya. Sebab segala bentuk kasus korupsi tidak dibenarkan oleh agama.
Islam sendiri jelas mengecam perilaku nista yang dapat merugikan dan membahayakan tatanan negara tersebut. Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Allah melalui Rasul-Nya memberikan tuntunan bahwa kejahatan korupsi harus dicegah dan diatasi dengan melakukan perubahan paradigma, pemikiran, dan mindset.
Pembahasan Korupsi dalam Al-Qur’an
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 188, Allah melarang tegas untuk memakan harta orang lain dengan jalan yang dilarang agama, mengambil milik orang lain, salah satunya dilakukan dengan cara korupsi.
Menurut Musthofa al-Maraghi (Juz 1 h. 150) yang menyatakan cara yang batil atau ilegal yang dimaksud di antaranya adalah korupsi. “Al-Bathil” asal katanya adalah “buthlan”, artinya yaitu curang atau merugikan. Mengambil harta dengan cara bathil berarti mengambil dengan cara tanpa imbalan sesuatu yang hakiki.
Pesan yang terkandung dalam ayat ini adalah larangan seseorang untuk mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak diizinkan syari’at, maka sesungguhnya dia telah memakan harta dengan jalan yang batil. Di antaranya kasus korupsi yang dilakukan pemegang kekuasan tergolong pada pelarangan ayat ini. (Tafsir al-Munir, Juz 1, h. 407) Karena perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian kepada negara atau masyarakat meskipun tidak selalu berupa kerugian finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau tidak berjalannya sistem hukum.
Akar Masalah Kejahatan Korupsi
Di dalam Al-Qur’an dijelaskan penyebab kejahatan korupsi khususnya disebabkan oleh keserakahan dan materialisme dalam diri pelakunya. Hal itu sesuai dengan Gone Theory yang menyebutkan bahwa di antara faktor penyebab korupsi adalah keserakahan. Dan yang mendasari hal itu seperti disebutkan dalam QS. Al-‘Adiyat ayat 8, yaitu terdapat perasaan cinta dunia yang berlebihan sehingga menggiurkan hawa nafsunya yang mendorong untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma dan agama.
Sejalan dengan itu, konsep Al-Qur’an tentang perubahan atau perbaikan tidak efektif kecuali perubahan itu dimulai dari dalam diri sebagai makna yang diisyaratkan kata “anfusihim” (QS. ar-Ra’d [13]: 11). Term “anfusihim” yang berarti plural bukan maksudnya perorangan melainkan perubahan yang efektif harus melalui sekelompok orang (masyarakat) dengan memasukkan nilai-nilai yang bersumber dari agama dan norma sehingga dapat menyentuh mindset, paradigma, persepsi, kesadaran seseorang.
Hal tersebut juga erat kaitannya dengan isyarat kalimat “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Konsep percaya pada hari akhirat akan dapat menuntun kesadaran manusia untuk tidak melakukan kejahatan korupsi, sebab keyakinan pengadilan tidak berakhir di dunia saja, melainkan justru pengadilan yang seadil-adilnya adalah pengadilan Allah di akhirat kelak.
Kisah Rasulullah Menangani Kasus Korupsi
Sebagaimana Rasulullah, pada masanya juga menangani kasus korupsi dengan lebih banyak melakukan pembinaan moral dengan menanamkan kesadaran untuk menghindari perbuatan korupsi dan mengingatkan hukuman ukhrawi yang ditimpakan kepada pelakunya.
Dalam berbagai kesempatan Nabi Saw mengingatkan bahwa pelaku korupsi akan masuk neraka sekalipun jumlah nominal korupsinya amat kecil, seperti hadits yang menceritakan penggelapan ghanimah dalam perang khaibar. Hadits itu adalah sebagai berikut:
Ada seorang sahabat Nabi yang meninggal dunia pada waktu terjadi peristiwa penaklukan Khaibar. Hal ini dibicarakan oleh mereka hingga sampai didengar Rasulullah Saw, kemudian bersabda: “Shalatkanlah saudara kalian ini.” Pada saat itu raut muka orang-orang berubah sebab heran dengan perintah Nabi ini. Rasulullah Saw mengatakan, “Sungguh saudara kalian ini menggelapkan harta rampasan perang di jalan Allah.” Ketika itu, kami langsung memeriksa harta bawaannya dan ternyata kami menemukan kharazan (perhiasan atau manik-manik) milik orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham (HR. Abu Dawud).
Perintah Rasulullah “Shalatkanlah saudara kalian ini.” memberikan isyarat bahwa Nabi Saw tidak berkenan menyalati jenazah seorang koruptor dan cukup dishalatkan oleh sahabatnya saja. Beberapa upaya tersebut dilakukan beliau Saw untuk menimbulkan efek psikologis sedemikian rupa sehingga masyarakat sangat takut melakukan perbuatan korupsi.
Penanganan terhadap kasus korupsi tidak cukup hanya dengan perubahan sistem dan Undang-Undang. Namun human approach khususnya dalam hal ini sistem pengawasan dan pengendalian dalam diri (self control) yang baik akan mempercepat penanganan korupsi.
Bersamaan dengan itu, pendekatan agama seperti misalnya masyarakat terutama para penguasa harus didekatkan kepada nilai-nilai qur’ani sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini dapat menjadi sebuah langkah penanganan yang tepat dan efektif apabila dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Dan yang terpenting langkah-langkah pencegahan harus diprioritaskan di samping mempercepat penyelesaian berbagai kasus korupsi yang ada.
Editor: Ahmad