“Bercita-cita tinggi, tapi tidak kesampaian.” Ini sebuah ungkapan romantik yang saya yakin banyak orang telah mengalaminya. Termasuk anda yang baca artikel inipun, saya yakin, turut mengalaminya pula. Dan ungkapan romantik inipun telah menjadi fakta sejarah dalam riwayat hidup Mohammad Dasron Hamid, putra Abdul Hamid BKN, yang pernah menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Beliau ini pernah bercita-cita ingin menjadi pilot.
Mohammad Dasron Hamid lahir di Yogyakarta pada 29 Agustus 1940 dari pasangan Abdul Hamid BKN dan Siti Mariyah. Terlahir dari kalangan keluarga santri, Dasron kecil tumbuh dan berkembang di kampung Suronatan. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah Purwodiningratan. Sejak duduk di bangku SR, ia memang dikenal sebagai anak bandel. Bagaimana tidak! Dia sulit sekali diajak mengaji. Putra ke-10 Abdul Hamid BKN ini mengaku susah sekali untuk konsentrasi belajar membaca Al-Qur’an. Gara-gara saking bandelnya, konon sang ibu sampai menyerahkan Dasron kepada Siti Hadifah, istri Zuhron Hamid (kakak kandung Dasron), untuk dibimbing belajar membaca Al-Qur’an. Entah karena rasa sungkan atau barangkali malu dengan kakak iparnya, tapi di tangan Siti Hadifah ini, Dasron kecil akhirnya mau juga belajar Al-Qur’an dengan baik.
Selang beberapa lama, setelah Dasron kecil mampu membaca Al-Qur’an dengan baik di bawah bimbingan sang kakak iparnya, saat itulah peristiwa yang mengguncang psikologisnya. Karena sang ibu, yakni Siti Mariyah, meninggal dunia. Bagaimanapun juga, Dasron adalah manusia biasa, sama seperti kita ini. Ketika ditinggal oleh sang ibu, perasaan takut kehilangan pasti muncul. Waktu Siti Mariyah meninggal dunia, Dasron baru duduk di bangku SR kelas lima. Anak kecil ini jelas belum tahu arti sebuah kepergian panjang sang ibu.
”Saya hanya bengong. Waktu itu saya tidak tahu apa-apa kecuali merasa sangat takut ditinggal,” kesan Dasron Hamid ketika mengenang wafat sang ibu. ”Pada waktu itu, kepada ibulah semua bermuara. Apapun keperluan, semua meminta kepada ibu.”
***
Tesis ”ketika aktivis melahirkan aktivis” mulai terbukti dalam riwayat hidup M. Dasron Hamid. Setelah tamat SR Muhammadiyah Purwodiningratan (1954), ia melanjutkan studi di SMP Negeri 2 Yogyakarta. Nah, di sinilah naluri sebagai putra seorang aktivis membuat Dasron memilih berkecimpung di organisasi pelajar. Pada tahun 1956, ketika masih duduk di bangku SMP kelas dua, ia bersama kawan-kawan pelajar dipimpin oleh Warsito melakukan aksi demo mogok belajar. Dasron dan kawan-kawan menuntut pergantian kepala sekolah, yaitu Bapak Soeitoe, yang dinilai tidak baik. Aksi mogok belajar ini konon sampai harus ditangani Dewan Pemerintah Daerah (DPD) pada waktu itu.
Dasron Hamid adalah manusia biasa, yang juga pernah terpengaruh oleh asumsi umum yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan negeri kelihatan lebih baik daripada lembaga pendidikan swasta. Buktinya, setelah lulus SMP (1957), Dasron melanjutkan studi ke SMA Muhammadiyah 1. Tapi, setelah dia mengetahui diterima di SMAN 3 Padmanaba, pikirannya pun berubah. Dasron ternyata lebih memilih untuk melanjutkan studi di SMAN 3 Padmanaba, sebab sekolahan ini tergolong favorit pada waktu itu. Di sekolahan inilah Dasron menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 1960.
Kehidupan Dasron sejak kecil hingga menginjak masa remaja tergolong lurus dan mulus. Sejak masuk SR hingga SMA, dia tidak memiliki cita-cita di masa depannya. Hendak jadi apa dia di kemudian hari tidak pernah terbersit dalam pikirannya. Namun, menjelang akhir SMA, Dasron mengaku sempat bercita-cita ingin menjadi pilot. Pilihan yang cukup keren pada waktu itu. Tapi sayang, justru sang ayah menghendaki dirinya jadi dokter.
***
Menuruti kehendak sang ayah, Dasron muda pun memutuskan untuk mengikuti ujian masuk di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM). Tapi nalurinya berkata lain. Dasron yakin tidak akan diterima di Fakultas Kedokteran, sehingga ia mendaftar di Fakultas Ekonomi UGM. Pada waktu itu, kakak perempuan Dasron berhasil diterima di Fakultas Kedokteran Gigi UGM, tapi dirinya malah tidak lulus. Tak patah arang, Dasron mendaftar di Fakultas Pertanian dan Kehutanan UGM. Di fakultas inilah, putra Abdul Hamid BKN ini dinyatakan diterima.
Cita-cita menjadi pilot belum juga sirna sekalipun Dasron sudah diterima di Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Ia tetap berusaha mengikuti ujian masuk Akademi Angkatan Udara (AAU).
Namun, sebuah peristiwa tragis telah mengurungkan tekadnya untuk menjadi pilot. Peristiwa apakah itu? Lagi-lagi di sinilah tampak sisi kemanusiaan Dasron sebagaimana manusia biasa pada umumya.
Dasron Hamid bercerita bahwa dulu, ketika hendak mengikuti ujian masuk AAU, sebuah tragedi naas telah menyurutkan niatnya untuk menjadi pilot. Bagaimana tidak! Ternyata, selesai mengikuti seleksi tahap pertama di AAU, datang sebuah kabar buruk bahwa pesawat latih yang akan dipakai Dasron menabrak bangunan sirine di Pasar Bringharjo. Bagaimana tidak ngeri tuh! Gara-gara merasa ngeri dan saya yakin beliau juga merasa takut, Dasron akhirnya tidak berminat lagi mengikuti seleksi AAU. Dia memilih untuk menekuni kuliah di Fakultas Pertanian dan Kehutanan UGM.
Pada tahun 1963, Dasron pindah dari Fakultas Pertanian dan Kehutanan karena telah dibuka Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Dia termasuk salah satu pioner di fakultas baru ini. Bahkan, sebelum lulus dari fakultas ini, Dasron Hamid sudah ditawari menjadi asisten dosen. Di fakultas baru ini pulalah putra Abdul Hamid BKN ini merampungkan pendidikan S1 pada tahun 1970. Pada tahun 1980, ia merampungkan studi S2 di Development Studies Centre The Australian National University.
Dasron Hamid kemudian menikah dengan Dwi Nurhayati di Ponorogo pada 17 desember 1975. Dari pernikahan ini, pasangan Mohammad Dasron Hamid dengan Dwi Nurhayati dikaruniai lima anak, semuanya perempuan. (Bersambung)