Oleh: Mahfud Ikhwan*
Setelah dua puluh satu tahun di Jogja, kesenangan dan/sekaligus kesengsaraan saya masih sama: buku. Jika ada sedikit hal yang saya sukai (dan paling saya benci) dari pindah rumah, maka itu adalah menata ulang rak buku.
Kos-kosan pertama, di depan rumah Kepala Kampung Karanggayam, saya masih tak punya buku. Teman sekamar saya, Darmanto, sudah punya. Ia bahkan sudah punya tulisan, saat itu di Tabloid Go, yang dikelola Almukarrom Hardimen Koto. Dari tulisan itu tampaknya ia bisa beli buku, juga beli sepeda. Yang terakhir itu hilang dalam beberapa hari setelah dibeli.
Saya pindah ke sebuah kamar di samping menara air di Ratmakan. Hanya sesemburan ludah saja dari Malioboro. Keluar kamar, nengok ke kiri, Pasar Buku Shopping langsung kelihatan. Tapi, selama hampir tiga tahun saya hanya punya sangat sedikit buku. Saya bisa ingat, bahkan saya gak berani beli rak. Pertama, benda itu masih terlalu mahal. Kedua, saya pasti akan sangat tersiksa karena saya tak bisa memenuhinya dengan buku.
Tapi saya ingat, dua puluhan buku pertama yang saya punya itu, yang sebagian besar tak saya ingat karena sebagian dibeli oleh harga murahnya, bukan oleh mutu bukunya, memberi kesenangan aneh saat saya mesti menatanya. Saya carikan kardus Indomie, saya tata sedemikian rupa seakan sebuah perpustakaan pribadi yang megah, istimewa, dan hanya saya yang punya.
Ketika saya keluar dari kamar itu, lalu pindah ke sebuah gudang kecil dan terpencil di belakang rumah tua di Nologaten (saya tak ingat lagi di mana tempat itu), saya membawa serta sekitar 100 buku. Sebagian besar adalah buku-buku tipis dengan isi jelek. Kamar itu milik teman SMA saya yang lain, namanya Basith, anak UNY yang nyambi jualan pecel lele. Di saat koskosan di Jogja berada di kisaran 50-70 ribu perbulan, kamar itu seharga 20 ribu. Bonusnya kebun nangka dan pisang yang luar biasa lebatnya–dan seram. Saya ingat kamar itu begitu kecil, dengan kamar mandi luar yang saking jauhnya terasa berjarak nyaris setengah kilometer.
Yang menggembirakan, Basith punya rak. Rak itu kecil dan dipaku di dinding dan saya dengan bersemangat memasukkan sedikit buku yang saya bawa ke rak itu. Itu rak pertama bagi buku-buku itu. Saya sangat senang akhirnya melihat buku-buku itu ada di rak, apalagi agak berdesak-desakan.
Bahagia sekali melihat rak yang penuh buku, meskipun rak itu bahkan bukan milik saya. Rak yang sebelumnya ringkih itu terlihat gagah. Yang saya tidak ingat, di balik rak gantung yang gagah, ada paku yang menderita. Paku itu menyerah hanya beberapa saat saja setelah saya dengan puas memandanginya. Rak dengan seratusan buku itu anjlok dari dinding dan menimbun kami saat tidur.
Saya baru punya rak setelah ngekos di Karangwuni. Dan rak itu, dan buku yang tak banyak bertambah, hampir satu-satunya barang yang ada di kamar itu, selain sebuah mesin ketik pinjaman yang saya pakai untuk menulis cerpen-cerpen pertama saya. Saya tak ingat hal yang terlalu menarik dari rak dan buku-buku itu. Selain rak itu konon berakhir jadi hadiah pemberian–dipakai teman yang meneruskan kamar kos saya–untuk mengesankan cewek yang ditaksirnya. Mungkin yang lebih buruk, sebagian koleksi buku itu kemudian tercecer hilang setelah saya tinggal ke Jakarta.
Masa empat tahun di Jakarta dan Klaten tak mengingatkan saya dengan rak, meskipun saat itu saya justru mulai lebih ngawur dalam beli buku. Baru saat kembali ke Jogja, di sebuah rumah kontrakan di Sambilegi, saya membeli beberapa lembar papan untuk saya paku langsung ke dinding dan saya jadikan rak. Papan-papan itu jauh dari rapi, apalagi artistik, tapi itu ide buruk yang murah dan praktis.
Ketika pindah ke Juangen, barat Kalasan, saya tahu buku-buku saya sudah mulai jadi beban. Buku-buku dan rak adalah barang terbanyak saya saat pindahan. Sebab, lemari pakaian saya, sebuah kabinet plastik berkotak tiga setinggi satu meter tak berubah dan tak bertambah dalam 15 tahun terakhir. Selain itu saya hanya punya meja tulis dan sebuah kursi putar yang saya beli begitu keluar dari pekerjaan.
Mungkin saat pindah ke Karangduren, kampung di belakang kantor percetakan KR, patut diceritakan. Di sebuah rumah joglo dengan sewa sangat murah, dan kerusakan akibat gempa yang tidak benar-benar diperbaiki, saya mesti menyusun rak-rak buku saya di kamar yang sangat kecil dan tembok yang miring. Saya ingat, betapa sulitnya menumpuk rak-rak di lantai yang tidak rata. Saya juga harus bersiasat untuk menyisakan sedikit celah untuk menggelar kasur.
Di Jomblangan, di sebuah rumah yang terlalu besar, terlalu banyak ruang kosong, kesulitan jenis lain saya rasakan perihal menata rak buku. Kamar dan ruang kerja saya terpisah, itu membuat saya harus membagi rak buku saya. Saya tak bisa ada di ruang kerja yang tanpa rak buku. Sementara membayangkan kamar tidur tanpa rak buku seperti memasuki taman tanpa bunga. Sakitnya, itu membuat buku saya yang tak terlalu banyak terpencar-pencar.
Dua hari lalu saya pindah rumah lagi. kali ini kami sewa rumah yang hanya separuh ukuran dari rumah sebelumnya. Sementara buku saya bertambah agak signifikan karena saya sedang giat-giatnya mengumpulkan buku-buku tentang sepakbola dan film India. Ditambah buku dari teman rumah saya Mas Rudi, buku dan rak kami adalah separo barang yang mesti dipindahkan dari lima total pickup barang pindahan.
Maka, ketika buku masuk dulu, rumah berkamar satu setengah itu langsung penuh. Dan saya tak bisa melakukan hal lain begitu selesai pindahan kecuali mendirikan rak dan menata buku. Setelah buku rapi, baru yang lain bisa ditata.
Seandainya saya punya rak besar dan mantap, saya mungkin hanya perlu memikirkan pengurutan bukunya. Tapi, sampai sekarang, saya masih dengan rak-rak kecil ala kos-kosan, dan saya menyayangi rak-rak itu. Menumpuknya, menyesuaikannya dengan luas ruangan dan sudut kamar adalah perkara yang bikin stres tapi juga menyenangkan begitu bisa mengatasinya.
Kelegaan menatanya ulang itu biasanya dibarengi rasa sesak oleh kesadaran bahwa beberapa buku yang kita punya tak kita jumpa. Kemarin, misalnya, di rak khusus ’65 saya, saya kebingungan karena tak menemukan tiga buku penting sekaligus: John Rossa, Ole Tornquis, dan Mortimer. Dan saya tak punya clue ke mana dan pada siapa ketiga buku itu berada. Dan ini bikin kelegaan setelah pindah jadi terganggu.
Tapi, tahukah rasa paling tak menyenangkan saat menata kembali rak-rak buku itu di rumah baru? Yaitu ketika kita mendapati bahwa sebagian sangar besar dari buku-buku, sebagiannya sudah masuk rak itu sejak belasan tahun lalu, tetap tak terbaca.
*) Penulis Novel Dawuk