Feature

Cikal Bakal Percetakan Pertama di Muhammadiyah

4 Mins read

Belakangan ini beredar status di FB memuat cover (sampul) buku lawas: Kitab Pertapan Islam. Penyebaran status FB tersebut memang relevan dengan konteks puasa Ramadan karena isi kitab tersebut membahas tentang puasa. Orang memang banyak yang membicarakan kandungan kitab unik ini, tapi saya malah tertarik dengan “keterangan kecil” di bagian akhir sampul kitab tersebut.

***

Meskipun saya yakin para netizen sudah memelototin sampul buku lawas nan unik tersebut, tapi saya merasa perlu untuk mendeskripsikannya di sini. Kira-kira deskripsi sampul kitab tersebut sebagai berikut: ada logo Muhammadiyah (beda dengan logo sekarang lho ya!) bersinar di bagian atas, lalu ada ornament membentuk bangunan khas Jawa dihiasi bunga-bungaan.

Di dalam bagan bangunan khas Jawa tertulis dengan huruf Arab Melayu: “Taman Pustaka.” Di bagian bawah tulisan Arab Melayu tersebut tertulis dengan huruf Latin: “Taman Poestaka Djokjakarta (Java).” Kemudian di bawah bagan bangunan khas Jawa tertulis dengan huruf kapital judul kitab: “KITAB PERTAPAN ISLAM.”

Di bawah judul kitab terdapat keterangan sebagai berikut: “di karang dening Pengarang Moehammadijah bahagian Taman-Poestaka ing nagara NGAJOGJOKARTO.” Tampaknya, keterangan ini menunjukkan penulis atau pengarang kitab tersebut sekalipun tidak disebutkan identitas secara eksplisit.

Kemudian di bagian bawah identitas penulis kitab terdapat keterangan sebagai berikut: “Kaweto’ake dening perkoempoelan Fatchoel’asror Miftachoessangadah NGAJOGJOKARTO.” Tampaknya, perkumpulan inilah yang mengeluarkan atau mempublikasikan kitab ini. Dalam istilah zaman sekarang disebut penerbit. Tapi tidak usah heran, karena perkumpulan ini merupakan organisasi modernis yang berbasis di Kauman, Yogyakarta, pada awal abad 20. Fatchoel’asror Miftachoessangadah adalah perkumpulan kaum muda yang semula diasuh oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Di bagian bawah keterangan penerbit terdapat keterangan sebagai berikut: “TJAP-TJAPAN KANG KAPISAN. 1922.” Artinya, kitab ini cetakan pertama yang dikeluarkan pada tahun 1922. Di bagian akhir terdapat keterangan: “Tjp Drukkerij P.P.P.B. Djokja.” Kitab ini dicetak di Percetakan PPPB Jogja, yang justru menjadi sorotan saya sekilas.

Baca Juga  Merantau dan Perjalanan untuk Hidup yang Baik dan Mulia

***

Ada cerita menarik di balik Drukkerij atau Percetakan PPPB Jogja. PPPB adalah singkatan dari: Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemipoetra. Pada sekitar 1922, perkumpulan ini dipimpin oleh Abdoel Moeis (ketua) dan Haji Agoes Salim (sekretaris). Dalam konstelasi perpolitikan di tubuh Sarekat Islam (SI), Abdoel Moeis berada di gerbong SI-Putih, bersama KH Ahmad Dahlan, Haji Agoes Salim, Haji Fachrodin, dan lain-lain. Tentu saja perkumpulan ini berhadapan dengan gerbong SI-Merah di bawah Semaoen, Alimin, Darsono, dan lain-lain.

Cerita ini berawal dari konflik antara SI-Merah dengan PPPB yang akhirnya menyeret jajaran teras Muhammadiyah. Merujuk pada notulensi ”Peringatan Perkumpulan Tahunan Muhammadiyah 30 Maret hingga 2 April 1923 di Yogyakarta,” suatu ketika Haji Fachrodin terlibat dalam kasus peminjaman uang atas nama hoofdbestuur Muhammadiyah untuk membantu PPPB. Haji Agoes Salim, sekretaris PPPB yang berada di kubu Abdoel Moeis turut menyerang kubu SI-Merah dengan berpendapat bahwa ideologi Sosialisme-Marxis tidak sesuai dengan asas Islam.

Dalam kasus peminjaman dana oleh pengurus (PPPB) pada tahun 1922, Haji Fachrodin dan hoofdbestuur Muhammadiyah memang menjadi ”tertuduh” sebagai ”agen kapitalis.” Keterlibatan Haji Fachrodin dan hoofdbestuur Muhammadiyah dalam kasus peminjaman dana oleh pengurus PPPB menjadi komoditas politik untuk menghantam kubu SI-Putih dan kelompok-kelompok pendukungnya, termasuk Muhammadiyah.

***

Ada beberapa data yang perlu dikonfirmasi berkaitan dengan penelitian Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak. Kasus peminjaman uang oleh HB Muhammadiyah untuk menolong PPPB diulas oleh Takashi Shiraishi dengan merujuk pada sumber-sumber eksternal Muhammadiyah, terutama lewat media-media massa yang berafiliasi ke SI-Merah, sehingga menurut saya terkesan kurang fair.  

Dalam analisis Takashi Shiraishi, pada tahun 1922, PPPB meminjam uang kepada Haji Fachrodin sebanyak f. 4000. Kejadian ini pasca peristiwa hancurnya gerakan pemogokan buruh pegadaian pada awal tahun 1922. Takashi Shiraishi menggunakan sumber surat kabar Doenia Baroe edisi 16 Agustus 1922 yang jelas-jelas berafiliasi ke SI-Merah.

Baca Juga  Ijtima Ulama IV: Menyatukan atau Justru Memecah Belah Umat?

Agar analisis Takashi Shiraishi berimbang, saya perlu menyuguhkan satu sumber internal di Muhammadiyah yang secara khusus membahas tentang kasus ini. Yaitu lewat sumber surat kabar yang dikemudikan oleh Haji Fachrodin sendiri (sebagai pihak yang terlibat kasus), yakni majalah Soewara Moehammadijah edisi nomor 5 dan 6/th ke-4/1923.

***

Berdasarkan versi ini, pada awalnya PPPB memang meminjam uang kepada Haji Fachrodin sebanyak f. 1000,-. Haji Fachrodin terus terang tidak punya uang sebanyak itu. Lalu, dia mencarikan pinjaman ke Pasar Gede (Kota Gede, Yogyakarta) sampai harus menggadaikan rumah. Sampai tenggat waktu pembayaran, ternyata PPPB tidak bisa membayar. Hampir saja rumah Haji Fachrodin disita.

PPPB pada waktu itu benar-benar di ambang kebangkrutan. Pengurus PPPB datang lagi kepada Haji Fachrodin untuk minta pertolongan agar dicarikan pinjaman f. 5000,-. Setelah mendapat penjelasan dari pengurus PPPB, Haji Fachrodin sadar jika pegadaian ini tidak ditolong, pasti akan bangkrut. Terdapat semacam klausul yang diajukan oleh pengurus PPPB tentang jaminan atas pinjaman tersebut, yaitu Drukkerij PPPB di Jogja.  

Haji Fachrodin kemudian kembali mencarikan dana pinjaman dibantu oleh KH Ahmad Dahlan, president HB Muhammadiyah. Tetapi dana pinjaman yang diperoleh hanya sebesar f. 4000,-. HB Muhammadiyah yang menanggung dana pinjaman ini sehingga mendapat keringanan. Konon, jika bukan HB Muhammadiyah yang meminjam, bunganya bisa mencapai f. 20,- sebulan tiap-tiap seribu. Tetapi karena HB Muhammadiyah yang menanggung pinjaman ini, maka bunganya hanya f. 15,-. Dengan demikian, dalam setahun, uang pinjaman tersebut harus kembali sebesar f. 4720,-.

Dalam kenyataannya, PPPB memang sudah di ambang kebangkrutan. Terbukti, sampai jatuh tempo perkumpulan ini tidak mampu mengembalikan dana pinjaman yang melibatkan HB Muhammadiyah. Akhirnya, HB Muhammadiyah yang harus menanggung dana pinjaman tersebut. Dan PPPB Drukkerij pun menjadi hak HB Muhammadiyah.

Baca Juga  Mempertahankan Benteng Terakhir dari Serangan Covid19

***

Kasus peminjaman uang PPPB yang gagal bayar dengan melibatkan HB Muhammadiyah inilah yang kemudian menjadi komoditas politik kelompok SI-Merah untuk menghantam SI-Putih. Sismadi Sastrosiswojo, redaktur surat kabar Penggoegah (SI-Merah), mengkritik Muhammadiyah telah menghalalkan sistem ”renten” (bunga). Haji Misbach juga mengkritik Muhammadiyah karena dinilai telah mendukung agen kapitalis. Konflik yang melibatkan Haji Fachrodin dan HB Muhammadiyah ini berawal dari konflik SI-Merah dengan PPPB.

Nah, karena PPPB gagal bayar dana pinjaman sebesar f. 4720,- maka Percetakan (Drukkerij) menjadi jaminan menjadi hak HB Muhammadiyah pada waktu itu. PPPB Drukkerij inilah yang menjadi cikal bakal percetakan Muhammadiyah yang di kemudian hari bernama ”Percetakan Persatuan.” Percetakan bersejarah di Muhammadiyah ini telah resmi ditutup pada tahun 2008.

Itulah hasil perenungan saya ketika merespon postingan cover Kitab Pertapan Islam yang dicetak di PPPB Drukkerij tahun 1922 yang hingga kini masih bersliweran di media sosial.  

Editor: Nabhan

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds