Feature

Cogitu Ego Mu: Kamu Bertanya Maka Kamu Jahat

2 Mins read

Oleh: Ahmad Faizin Karimi

 

“Mas, maaf ya kebagian waktu siang hari. Biasanya peserta sedang dalam puncak waktu ngantuk”. Sering kali kalimat semacam ini disampaikan panitia kepada saya dalam sesi seminar yang pesertanya pelajar.

“Oh, iya. Nggak apa-apa. Saya jamin nggak ada yang tertidur,” jawab saya. Dan biasanya memang sesi 2 jam presentasi lebih banyak wajah-wajah antusias yang saya temukan daripada wajah bosan.

“Oke. Demikian pemaparan saya. Ada yang perlu didiskusikan? Ada yang bertanya?” Nah di sinilah seringkali saya menemukan ironi. Wajah-wajah antusias saat mendengarkan materi tidak berbanding lurus dengan jumlah penanya. Mungkin hanya satu dua siswa saja yang mengacungkan jari. Sisanya saya lihat masih dengan wajah antusias tapi tidak mau bertanya.

“Lebih sulit bertanya daripada menjawab,” seringkali saya berpesan begitu kepada peserta seminar. Untuk bertanya, seseorang harus berpikir dulu. Ia harus memahami topiknya, dan dalam prosesnya ia menemui ketidakpahaman yang dipicu oleh rasa keingintahuan.

Jangan heran, pembelajaran minim pertanyaan adalah fenomena umum di kalangan pelajar. Utamanya pada topik-topik “lawas dan berat”. Remaja sekarang lebih suka membahas topik remeh, ‘slengek’an, terkait budaya pop yang sedang ngetrend, dan permainan yang menghibur.

Ya, benar. Di satu sisi itu adalah tantangan bagi kita untuk mengemas topik berat menjadi menarik bagi mereka. Tapi di sisi lain, fenomena “tidak ada pertanyaan” adalah ironi juga. Betapa tidak, kalau tidak ada pertanyaan artinya tidak akan ada eksplorasi. Ilmu pengetahuan berhenti pada tataran doktrin.

Mengajukan pertanyaan (yang tepat) bukanlah persoalan remeh. Kultur membuat kita enggan bertanya. Siapa yang suka bertanya, siaplah di-cap sebagai pembangkang. Saya tidak berlebihan. Ketika anda bertanya sekali, anda dianggap peduli. Ketika anda bertanya beberapa kali, anda dianggap kritis. Tapi jika anda selalu bertanya anda akan dianggap jahat. Cobalah jika tidak percaya.

Baca Juga  Gus Dur, Istana, dan Celana Kolor

Mendiskusikan sesuatu beresiko membuat anda dianggap berseberangan secara diametral. Mempertanyakan sesuatu bisa membuat anda dianggap sinis terhadap sesuatu itu. Saya seringkali mengalaminya. Jika Descartes mengatakan ‘Cogito Ergo Sum’ (aku berpikir maka aku ada), maka pelesetannya adalah ‘Cogitu Ego Mu’ (kamu bertanya maka kamu jahat). Cogitu Ego Mu adalah filosofi penganut doktrin “Jangan bertanya, terima saja”.

Beberapa Minggu kemarin, karena terlalu banyak mempertanyakan soal konsep bisnis bertopeng “kuadran-kuadranan” saya dianggap sombong dan sok tahu. Tahu apa rumus sukses kata mentor di grup bisnis itu? “Jangan banyak tanya, nurut saja pada mentor (alias up-line) selama beberapa tahun”. Ampuunnn, bahkan dalam pekerjaan cara-cara doktrin masih ampuh membujuk orang.

Ada juga banyak kasus di mana saya dianggap angkuh karena mendiskusi kawan yang sedang terpikat pada ideologi atau logika-logika baru yang mereka dapatkan dari mentornya. Biasanya lambat laun mereka akan menemukan kekurangan logika itu dan akan menjadi lebih rasional.

Kembali ke topik, jadi ada dua sebab utama menurut saya mengapa orang enggan mempertanyakan sesuatu. Pertama, karena seperti yang saya uraikan sebelumnya, untuk bisa bertanya seseorang harus berpikir dulu. Artinya ia harus meragukan sesuatu, dan ini sulit. Kedua, ia harus punya keberanian. Tidak takut berbeda, tidak takut salah, dan tidak takut dianggap jahat.

Di sekolah dan di rumah, keberanian bertanya ini perlu dipupuk. Anak sesuai perkembangan usianya diajak berani mempertanyakan hal-hal di sekelilingnya. Terlebih lagi di sekolah, karena sekolah adalah ruang akademik maka mau tidak mau anak harus dibiasakan meragukan sesuatu, bukan mempercayai sesuatu secara langsung.

Bahkan kalau kita perhatikan, teks-teks keagamaan banyak diisi narasi pertanyaan. Hadits-hadits banyak diisi tanya jawab Rasulullah dan sahabat. Bahkan lebih ekstrim lagi, dalam peristiwa “penunjukan Khalifah” malaikat mempertanyakan keputusan Allah SWT. Kurang apa coba agama Islam mengajarkan secara simbolik bahwa umatnya harus berani mempertanyakan.

Baca Juga  Dari Sekaten Hingga Grebeg: Budaya Masyarakat Kauman

*Ditulis di tengah serbuan nyamuk sawah

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds