Pandemi Covid-19 harus diakui telah menjadi kepedihan global bagi warga dunia. Namun tak begitu bagi bumi. Postingan Ahmed Abdelhady di akun twitternya @a7medabdelhady1 adalah representasi itu. Ia menulis “Earth taking a break, a much needed break” beserta empat foto di kota Mekkah, Wuhan, Venice, dan San Marco yang tampak begitu lengang. Seperti kota mati. Bumi seakan menikmati masa rehat setelah terlampau lama bekerja memenuhi hasrat manusia.
Covid-19 tampaknya menjadi berita gembira untuk lingkungan kita. Di Indonesia, hal itu setidaknya terlihat pada berkurangnya produksi sampah di sejumlah kota besar. Sejak work from home (WFH) diberlakukan, sampah di DKI Jakara turun hingga 620 ton perhari (CNN Indonesia, 2020), di Bogor turun hingga 100 ton perhari (Liputan6, 2020), sementara di Denpasar yang normalnya 600-700 ton perhari, berkurang hingga rata-rata separuhnya (Kumparan, 2020).
Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan meningkatnya jumlah sampah medis. Dalam keadaan normal saja, produksi sampah medis di Indonesia sebesar 296 ton perhari dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, dan 8.841 klinik. Parahnya, tidak semua rumah sakit dapat mengelola sampah medis sendiri. Dari 2.852 rumah sakit, hanya 96 yang memiliki insinerator, itu pun beberapa di antaranya sudah tidak layak operasional. Sejauh ini yang mengelola ada 85 rumah sakit, tersebar di 20 provinsi, 82 unit pengolahan insinerator, sisanya autoklaf (IESA Indonesia, 2020).
Diperkirakan, satu pasien positif Covid-19 menghasilkan sampah sekitar 14,3 kg perhari. Bayangkan saja, jika sekarang Indonesia memiliki pasien sekitar 5.500 orang, berarti 78.650 kg, atau sekitar 78,65 ton sampah medis yang telah dihasilkan selama terdampak Covid-19 (IESA Indonesia, 2020). Belum lagi, pasien dalam pemantauan (PDP), yang juga melibatkan tenaga medis ber-APD.
Sudah bisa dipastikan, sangat drastis peningkatan jumlah sampah medis di Indonesia. Sayangnya, hal ini tidak diiringi dengan baiknya pengelolaan. Setiap harinya, sebesar 24 persen sampah di Indonesia masih belum tertangani (CNN Indonesia, 2018). Imbasnya adalah semakin habisnya lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang berdampak pula pada kemerosotan kualitas tanah, air, dan udara di sekitarnya.
Belajar dari Jepang
Sebagai negara yang sangat sukses dalam mengelola sampah, setidaknya ada dua hal yang dapat kita pelajari dari Jepang, yaitu canggihnya teknologi pengelolaan sampah dan tingginya kesadaran masyarakat.
Mari kita lihat bagaimana Jepang bisa mengelola sampahnya hingga tidak menimbulkan bau yang menyengat di TPA. Semua sampah di Jepang terkelola dengan baik, sampah organik pun anorganik. Dalam hal sistem pengangkutan sampah, adanya stasiun untuk truk pengangkut sampah nyatanya dapat mengefisienkan penggunaan bahan bakar dan meminimalisir emisi. Hal senada juga diterapkan di China dan Malaysia.
Jepang juga telah menggunakan insinerator sejak 1960, di mana hingga saat ini teknologi tersebut terus dikembangkan di negara itu, sehingga lebih aman dan efisien. Pada 2009, setidaknya telah terdapat 1.243 insinerator di Jepang dengan kualitas sangat baik (JESC, 2012). Insinerator digunakan untuk membakar beragam sampah, utamanya sampah berbahaya, seperti sampah medis, yang tak hanya mengandung bakteri dan virus, namun juga vinyl chloride and organochlorine yang amat berbahaya.
Belum lagi, pengeloaan sampah botol plastik, sampah rumah tangga, sampah elektronik yang sangat memadai di Jepang. TPA di Jepang pun telah dikembangkan dengan teknologi yang sangat handal, dengan sistem semi-aerobik, sehingga tak menghasilkan bau sama sekali.
Selain soal teknologi pengelolaan, mari kita belajar bagaimana baiknya adab masyarakat Jepang terhadap sampah. Mereka tertib dalam menerapkan reduce, reuse, recycle (3R). Selain mengumpulkan beragam jenis botol plastik dan tempat makanan, mereka juga tertib membersihkannya sebelum dibuang dan memilah sesuai jenisnya. Hal ini tentu memudahkan pengelolaan sampah selanjutnya. Dari sampah tersebut, ada yang masih bisa digunakan lagi, ada pula yang didaur ulang menjadi beragam produk yang lebih menarik, seperti karpet dan taplak meja.
Begitu pula dalam pembuangan sampah elektronik dan sampah rumah tangga. Warga Jepang patuh membuang jenis sampah tertentu sesuai dengan jadwalnya. Hal ini menunjukkan bahwa jika ingin mewujudkan pengelolaan sampah yang optimal, tak hanya berfokus pada canggihnya teknologi, namun juga harus diiringi dengan tingginya kesadaran masyarakat.
Covid-19: Catatan Bagi Kita
Ada dua poin utama yang hendak saya soroti. Pertama, merefleksi bahwa kesadaran masyarakat Indonesia masih rendah dalam menghadapi persoalan sampah. Kedua, ialah bagaimana kita mengambil sikap untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sampah medis, yang selama ini masih kurang diperhatikan.
Untuk itu, kita harus mengambil tindakan. Pandemi Covid-19 ini setidaknya telah memberikan ruang dan waktu untuk berpikir dan merefleksi. Kita semakin sadar, tingkah laku manusia selama ini telah banyak memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Praktik-praktik industri telah banyak berkontribusi dalam meningkatkan jumlah sampah secara signifikan. Jangan sampai sampah medis membuat pengelolaan sampah kian runyam. Untuk itu, inilah saatnya berbenah.
Tak harus muluk-muluk untuk bergegas mengejar majunya teknologi di Jepang. Tentu bukanlah bandingan. Namun, hal yang ingin saya tekankan di sini adalah soal kedisiplinan masyarakat Jepang. Setidaknya kita perlu mencontoh etika warga Jepang dalam menjaga bumi, yang tertib dan disiplin dalam mengelola sampahnya.
Saya yakin, sejauh ini pemerintah Indonesia tentu sudah berupaya optimal dalam mengatasi persoalan ini. Mulai dari banyaknya penelitian tentang pemanfaatan sampah organik pun anorganik, mengadopsi 3R dari Jepang, pun meningkatkan teknologi di TPA, yang berpindah dari open dumping menuju sanitary landfill.
Sementara untuk sampah medis, mungkin inilah saat yang tepat untuk lebih memperhatikannya. Sebab nyatanya, sebelum ramainya isu Covid-19, sampah medis masih kurang menjadi perhatian. Apabila tak segera diambil tindakan, tentu saja akan lebih membahayakan.
Jika kita belajar dari Jepang, terlihat jelas bahwa Jepang memberikan perhatian lebih pada sampah medis. Tercatat bahwa Jepang pernah mengalami pengalaman buruk terkait sampah jenis ini. Tenaga medis di Jepang terinfeksi hepatitis B yang mematikan, tertular dari sampah medis pasien yang kurang steril. Kasus inilah yang kemudian meningkatkan perhatian publik dan orang-orang Jepang, sehingga semakin peduli pada sterilisasi sampah medis.
***
Saat ini, peraturan di Jepang lebih ditekankan untuk pengelolaan sampah medis. Pengangkutan sampah medis harus dengan kontainer tertutup dan dilapisi plastik kedap udara. Insinerator yang dikembangkan pun didesain agar semakin aman, meminimalisir emisi hydrogen chloride and dioxin yang dinilai membahayakan. Lalu, di rumah sakit harus pula menyediakan autoklaf dan dry heat sterilizers untuk sterilisasi.
Dengan demikian, harusnya pandemi Covid-19 yang kini kian mewabah di Indonesia, sebagaimana kasus hepatitis di Jepang, dapat menjadi pelajaran bagi kita.