Tajdida

Covid-19 dan Ramadan Menghantarkan Menjadi Manusia Unggul

4 Mins read

Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah karena di hari yang fitri ini diberi kesehatan dan iman. Kita diperkenankan berkumpul dengan keluarga kecil. Meskipun dengan keluarga besar kita terpisah. Hal sederhana ini harus disyukuri. Semoga ramadan kali ini menghantarkan kita menjadi muslim yang bertakwa.

Takwa: Titik Balik

Ketakwaan itu harus terus hidup dalam kondisi susah maupun nyaman. Dalam kondisi berada maupun kehampaan. Insya Allah, di balik susahnya keadaan saat ini akan ada jalan terang yang menanti kita. Inna ma’al ‘usri yusra, sesungguhnya di balik semua kesusahan ada jalan terang benderang yang menanti.

Khutbah Idulfitri 1441 H kali ini sangat istimewa. Karena tidak disampaikan di depan podium. Melainkan hanya tersampaikan di dunia maya atau daring. Hal ini karena kita adalah umat beradab. Umat yang paham pengetahuan dan sangat peduli dengan orang lain. Kita sangat peduli dengan kerabat dekat. Jangan sampai kepulangan kita ke kampung malah membawa petaka untuk orang yang dicintai.

Kita umat yang beradap juga sangat menghargai jerih payah para pejuang kesehatan yang berada di garis paling depan melayani pasien Covid-19. Mereka berhadapan dengan maut setiap hari. Cara menghargai mereka adalah dengan stay at home.  

Kita umat yang berperadaban lebih baik menjaga diri. Menahan diri untuk tidak keluar rumah. Tidak mudik atau pulang kampung. Kalau kita tidak menaati aturan kita akan menjadi beban. Kita sama saja menjadi masalah. Menjadi masalah dalam kehidupan menandakan Ramadan kita tidak berhasil.

Karena Ramadan pada hakekatnya mengajarkan menahan (al-imsyak). Ramadhan menginginkan kita menjadi orang yang kuat, yakni yang mampu mengendalikan segala keinginan. Dalam Bahasa Al-Qur’an keinginan disebut dengan nafsu.

Baca Juga  Muhammadiyah: Harakah Islam Berbasis Ranting

Covid-19 dan Ramadan

Ketika kita hanya memperturutkan keinginan, tanpa mampu mengendalikannya, itu menandakan tujuan Ramadan tidak tercapai. Jika tidak tercapai berarti kita termasuk orang yang lemah. Dengan adanya pandemi Covid-19 selama Ramadan justru semakin membantu kita menahan segala hasrat dan keinginan. Pandemi ini membantu kita menahan semua keinginan yang semula mudah dilakukan.

Itulah orang yang sabar. Innallaha ma’a shabirin. Sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar. Islam menyamakan tujuan puasa dengan kesabaran, yaitu terletak pada kata imsyak yang artinya menahan atau mengendalikan.

Jadi orang yang sabar adalah orang yang mampu mengendalikan segala bentuk emosi, baik sedih, suka, senang, marah, dan sebagainya. Sementara orang yang berpuasa adalah yang mampu mengendalikan segala bentuk keinginan. Yang semula dihalalkan, dalam Ramadhan ditahan.

Hakekat keduanya sama menjadikan diri kita orang yang kuat. Manusia yang tangguh. Manusia yang memiliki anti bodi dari berbagai perangai negatif. Manusia unggul yang mampu mengendalikan keinginan dan segala macam emosi.

Saat ini mungkin kita mampu membeli apapun, tapi karena kondisi pandemi kita menahan keinginan tersebut. Kita menjaga perasaan orang lain yang sedang susah. Selain itu kekuatan mengelola keinginan tersebut sama dengan menjaga kekuatan ekonomi keluarga juga. Tabiat konsumerisme ditekan agar kekuatan ekonomi keluarga lebih berdaya.

Kalau kita tidak dapat mengatur keingininan, segalanya ingin dibeli dan dimiliki, tanpa memperhatikan penting atau tidak penting, bisa jadi kekuatan ekonomi keluarga malah ambyar. Maka, hakekat puasa mengarahkan kita pada ketahanan ekonomi. Mengendalikan keinginan sama dengan mengatur manajemen ekonomi keluarga.

Pengendalian Emosi

Berapa banyak orang hancur gara-gara tidak dapat mengendalikan keinginan atau budaya konsumerisme. Setelah sekian hari kita menahan diri dalam pandemi dan puasa, insya Allah kita akan lahir dalam kondisi kuat. Itulah orang yang bertakwa dengan sebenar-benar takawa (haqqa tuqaatihi).

Baca Juga  Agar Semangat Beragama Tak Menjadi Fanatisme Buta

Para pembaca rahimakumullah. Di atas sempat disinggung, makna puasa identik juga dengan kesabaran. Namun, kesabaran menitik beratkan pada pengendalikan emosi. Sementara puasa menitikberatkan pada pengendalikan keinginan. Orang yang berhasil menjalani hidup adalah orang yang mampu bersabar dalam kondisi apapun.

Kita saat ini boleh bersedih, tapi jangan sampai kesedihan itu berlebihan. Kesedihan yang kita alami harus dikendalikan. Cara mengendalikan kesedihan bagi orang yang bersabar adalah degan cara melihat hal positif dari masalah yang dihadapi. Cara pandang yang positif ini akan melahirkan optimisme. Dari sikap optimis pasti akan menghasilkan peluang untuk menyelesaikan masalah.

Oleh sebab itu kita jangan sampai kalah dengan keadaan. Orang yang kalah adalah orang yang melihat masalah sebagai cobaan. Namun, orang yang menang melihat masalah sebagai tantangan baru untuk naik ke tangga yang lebih tinggi.

Selama 27 tahun dipenjara Nelson Mandela akhirnya dibebaskan. Setelah keluar ditanya: “Apakah dia membenci musuh-musuhnya terdahulu?”. Dia kemudian menyatakan, “aku tidak ingin terbebani dengan masa lalu. Oleh karena itu aku tidak ingin membenci orang yang dahulu memusuhiku.”

Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Buya Hamka. Semasa hidup Buya Hamka pernah dipenjarakan oleh Soekarno karena tuduhan makar. Meskipun tuduhan itu tidak pernah terbukti.

Selama dipenjara justru Hamka dapat menyelesaikan Tafsir Al-Azhar yang telah lama ditulis dan tak kunjung selesai. Hamka menyatakan, “penjara adalah rahmat baginya. Tanpa dipenjara mungkin tafsir tersebut tidak selesai ditulis.” Ketika Soekarno wafat, yang memimpin salat jenazah adalah beliau.

Menjadi Manusia Unggul

Pribadi-pribadi unggul ini bersumber dari ajaran Nabi Muhammad saw. Dahulu ketika berdakwah di Thaif, beliau dilempari dengan batu dan kotoran. Kemudian Jibril datang menawarkan bantuan. Sudikah kiranya sebuah bukit dilemparkan kepada penduduk Thaif. Namun Nabi saw tidak pernah menginginkan keburukan kepada umatnya. Beliau mengatakan kepada Jibril: “Mereka menolak dakwah karena tidak paham ajaran Islam. Jika sekarang mereka membenci Islam, insya Allah anak ketururan mereka akan mencintai Islam.”

Baca Juga  Ngaji Bareng Kiai Dahlan: Tadarus Al-Quran Bukan Sekedar Balapan

Demikian contoh karakter unggul yang tercipta dari dasar pengendalian diri dan emosi. Contoh-contoh tersebut menunjukkan jangan sampai diri diperbudak oleh amarah. Diperbudak oleh rasa benci. Sehingga orang yang mampu mengendalikan diri dan emosi berarti dia orang yang merdeka.

Demikianlah ajaran luhur Isam mengenai pribadi unggul. Pribadi yang mampu mengendalikan diri. Keadaan saat ini bersama pandemi, sebenarnya mengajak kita menjadi pribadi yang unggul. Oleh karena itu marilah kita mengelola kemampuan diri agar tidak terjebak pada hal yang tidak bermanfaat.

Jangan sampai diri kita diperlemah karena rasa takut. Jangan sampai dunia kita dipersempit karena rasa iri dan dengki. Kendalikan diri dan emosi. Manusia unggul adalah yang dapat mengendalikan keinginan dan perasaannya. Semoga puasa kita menghantarkan pribadi kita menjadi unggul seperti itu. Amiin.

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds