Perspektif

Covid-19: Siapa yang Sakit?

4 Mins read

Pertama kali nabi Muhammad SAW menerima wahyu tentang “Iqra”, pemahamannya sudah barang tentu bukan dalam rangka berhenti pada level membaca (iqra) ‘doang’/saja. Apalagi iqra dalam pengertian membaca Al-Qur’an yang seperti sekarang ini, jauh. Mengapa? Ada pengertian yang lebih mendalam dari pada hanya “membaca” dan Al-Qur’an belum ada saat itu.

Saat itu, belum ada Al-Qur’an apalagi mushaf Al-Qur’an yang baru dibuat setelah nabi Muhammad SAW wafat. Saat malaikat Jibril (Gabriel) memerintahkan untuk iqra, sebenarnya Nabi Muhammad diperintahkan (kuat sekali kata-katanya) untuk memahami alam semesta beserta kisahnya (alam, bumi, dan banyak kisah-kisah masa lalu umat manusia bersamanya sebagai tanda kebesaran Allah) yang dinamai ayat kauniyah.

Alam semesta (tanda kauniyah) adalah cermin tanda dari “wujud” Allah. Wujud ini ditorehkan melalui tanda/sign (ayat) dari alam semesta dan/lalu pas awal Nabi menerima wahyu, baru itu dituangkan dalam bentuk teks (kata-kata oral lalu ditulis di mana-mana) yang artinya tetap ayat/tanda/sign dengan sebutan ayat qauliyah (Al-Qur’an sekarang).

Covid-19 muncul di muka bumi ini juga merupakan sebuah tanda/sign/ayat yang harus dipahami. Kita harus iqra Covid-19. Virus ini dinamakan virus bagi manusia, bukan dari luar manusia; manusia juga dipahami sebagai virus bagi non-manusia (alam).

Iqra Covid-19 adalah iqra atas diri manusia selama ini. Saat ini manusia adalah spesies makhluk yang lebih muda dari pada bumi, binatang, tumbuhan, dan bangsa gaib. Namun manusia spesies jenis sekarang sombongnya ‘minta ampun’ karena merasa terpisah/beda dengan alam dan punya hak penuh (absolut) atas kendali alam. Manusia seperti kacang lupa pada kulitnya, begitulah pepatah lama dipahami. Manusia senaknya terhadap alam demi akumulasi kapitalnya (kerakusannya).

Baca Juga  Makna Tawaf dalam Hidup Sehari-hari
***

Manusia jenis anthropocentric ini mempunyai pikirannya sendiri, untuk dirinya sendiri, dan yang paling merasa benar sendiri. Bagi spesies manusia yang bukan manusia, manusia menganggapnya material saja, virus, bakteri, dan sejenisnya. Manusia yang berpikir bahwa alam adalah subjek justru dibilang bodoh, mistik, tidak masuk akal, dan terbelakang. Dari kehendak manusia jenis anthropocentric ini, manusia sadar/pikir bahwa Covid-19 adalah kesalahan yang lain; Covid-19 bukan kesalahan manusia. Covid-19 adalah pendemik bagi manusia.

Di sisi lain, Covid-19 bagi non-manusia adalah kekebalan tubuh alam dan bumi dari kerusakan pendemik manusia. Bagi alam semesta, manusia sudah dicukupkan Allah, tapi kerakusannya merusak alam semesta.

Dalam QS Asy Syuura: 27 berbunyi “Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat. Ayat mengisahkan tanda bahwa Allah sebenarnya telah mencukupi manusia, tapi manusia lalai kepada Allah sehingga melampaui batasnya.

Walaupun fakta bahwa manusia menyalahkan Covid-19 adalah wajar, tapi lebih wajar lagi ketika semua hal ini bersumber dari tindakan manusia sendiri. Di sini manusia adalah pendemik bagi alam semesta atas kerakusannya sehingga populasinya perlu diturunkan (walaupun hal ini bias jadi tidak cukup terus bagi hawa nafsu manusia).

Pertanyaan reflektif dari Allah: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Muhammad: 22). Di sini manusia mempunyai pilihan, hanya saja pilihan sekarang, manusia sedang dalam merusak bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan dengan bumi, binatang, tumbuhan,  dan alam gaib. Lalu tiba-tiba menyalahkan Covid-19? Apa pantas?

Baca Juga  Infodemik: Banjir Informasi di Masa Pandemi Covid-19
***

Manusia modern adalah spesies makhluk saintis yang mematerialkan (mengempirikkan) objek apapun juga, yakni manusia dijadikan materi faktor produksi, alam berupa bumi seisinya dieksploitasi habis-habisan demi akumulasi kapital sampai muncullah konsekwensi banjir, angin, kekeringan, wabah penyakit, dan sebagainya. Di sini, lagi-lagi manusia menyalahkan pihak di luar dirinya.

Manusia modern memang diciptakan sebagai manusia inhuman (tidak berperikemanusiaan) yang tidak pernah salah dan kerjanya menyalahkan yang lain. Saking berkuasanya secara absolut atas alam (faktanya tetap belum bisa, perasaan sombongnya yang membuatnya berkuasa), manusia semena-mena atas alam sampai pada titik kritis alam, yakni keluarlah imunitas alam semesta berupa, salah satunya Covid-19 itu.

Hal inilah manusia sudah pada level anti-tauhid sebab manusia modern telah menjadi Tuhan atas diriya sendiri di muka bumi ini (istilah Nietzsche, “God is dead”). Manusia lupa, ignorant (jahiliyah) atas statusnya sebagai khalifatullah. Manusia di sini justru menjadi Allah itu sendiri. Di sini, ketika manusia melupakan ke-tauhid-an, maka Allah ‘dimatikan’ oleh manusia. ‘Dimatikan’ dalam artian mati dalam alam sadar manusia, bukan dari Allah sendiri, sebab Allah Maha Ada, Agung, dan Besar.

Manusia pikir dengan akal dan ilmu pengetahuan mereka bisa melakukan apapun atas alam semesta. Alam semesta ini ada takarannya dan resistensinya. Jika melebihi dari takarannya (batasnya) maka akan ada konsekwensinya, seperti sekarang, Covid-19. Allah sudah mengingatkan pada manusia atas konsekwensi itu. Allah hanya menjalankan mekanisme alam semesta saja (sebagai salah satu wujudnya), bukan memberi azbah kepada siapapun itu (Azhab adalah tafsir subjektif manusia atas ketidakmampuan dirinya menghadapi hidup saja).

Jadi jika manusia melakukan kerusakan di muka bumi ini, maka hal itu ditafsirkan sebagai manusia membuat sakit alam semesta. Manusia adalah wabah/virus bagi alam. Covid-19 adalah daya tangkal alam dalam menghadapi serangan pendemik virus manusia yang populasinya semakin bertambah tiap tahunnya.

Baca Juga  Muhammadiyah & Politik (2): Muamalah, Ibadah, atau Akidah?
***

Dalam QS Asy Syuura: 42 berbunyi “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih”. Manusia mempunyai takarannya sendiri di muka bumi ini sama halnya ketika manusia memperoleh rizki yang sebagai kecilnya adalah hak orang miskin dan anak yatim piatu. Oleh sebab itu harus ada sedekah, zakat dan sejenisnya. Jadi rizki setiap manusia selalu ada takarannya masing-masing, jika berlebih maka dia akan menerima konsekwensinya.

Dosa dan azab itu adalah resiko tindakan manusia sendiri bukan Allah tiba-tiba kasih; dosa dan azab adalah cermin dari manusia yang melebihi batas. Jadi salahkan diri sendiri atas tragedi Covid-19. Jalinlah kembali silahturahmi dengan alam semesta dan sambung kembali hubungan kekeluargaan bersama alam. Ini jalan satu satunya demi keberlangsungan alam dan keseimbangan hidup di muka bumi ini.

Editor: Yahya FR

5 posts

About author
Dosen Universitas Pembangunan Nasional "Veteran"Jakarta dan Co Founder JIB POST
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds