Meninggal Karena Covid Tak Melulu Takdir Allah
Covid Takdir Allah – Bertebaran kabar duka, meninggalnya keluarga, istri, suami, anak, paman, dan saudara. Tidak sedikit yang menganggapnya itu sebagai takdir Allah. Karena jika Allah berkehendak maka jadilah.
Sikap semacam ini membuat orang-orang yang ditinggalkan menerima dengan lapang dada. Kematian memang tidak dapat dielakkan, tapi mengapa musibah yang lebih besar tidak dapat dikendalikan, ketika negara lain bisa melakukan?
Di sini, mengatakan semua yang meninggal hanya takdir Allah tanpa menjelaskan mengapa mereka terkena covid sesungguhnya mewariskan tradisi impunitas atas kebijakan ngaco dibuat oleh penguasa.
Di sisi lain, tidak sedikit yang meninggal karena covid adalah mereka yang justru menjaga prokes dengan sangat ketat dan disiplin, tak semata-mata takdir Allah. Dengan kata lain, setiap orang bisa melakukan tindakan preventif.
Di bawah kekuasaan negara modern, di mana mandat amanah rakyat diserahkan kepada mereka yang terpilih, dengan bekerja secara sungguh-sungguh, bencana ini sebenarnya bisa dikendalikan sekaligus dilakukan pencegahan. Memungkinkan orang-orang tersayang memiliki waktu yang panjang bersama kita.
Sejak awal yang selalu dipentingkan oleh pejabat yang berkuasa saat ini adalah menjadikan ekonomi sebagai panglima. Akibatnya, tidak ada bentuk keseriusan bagaimana melakukan kebijakan keras untuk melakukan pengetatan mobilisasi masyarakat seperti sekarang.
Karena pertumbuhan ekonomi yang dipentingkan, pariwisata dihidupkan, ada rencana bekerja dari Bali, ataupun aktivitas yang bikin agar ekonomi kita tumbuh.
Karantina Setengah Hati
Sebelumnya, karantina dilakukan setengah hati sambil memperkuat proses vaksinasi massal. Meskipun vaksinasi ini mengalami hambatan di tengah seremonial pejabat setempat untuk membuka program vaksinasi ini untuk masyarakat.
Di tengah itu, inkonsistensi kebijakan, korupsi dana bansos, indisipliner pejabat terkait dengan kepatuhan prokes, upaya menjadikan tes swab sebagai komoditas jualan yang dilakukan oleh salah satu BUMN farmasi dengan memakai bekas pakai alat tes swab bikin publik mulai tidak yakin bahwasanya covid itu ada dan benar-benar nyata. Kondisi ini membangkitkan narasi konspirasi yang sebelumnya tumbuh di tengah pendeknya ingatan publik Indonesia.
Namun, logika berjalan seiring antara mengendalikan virus dan menumbuhkan ekonomi itu bukan keputusan yang diambil dari data saintis yang memang mendalami pergerakan virus.
Kebanyakan negara yang berhasil menekan pergerakan covid adalah mereka yang percaya kepada data saintis; para ahli yang menekuni benar-benar bidang itu.
Kepercayaan ini yang membuat pejabat yang berkuasa kemudian menerapkan dengan sangat keras untuk karantina (lockdown). Masyarakat diminta untuk bersabar sekaligus menderita meskipun tak lama, sambil menahan rasa marah karena kebijakan karantina berkali-kali.
Keputusan yang Berlandaskan Situasi Politik, Bukan Data Saintis
Dalam konteks Indonesia, keputusan pengendalian covid sepenuhnya berpijak kepada dinamika politik. Di sini, ekonomi menjadi panglima agar Indonesia tidak colaps. Bahkan, mengingat negara lain pertumbuhan ekonominya turun karena kebijakan karantina terus-menerus, pemerintah Indonesia ingin mengambil kesempatan emas tersebut dengan membuka pasar pariwisata yang luas.
Saat ada varian baru masuk, dengan daya sebar yang begitu cepat. Mentalitas pemegang kebijakan tidak berubah; tetap keras kepala tidak mau mendengarkan data saintis. Sebaliknya, Orang-orang Indonesia yang ahli di bidangnya dan juga komunitas relawan covid-19 yang setiap harus terus memberitahu secara publik agar pemerintah benar-benar serius menangani covid-19 benar-benar tidak digubris.
Saat varian covid ini benar-benar mengakumulasi dengan cepat dan memunculkan banyak korban, yang muncul adalah kata-kata, “ini salah kita semua”, ” Kami tidak mengira akan terjadi peningkatan”.
Indonesia Suka Memaafkan
Indonesia bangsa pemaaf. Mereka sekalipun tidak menyalahkan para pejabat yang berkuasa yang lalai dalam mengendalikan covid-19. Namun, keikhlasan dan daya pasrah mereka menerima nasib yang begitu menyakitkan karena anggota keluarga yang meninggal karena covid ini seharusnya jadi cermin bahwasanya di tangan kekuasaan yang lalai nyawa korban selalu jadi taruhan.
Di bawah kebijakan kekuasaan selalu menyangkal terhadap kesalahan, tingginya mereka yang meninggal karena covid adalah semacam statistik yang sekadar dihitung tanpa melihat lebih jauh; berapa tulang punggung keluarga yang hilang karena kebodohan kebijakan penanganan covid yang selalu abai dan melulu bahwasanya ekonomi adalah hal yang utama.
Sekarang, mendahulukan kebijakan ekonomi ketimbang pengendalian massa terbukti. Tidak hanya bikin colaps ekonomi, melainkan juga masyarakatnya dan mengorbankan tenaga kesehatan yang bekerja siang dan malam untuk mereka yang terdampak karena covid.
Kepada Pak Jokowi, ini saat yang tepat mendengarkan para ahli dengan data yang akurat. Pak jokowi memiliki kekuasaan yang penuh dengan mandat publik yang luas.
Masyarakat tidak sulit untuk diatur kalau pejabatnya memang benar-benar serius untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya sambil terus mendengarkan orang-orang yang memang ahli di bidangnya, bukan kepada oportunis politik yang menganggap bahwasanya urusan ekonomi adalah segala-galanya.
Pertarungan covid ini akan menjadi warisan, apakah pemerintahan pak Jokowi meninggalkan kesan positif di hati masyarakat atau justru sebaliknya. Pertarungan melawan covid sepenuhnya di tangan Pak Jokowi sebagai pemegang mandat terbesar rakyat Indonesia.
Editor: Yahya FR