Bayar utang lebih penting daripada sedekah. Kenapa dan apa dalilnya? Baca ulasan di bawah ini.
Bayar utang dan bersedekah adalah dua perkara yang berbeda konteks. Bayar utang karena kita pernah meminjam dari orang lain. Sedangkan bersedekah merupakan amalan filantropi.
Namun seringkali, dua perkara ini bertemu dalam satu konteks yang sama. Seseorang yang sedang berutang tak kunjung mampu membayar utangnya. Di saat yang bersamaan dia ingin bersedekah.
Jadi apa yang sebaiknya dia lakukan? Menyimpan uang hingga cukup untuk membayar utang, dan menunda bersedekah?
Padahal yang bersangkutan pernah mendengar ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa sedekah di waktu sempit adalah yang paling afdhol.
Hadis itu berbunyi, dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al Khots’ami, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang paling afdhol. Lalu dijelaskan dalam hadis berikut, “Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. An-Nasai).
Dengan hadis itu yang bersangkutan menganggap bahwa bersedekah di kala punya utang adalah sedekah di waktu sempit. Karena punya beban utang dianggap sebagai masa serba kekurangan.
Juga ada hadis lainnya. Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah)
“Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dirham dapat mengungguli seratus ribu dirham.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau jelaskan, “Ada seorang yang memiliki dua dirham lalu mengambil satu dirham untuk disedekahkan. Ada pula seseorang memiliki harta yang banyak sekali, lalu ia mengambil dari kantongnya seratus ribu dirham untuk disedekahkan.” (HR. An-Nasai dan Imam Ahmad).
***
Bagi anda yang kebetulan punya masalah yang sama, simak dulu hadis lainnya.
“Barangsiapa yang bersedekah, sedangkan dia dalam keadaan membutuhkan atau keluarganya membutuhkan atau ia memiliki tanggungan utang, maka utang lebih berhak untuk dibayar daripada ia bersedekah, memerdekakan budak dan hibah. Dan sedekah ini tertolak baginya” (Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 2, hal. 112).
Nabi Muhammad SAW bersabda “Barangsiapa ruhnya berpisah dari jasad sedangkan ia terbebas dari tiga perkara ini, ia pasti akan masuk surga. Ketiga hal tersebut adalah terbebas dari sombong, khianat, dan utang,” (H.R. Ibnu Majah).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya,” (H.R. Tirmidzi).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sedekah paling baik adalah melakukan sedekah dalam keadaan tercukupi, mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi.” (HR. Bukhari).
Jangan Sampai Sedekah Melupakan Ikhtiar Membayar Hutang
Dalam beberapa hadis sebetulnya tidak ada pertentangan. Seorang muslim bisa bersedekah di waktu sempit, dan sekaligus punya kewajiban untuk melunasi utang.
Jika berutang adalah waktu sempit, maka seorang muslim bisa tetap bersedekah. Tapi jangan sampai sedekah itu melalaikan ikhtiar bayar utang. Jangan menjadikan sedekah sebagai alasan untuk menunda bayar utang.
Jika anda ada dalam kondisi berutang, yang paling wajib anda lakukan adalah berusaha melunasi terlebih dahulu utang tersebut. sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282:
***
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (berutang) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Dalam Islam perkara utang-piutang adalah bagian dari muamalah. Bahkan Islam mewanti-wanti supaya transaksi utang-piutang tertulis dengan jelas, cermat dan adil.
Dengan demikian, utang adalah perkara yang diatur sedemikian teliti dalam Islam karena berhubungan dengan keadilan. Mengabaikan dan menunda membayar utang adalah suatu bentuk perbuatan orang-orang fasik.