Sunan Kalijaga
Siapa yang tidak kenal dengan Sunan Kalijaga? Pasti kebanyakan orang sudah tidak asing mendengar nama Sunan Kalijaga terutama masyarakat tanah Jawa. Dikenal dengan metode dakwah yang dibawakannya secara unik itu.
Di setiap poster Wali Songo, pasti kita langsung mengetahui manakah Sunan Kalijaga itu. Hanya Sunan Kalijagalah yang berpakaian adat Jawa dan memakai blangkon. Tidak seperti sunan-sunan yang lainnya, memakai jubbah dan mengikat kepalanya dengan sorban.
Biografi Sunan Kalijaga
Sebelum dijuluki dengan gelar Sunan Kalijaga. Pada masa kecilnya, biasa dipanggil dengan Raden Mas Syahid, Pangeran Tuban, atau Raden Abdurrahman. Sunan Kalijaga merupakan seorang putra yang lahir pada sekitar tahun 1940 M di Tuban Jawa Timur.
Ia lahir dari pasangan Tumenggung Wilatika yang merupakan seorang adipati Tuban dan Dewi Retna Dumilah (Achmad Chodjim, 2013:8). Dikutip dari buku Sunan Kalijaga (Raden Said) karya Yoyok Rahayu Basuki, diperkirakan masa hidup Sunan Kalijaga mencapai lebih dari seratus tahun.
Menurut dari beberapa sumber, ada yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan seorang keturunan asli Jawa. Karena, Sunan Kalijaga merupakan seorang yang memiliki keturunan dari Ranggalawe, seorang patih dari kerajaan Majapahit.
Namun ada sumber lain yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan seorang yang memiliki keturunan dari bangsa Arab. Dikarenakan memiliki silsilah keluarga yang bermula dari Abdul Muthalib yaitu nenek moyang Rasulullah SAW (Miftakhurrahman Hafidz, Sutjitro, Kayan Swastika, 2015:2).
Punya Empati yang Tinggi
Sunan Kalijaga memiliki rasa empati yang sangat tinggi. Diceritakan bahwa zaman dahulu Majapahit mengalami penurunan sehingga masyarakat kekurangan bahan pokok untuk kehidupan sehar-hari.
Terlebih lagi, Tuban tempat ia tinggal di serang kemarau panjang sehingga menyebabkan masyarakat Tuban mengalami kekeringan.
Oleh sebab itu, Sunan Kalijaga mulai aksinya dengan maling cluring. Sunan Kalijaga mencuri sembako di pergudangan Kadipaten kemudian dibagikan pada masyarakat secara diam-diam (Achmad Chodjim, 2015:8).
Namun seiring berjalannya waktu dari pengintaian keamanan Kadipaten, Sunan Kalijaga tertangkap basah sehingga membuat malu ayahnya yang merupakan seorang adipati.
Dengan kebijaksanannya, Tumenggung Wilatika mengusir Sunan Kalijaga dari istana Kadipaten. Namun, hukuman itu masih belum membuatnya jera, Sunan Kalijaga masih melakukan aksi maling cluringnya dan berhasil lagi ditangkap sehingga Tumenggung Wilatika mengusirnya dari Kadipaten Tuban (Achmad Chodjim, 2015:9).
Akibat hukuman pengusiran Sunan Kalijaga yang diberikan oleh ayahnya, Sunan Kalijaga hidup di dalam hutan yang bernama hutan Jatiwangi. Di dalam hutan itu, Sunan Kalijaga tetap menjalani profesinya sebagai maling cluring dan mengganti namanya menjadi Brandal Lokajaya yang artinya penguasa wilayah (Siti Nur Aidah dan Tim Penerbit KBM Indonesia, 2021:8).
Di hutan inilah awal mula Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Bonang yang menjadikannya seorang Sunan Kalijaga.
Pertemuan Sunan Kalijaga dengan Sunan Bonang
Pertemuan diawali dengan sikap yang tidak terpuji oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merebut tongkat dari Sunan Bonang sehingga Sunan Bonang terjatuh. Tongkat yang diduga Sunan Kalijaga terbuat dari emas itu, ternyata hanyalah tongkat biasa.
Sembari berdiri, Sunan Bonang menasehati Sunan Kalijaga karena perbuatannya selama ini, dengan mengibaratkan “mencuci pakaian kotor dengan air kencing yang hanya menambah kotor dan bau” (Wahyu Oktaviani, 2020:27).
Karena nasehat dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga menjadi terpukau dengan Sunan Bonang. Ditambah lagi, Sunan Kalijaga melihat tongkat Sunan Bonang dapat mengubah pohon aren menjadi emas.
Sunan Kalijaga menyadari bahwa Sunan Bonang bukanlah seorang manusia sembarangan. Kemudian, Sunan Kalijaga pun ingin berguru pada Sunan Bonang. Sayangnya Sunan Bonang tidak menerima dengan begitu gampangnya.
Syarat Menjadi Murid Sunan Bonang
Sunan Bonang memberi syarat yaitu Sunan Kalijaga harus dapat menjaga tongkatnya di sungai selama Sunan Bonang pergi. Karena ambisi Sunan Kalijaga agar dapat menjadi muridnya, Sunan Kalijaga menerima syarat tersebut.
Setelah tiga tahun, Sunan Bonang kembali untuk mengambil tongkatnya dan melihat Sunan Kaliga masih setia menjaga tongkatnya (Nurul Hak, 2016:74).
Demikian nama Raden Syahid berubah nama menjadi Sunan Kalijaga yang artinya menjaga sungai. Diterimalah Sunan Kalijaga menjadi muridnya (Nurul Hak, 2016:75).
Dakwah Sunan Kalijaga
Dalam menyebarkan agama Islam, Wali Songo memiliki ciri khas metodenya masing-masing. ada yang membangun musola, pondok pesantren, dan padepokan untuk masyarakat belajar agama Islam.
Sunan Kalijaga membawa ajaran Islam dengan menemui masyarakat secara langsung ke tempat satu dan ke tempat yang lainnya dengan melaraskan ajaran Islam dengan budaya setempat. Walaupun tradisi yang ada pada saat itu merupakan tradisi dari agama Hindu.
Metode yang dilakukan Sunan Kalijaga terebut dengan menghampiri masyarakat secara langsung, membuat nama Sunan Kalijaga menjadi populer begitu cepat. Dan juga metode dakwah dengan menyelaraskan ajaran Islam dengan tradisi setempat membuat ajaran Islam diterima dengan baik oleh masyarakat tanah Jawa.
Sunan Kalijaga berdakwah dengan cara sopan, tidak ada unsur paksaan, dan ramah. Karena metode dakwah tersebut menandakan bahwa Sunan Kalijaga memiliki jiwa pluralis (Wahyu Oktaviani, 2020:32).
Sunan Kalijaga dikenal masyarakat Jawa dengan salah satu Wali Songo yang dalam menyampaikan ajaran Islam secara kreatif karena dakwahnya yang menggunakan metode-metode yang sangat unik.
Karena kekreatifannya, Sunan Kalijaga dapat menciptakan model-model dakwah yang sangat populer di masyaraka Jawa.
Berikut konsep dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah wayang kulit, seni ukir, gamelan, baju taqwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, dan seni suara suluk (Jhony Hadi Saputra: 2010:60).
Editor: Yahya FR