Review

Review Buku: “Dilarang Mengutuk Hujan” Iqbal Aji Daryono

3 Mins read

Buku Dilarang Mengutuk Hujan

Ini kali ke tiga saya membaca buku kumpulan dua puluh satu esai pilihan yang berjudul Dilarang Mengutuk Hujan, karya Iqbal Aji Daryono (IAD). Bukan karena saya tidak memiliki buku bacaan lain selain ini, tapi karena setiap kali saya bertemu hujan dan mulai ingin mengeluhkannya (sebab beberapa urusan saya menjadi tertunda), entah kenapa ingatan saya selalu tertuju pada buku ini.

Terlebih lagi karena baru-baru ini negeri kita acap kali dilanda cuaca buruk, banjir, longsor, dan angin kencang. Banyak yang berpendapat bahwa hujan dengan intensitas lebat hingga ekstrem sangat berpengaruh terhadap bencana tersebut.

Saya lantas teringat dengan apa yang dituliskan IAD pada esai Dilarang Mengutuk Hujan, bahwa hujan tuh mirip cinta: ia jadi berkah hanya ketika dicurahkan dalam porsi yang cukup dan di saat yang tepat. Selebihnya, too much love will kill you.

Ya, memang benar-benar bisa membunuh, membunuh dalam makna harfiah. Faktanya, bencana itu telah merenggut tak sedikit jiwa.

Bolehkah Mengumpati Hujan

“Lantas apakah kita jadi boleh mengumpati hujan? Tetap saya tak berani. Pamali.” ungkapnya. Saya pun tidak.

Nasihat agar jangan memaki hujan, sudah berkali-kali ia dengar semasa kecil. Tapi bagi para orang tua, mending berhenti memberikan rasionalisasi atas pelarangan memaki hujan. Cukuplah bilang, “Nak, jangan memaki hujan.” Titik. Nggak usah neko-neko pakai penjelasan ilmiah.

Dalam hidup ini, agaknya tidak semua hal layak dirasionalkan. Selalu ada sektor-sektor yang sebaiknya dibiarkan saja tinggal dalam area misteri, dan tidak usah diutak-utik lagi, begitu tuturnya. Dan ya, tentu saja saya sepakat.

Iqbal Aji Daryono: Kabar Kematian yang Biasa Saja

Bagi saya, esai-esai IAD yang dikemas dalam buku setebal seratus enam puluh enam halaman ini, secara keseluruhan memikat. Berbagai hal yang tadinya tampak sederhana, menjadi penuh makna.

Baca Juga  Pasang Surut Hubungan Islam Indonesia dan Tiongkok

Ragam realita kehidupan diolah sedemikian rupa melalui proses perenungan yang matang, dan walau diracik dengan kalimat-kalimat yang seolah tak ingin menanggalkan unsur kesederhanaannya, tapi sungguh terkesan mewah dan berkelas.

Seperti pada salah satu esainya yang berjudul Kabar Kematian yang Biasa Saja, kendati terasa ringan dan enak dibaca namun tetap berkualitas dan sarat makna.

Menurutnya, seiring dengan kerapnya kita mendengar kabar duka, tak ayal, kita sedang merayap ke situasi batin yang melihat kematian sebagai sesuatu hal yang seolah biasa. Normal saja seperti rutinitas harian. Ini sungguh mengerikan.

Ketika nantinya kita semakin sering mendengar kabar kematian, bisa jadi kita akan semakin abai. Semakin merasakan kematian sebagai hal enteng sehari-hari yang biasa-biasa saja, yang bisa kita hadapi sekadar dengan copas kalimat template: “Innalillahi wainna ilaihi rojiun, turut berduka sedalam-dalamnya.”

Sepertinya, di hari itulah muncul tragedi kemanusiaan yang sesungguhnya. Demikian IAD memungkasi esai ini. Dan, lagi-lagi saya sepakat dengannya.

Iqbal Aji Daryono: Orangtua dan Ambisi

Membaca esai-esai IAD, membuat saya merasa seolah sedang menjelajahi lekuk-lekuk buah pikirannya sembari belajar berpikir kritis dan jeli dalam memandang objek kehidupan dengan tidak common sense.

Melalui Orangtua dan Ambisi, IAD membidik perilaku orangtua yang alih-alih mengajak anak untuk masuk ke dalam iklim persaingan sehat dan sportif, atau agar anak belajar tangguh dalam menerima kegagalan, yang tampak telanjang malah orang-orang yang ingin anak mereka meraih kemenangan dengan cara apa saja. Dan yang lebih mencengangkan, fenomena seperti ini ternyata berjalan dengan masif, di mana-mana.

Parade orangtua yang menyuruh anak-anak untuk tetap menetek dan ngumpet di ketiak mereka itu terus berlangsung. Kita melihat para pejabat yang tanpa malu memfasilitasi anak-anak mereka untuk maju jadi calon ini-itu. Mumpung bapak mereka masih punya kuasa dan massa. Hebatnya, dengan sangat permisif dan penuh kebijaksanaan, kadang kala kita memberikan segunung permakluman (halaman 139).

Baca Juga  Layla-Majnun: Cinta Tanpa Alasan kepada Tuhan

Takut Angka

Bagi yang telah akrab dengan buku-buku IAD, tentu akan sangat memaklumi jika saya mengaku selalu terpukau setiap kali menjumpai tulisan-tulisannya. Bagaimana tidak? Sekadar hasil pemeriksaan lab kesehatannya saja, dengan mudahnya bisa langsung diubah menjadi sebuah esai yang berjudul Takut Angka.

Dan ingatan tentang usianya yang mulai memasuki kepala empat pun, seketika bisa dielaborasi menghasilkan beberapa paragraf baru. Saya sering kali terbengong-bengong, bagaimana ide-ide segar itu bisa terus tumbuh dan tiada habisnya berhamburan dalam kepalanya.

Dari Mana Candu Bermula

Pun demikian dengan esai Dari Mana Candu Bermula, IAD mengisahkan kehidupan suku Sasak yang hampir seluruh warga di sana memang cuma bisa berbahasa Sasak. Lebih hebat lagi, mereka juga tak kenal dengan satuan panjang ala meter-meteran sebagaimana yang kita pakai, tak kenal juga sistem kalender Masehi, dan entah tak kenal apa lagi. Sebab mereka tidak sekolah. Seketika yang terlintas adalah hal-hal semacam keterbatasan akses, atau kebodohan, atau penolakan pada kemajuan.

Toh kenyataannya mereka bisa tetap survive dalam situasi seperti itu. Sehingga rasanya urusan sekolah dan tidak sekolah hanyalah soal pilihan.

Sialnya, kita sering kali berada dalam situasi tak bisa memilih di tengah pilihan-pilihan. Tak bisa menjadikan hal-hal opsional benar-benar semata sebagai urusan opsional. Selalu ada saja tekanan.

“Kami tak bisa hidup tanpa wifi. Kami tak bisa hidup tanpa Instagram dan Tiktok. Kami tak bisa hidup tanpa email dan Google Drive. Kami tak bisa hidup tanpa Zoom. Kami tak bisa hidup tanpa video call…”

Itu bukan suara para pemuda kampung adat berbahasa Sasak. Itu suara kita, yang sudah lupa bagaimana dulu pertama kali terpapar dengan makhluk-makhluk yang disebut itu, lalu kenal, lalu mengakses, dan akhirnya berujung pada mencandu (halaman 158).

Baca Juga  Dilarang Mengutuk Hujan: Buku Penuh Esai Reflektif

Saya suka dengan gaya menulis IAD yang terkesan memangkas jarak dengan pembaca, cenderung berbahasa verbal dan berkarakter dialogis. Setiap kali membaca tulisannya, terasa seolah sedang berbincang dengannya. Begitu dekat, nyaris tanpa sekat. Cara bertuturnya menyenangkan, asik, seru dan nggak bikin bosan. Jika pada kata pengantarnya Edi AH Iyubenu menyebut IAD laksana pendulum, saya menyebutnya candu.

_______

• Judul Buku: Dilarang Mengutuk Hujan

• Penulis: Iqbal Aji Daryono

• Penerbit: DIVA Press, 2021

• Tebal: 166 halaman

• ISBN: 978-623-293-235-7

***

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *