Melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), pemerintah memastikan dana haji aman. Tidak diganggu gugat, tidak kekurangan, apalagi dipakai untuk membangun infrastruktur. Alasan utama peniadaan pemberangkatan ibadah haji Indonesia tahun 2021 ini adalah soal keselamatan dan kesehatan jamaah calon haji, bukan masalah keuangan, diplomasi, atau lainnya.
Jika kita tidak percaya pemerintah soal ini, apa untungnya? Tidak ada. Sekalipun kita marah-marah di media sosial, menuntut audit publik dana haji, menuduh gagalnya diplomasi RI dengan pemerintah Arab Saudi terkait kasus politik, atau apapun, argumen-argumen yang ada saat ini tidak cukup kuat untuk menuduh pemerintah zalim pada umat Islam. Karena memang kenyataannya tidak demikian. Semua yang sedang dilakukan saat ini merupakan prosedur normal yang dilakukan hampir semua negara.
Audit publik dana haji jelas tidak dimungkinkan, karena semua skema keuangan yang dikelola pemerintah punya aturan bakunya tersendiri. Ada BPKH yang mengelola dana haji, setiap tahun diperiksa dan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Tahun lalu dengan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Jika seandainya ada kecurigaan penyelewengan yang memiliki bukti kuat, mekanisme yang bisa ditempuh adalah dengan membentuk panja di DPR, bukan dengan audit publik.
Apakah peniadaan pemberangkatan haji ini karena proses diplomasi yang gagal? Rasanya tidak. Sejauh ini semua informasi resmi dan valid menunjukkan bahwa hubungan Indonesia dan Arab Saudi baik-baik saja. Proses diplomasi berjalan ‘smooth’ dan lancar. Persoalan haji dengan segala turunannya akibat pandemi Covid-19 bukan hanya diberlakukan bagi Indonesia—tetapi juga negara-negara lain. Kita bisa cek berbagai informasinya.
Soal kuota, memang Arab Saudi belum menentukan kuota. Yang jelas, meskipun diberikan kuota, pasti akan jauh berkurang dibandingkan kuota normal pada waktu biasa. Masalahnya, dibukanya ibadah haji 2021 ini oleh pemerintah Arab Saudi tergolong dekat dengan waktu pelaksanaannya.
Persiapan yang harus dilakukan terkait pemondokan, catering, dan semua kebutuhan pelayanan pelaksanaan, kesehatan dan keselamatan jamaah tidak memungkinkan dibanding waktu yang tersedia. Ditambah rumitnya persoalan Covid-19 di dalam dan luar negeri, keputusan yang paling maslahat adalah dengan meniadakam pemberangkatan haji tahun ini. Itu yang paling rasional.
Memang ini bukan keputusan yang mudah. Jamaah calon haji yang sudah menunggu bertahun-tahun dan tiba gilirannya tahun ini, pasti kecewa. Siapa yang tak rindu dengan tanah suci? Apalagi haji juga merupakan bagian dari rukun Islam.
Kewajiban yang harus dipenuhi umat muslim yang mampu melaksanakannya. Belum lagi jamaah yang berada dalam antrean berikutnya. Tentu membutuhkan waktu tunggu lebih lama untuk bisa berangkat.
Namun, kita memang tak bisa dan tak boleh memaksakan diri. Apalagi jelas kita sadari masih ada ancaman bahaya Covid-19 yang belum tuntas. Memaksakan diri dengan logika ‘yang penting bisa berangkat’ dengan menerabas semua kemungkinan adalah bentuk mencelakakan diri, membahayakan keselamatan diri. Padahal tindakan itu dilarang juga oleh agama, lā taqtulū anfusakum, bukan?
Pemerintah melalui Kementerian Agama sudah duduk bersama Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah haji, BPKH, MUI, dan seluruh elemen lain termasuk para ulama dan pemuka agama untuk menjelaskan kepada masyarakat sebaik mungkin mengenai persoalan ini.
Apakah komunikasi dan informasinya sudah jelas? Mungkin belum. Tapi kita juga tak boleh memperkeruhnya. Kita berharap semoga pihak-pihak yang berwenang bisa memberikan penjelasan yang paling terang-benderang. Juga yang menenangkan.
Lantas, apakah ada persoalan politik antara Arab Saudi dan Indonesia menyusul peniadaan keberangkatan ibadah haji Indonesia tahun ini? Saya rasa tidak ada. Yang ada justru persoalan politik di dalam negeri kita sendiri.
Kecurigaan berlebihan, labeliasi, kategorisasi, pembelahan akibat dukugan politik sisa pemilu lalu, ditambah kelakuan penghasut dan perusuh di media sosial, membuat persoalan ini jadi rumit belaka. Banyak berita bohong yang beredar, banyak provokasi dan misinformasi berseliweran di media sosial, banyak perdebatan yang sebenarnya jauh dari substansi.
Media juga semakin memperkeruh suasana dengan menghadap-hadapkan pihak-pihak yang keukeuh dan ‘over-acting’ ini. Yang penting seru. Seolah penting ada debat terbuka. Seolah memang ada kecurangan dan keculasan pemerintah, sambil memupuk kebencian lebih dalam kepada pihak-pihak yang kecewa pada pemerintah—untuk banyak persoalan.
PR pemerintah memang besar. Kebijakan ini harus dikomunikasikan dengan baik. ‘Clear and clean’. Mesti sabar juga menghadapi jamaah calon haji, keluarganya, dan masyarakat yang kecewa. Jelaskan bahwa dana haji aman, tidak dipakai untuk infrastruktur, calon jamaah yang telah lunas ongkosnya tetap mendapatkan manfaat tambahan dari dana yang disetor. Dana dikelola dengan baik, diplomasi berjalan lancar. Semua penjelasan itu tak boleh diiringi dengan emosi atau tendensi apapun, karena tugas pemerintah memang menjelaskan kebijakannya.
Untuk yang marah-marah pada pemerintah, sebaiknya jangan asal tuduh, asal berlawanan, dan asal beda. Semua harus bersikap adil. Bersikap adillah karena itu yang paling dengan dengan ketakwaan, i’dilū huwa aqrabu lit-taqwā.
Memang banyak yang harus dikritik dari pemerintah, tetapi bukan berarti semua kebijakan pemerintah salah—termasuk soal haji ini. Apalagi dengan semacam ‘pre-text’ dan kecurigaan bahwa pemerintah tidak suka pada Islam, menggunakan dana umat Islam untuk infrastruktur, dan seterusnya. Itu tidak adil. Jika tidak ingin dikatakan kebablasan.
Kita harus berhenti membenturkan Islam dengan negara. Tidak ada untungnya. Semua pihak rugi jika suasana semacam itu terus dijaga. Baik di media sosial maupun di ruang nyata. Pejabat, rakyat dan siapapun saja bertanggung jawab untuk sama-sama menjaga persatuan bangsa dan negara ini. Jangan mau terus menerus diadu, dipecahbelah, dihadap-hadapkan untuk berbeda dan berlawanan.
Saya sendiri sudah pelajari. Dana haji Insya Allah aman. Kita percayakan kepada pihak-pihak yang berwenang untuk mengurusnya. Kecewa, memang, karena tidak jadi berangkat. Karena antrean haji bertambah panjang. Tapi itulah mungkin bagian dari perjuangan ‘manusia haji’.
Seperti kata Ali Shariati, kita dituntut untuk terus menerus bisa mengalahkan diri sendiri, menjadi insan yang sabar, takwa dan ihsan. Karena esensi haji adalah membentuk pribadi dengan akhlak yang paripurna, menjadi ‘mabrur’, yang selalu condong pada kebaikan. Bukan yang marah-marah melulu.
Tabik!
Editor : Yusuf