Menurut para ahli kejiwaan, jiwa kita memiliki tiga sudut penting dalam menghubungkan diri dengan alam. Pertama adalah perasaan, kedua adalah pikiran, dan yang ketiga adalah kemauan. Hal ini juga terkait dengan upaya kita “mencari Tuhan”.
Apabila perasaan yang lebih terkemuka atau menonjol di antara ketiga sudut tersebut, kita akan menjadi seorang seniman. Apabila pikiran yang lebih utama, maka kita akan menjadi seorang filsuf. Jika kemauan (iradat) lebih unggul, inilah alat bahwa orang tersebut akan menjadi seorang pemimpin yang terkemuka dalam bangsanya. Menjadi seorang pahlawan, atau seorang ahli agama yang membawa paham pembaharuan.
Mencari Tuhan
Ada sebuah cerita yang mana pada suatu hari di waktu shubuh, Bilal melakukan adzan di Masjid Madinah dengan waktu yang sudah lama. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW belum juga keluar dari rumahnya.
Lalu pergilah Bilal mendatangi beliau karena cemas jika beliau dalam keadaan sakit. Setelah bilal sampai dan masuk ke dalam rumah beliau, akhirnya dia dapat menemui Nabi Muhammad yang sedang duduk termenung dan matanya terlihat bekas menangis.
Lalu Bilal bertanya kepada beliau “Ya utusan Allah, apakah sebab engkau menangis? Padahal jika ada kesalahanmu, baik dahulu maupun yang akan datang akan diampuni oleh Allah” lalu Nabi Muhammad menjawab, “wahai Bilal, tengah malam Jibril datang kepadaku membawa wahyu Allah :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ(90) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(91
‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’
Sengsaralah, wahai Bilal bagi orang yang membaca ayat itu lalu tidak dipikirkannya maksudnya”
Firman Allah dan ajaran Nabi itu senantiasa mengandung ajakan agar kita merenungkan keadaan di sekeliling kita, keindahan yang meliputi segalanya. Jiwa yang bersih suci dapat mendengar dan melihat keindahan Alam semesta. Di sana terdapat tiga sifat Allah, yaitu jamal yang artinya indah, jalal yang artinya agung dan kamal yang artinya sempurna.
Yang banyak terjadi dalam diri manusia adalah adanya sebuah dinding yang membatasi atau justru dibangun. Akan tetapi, apabila kita dengan jiwa kuat sudi menembus dinding itu, yakni dengan penglihatan ruhani yang bersih, niscaya terbukalah hijab tersebut. Mata lahir akan melihat gunung menjulang, ombak berdebur, awan mengepul di udara, kembang mekar, dan lainnya. sedangkan mata ruhani akan mulai menembus dinding sehingga yang terlihat adalah keagungan Allah SWT.
Kemauan Melihat Tuhan
Pangkat dan kemegahan, terkadang menjulang naik, dan terkadang jatuh tak tertahankan. Diangankan angan-angan dan cita bersilang-siur, di waktu badan masih muda. Tahu-tahu uban menjuntai kening dan tenaga mulai berkurang.
Adapun cita dan angan tadi, jika dapat tercapai sepersepuluh, tentulah sudah bersyukur. Diturutkan syahwat dan hawa nafsu, akhirnya arang habis besi binasa. Diturutkan bersenang-senang di waktu muda maka sebelum umur habis, tenaga telah habis terlebih dahulu.
Datanglah saatnya, kemegahan dan pangkat, harta dan benda, uang yang berbilang, serta emas tidak ada sedikitpun lagi harganya, dibandingkan dengan kesehatan badan. Timbullah rasa kosong dalam jiwa, dihitung galas berlaba, rupanya modal termakan. Dilihat amal kurang, jasa tak ada, dan maut pasti datang. Terlontar dari mulut suara penyerahan yang tulus, “Allah SWT”.
Sudut Perasaan
Apabila kita cenderung ke dalam sudut seni atau keindahan (estetika), cobalah rasakan adanya Allah di dalam alam. Pikirkanlah, siapakah dan kekuatan apakah yang menyebabkan keindahan ini sehingga tampak segala sesuatu tersusun dan teratur?
Pandanglah dia dalam keluasan hamparan laut, kebesaran bukit dan gunung. Keindahan saat matahari terbit dan terbenam, keindahan bentuk, juga keindahan warna alam semesta. Angin sepoi melambaikan serumpun bambu di pinggir hutan yang menimbulkan kicut gesekan di antara satu batang dengan batang lainnya.
Alam yang luas terlihat hening, akan tetapi sebenarnya dia senantiasa bekerja. Saat dipandang selalu nampak suatu keganjilan. Dari sanalah kita dapat mencari Tuhan–dan menemukanNya.
Rasa seni akan mampu bangkit ketika melihat fajar menyingsing, tidak lama kemudian matahari pun terbit dari arah timur, dan binatang-binatang saling bersahutan satu sama lain. Lihatlah embun pagi menyentak naik, dan semangat baru meliputi alam di sekitarmu. Kita seakan-akan puas meskipun tidak minum. Kita seakan-akan kenyang meskipun tidak makan.
Bahkan ketika hempasan ombak ke tepi pantai yang diiringi oleh angin lautan yang nyaman, seakan-akan memandikan jiwa kita sendiri. Jika hari mulai malam, kita bisa melihat bintang-bintang yang berserakan di halaman langit. Bintang tersebut berkelap-kelip, seakan-akan orang tersenyum kepada kita.
Melihat itu semua, kita mendapat kesan kepada jiwa kita sendiri. Seakan-akan kita telah menjadi ahli waris dari alam ini. Kita pun jatuh cinta kepadanya. Kita sendiri disebabkan diri itu mencintai alam ini. kita terharu oleh alam ini yang sangat mempesona, dari situlah muncullah kata yang benar-benar keluar dari hati kita sendiri yaitu Allah.
Suatu keindahan alam yang tidak akan ada habisnya. Kita bersyukur dapat mengenal dan merasakan keindahan alam. Kita merasakan bahwa diri kita adalah bagian dari alam tersebut. Bertambah terang pelita hati kita, bertambah terang pula mata kita melihat alam. Tidak ada ucapan yang terasa dalam hati kita selain satu kata yakni Allah.
Itulah upaya kita mencari Tuhan. Itulah intisari kehidupan seniman.
Editor: Sri/Nabhan