Oleh: Afriansyah Muhammad*
Dan Brown tanpa Robert Langdon, tak ubahnya sayur tanpa garam, hambar tak berasa. Itu reaksi awal ketika membaca sampul belakang buku ini. Sama sekali tidak disebutkan nama Robert Langdon, seorang profesor simbologi agama yang “melegenda” itu. Profesor Langdon adalah ruh sekaligus “pengendali” alur cerita. Tapi pasti selalu ada kejutan dalam setiap karya Dan Brown, atas keyakinan itu penulis tetap melanjutkan rencana untuk membaca buku ini, Deception Point.
Deception Point
Novel Deception Point memiliki latar belakang persaingan menuju kursi kekuasaan presiden Amerika Serikat antara calon petahana Zachary Herney melawan Senator Sedgewick Sexton. Melewati perjalanan kampanye penuh taktik & intrik licik politik yang melibatkan manipulasi temuan data sains.
Manipulasi tersebut berupa meteorit palsu, lembaga antariksa pelat merah AS, NASA, serta adu kekuatan dan kekuasaan di antara komunitas intelijen AS. Tak jauh-jauh dari konspirasi temuan yang diklaim “menggemparkan” oleh NASA.
Persaingan politik memperebutkan kekuasaan AS antara kedua calon ini tidak semata perebutan suara konstituen. Lebih dari itu, turut serta melibatkan NASA yang oleh sebagian besar warga AS dan masyarakat dunia, dianggap gagal menjalankan misi-misinya. Bahkan telah menghamburkan miliaran dollar tiap tahunnya. Pesaingnya, Senator Sedgewick Sexton menggunakan masalah kegagalan NASA sebagai senjata kampanyenya untuk menyerang calon petahana.
Dalam rentang waktu 2 pekan terakhir, Zachary Herney “menghilang” dari publik AS yang artinya juga “menghilang” dari kampanyenya. Menangkap peluang ini, Sang Senator “menggorengnya” demi perolehan dukungan suara yang nyatanya semakin melesat meninggalkan Sang Petahana yang “menghilang”. Tentu masih menggunakan masalah NASA sebagai amunisi utamanya.
Politisasi NASA
Namun tanpa diduga oleh kebanyakan warga AS dan oleh Sang Senator juga tentunya, Sang Petahana dengan kekuasaannya menggunakan NASA sebagai pion permainan politiknya. Ia sedang mengerahkan NASA dalam penyelidikan meteorit. Diduga bagian dari pecahan Jungersol Fall yang jatuh pada 1716 di dataran Es Milne di area lingkar kutub utara.
Pengamatan yang dilakukan selama hampir 2 pekan menghasilkan laporan bahwa dalam meteorit sebarat 8 ton tersebut ditemukan fosil sejenis serangga raksasa. Diduga fosil tersebut merupakan “bukti” keberadaan kehidupan lain di luar Bumi.
Salah satu siasat Sang Petahana adalah merekrut empat ilmuwan sipil untuk memperkuat legitimasi keabsahan dan kevalidan temuannya. Ahli paleontologi, Wailee Ming; ahli astrofisika, Corky Marlinson; ahli glasial, Norah Manger; serta ahli biologi kelautan cum ilmuwan selebritas, Michael Tolland terlibat.
Dan inilah bagian tercerdik atau bisa juga disebut bagian terlicik. Putri pesaingnya, Rachel Sexton yang bekerja sebagai analisis data intelijen di lembaga NRO (National Reconnaissance Office) yang menyediakan informasi intelijen untuk Gedung Putih, turut serta direkrut untuk mengonfirmasi sekaligus menyampaikan temuan fenomenal tersebut kepada staf Gedung Putih. Secara politis, partisipasi Rachel Sexton ini seakan mengumumkan dukungannya bagi lawan politik ayahnya.
Dalam perkembangan penelitian, ditemukan keanehan pasca pengangkatan meteorit tersebut. Berawal dari ditemukannya dinoflagelata bioluminescent (plankton bersel tunggal yang mampu memancarkan cahayanya sendiri, efek dari reaksi kimia dalam tubuhnya akibat adaptasinya dengan lingkungan sekitar) dari filum Pyrrophyta yang memancarkan warna hijau.
Organisme tersebut hanya mampu hidup di air laut, yang artinya di sekitar meteorit yang tertanam di dalam es, mengandung air laut. Perjalanan pengungkapan kebenaran meteorit ini memakan korban tak terduga. Penemu pertama organisme tersebut di area pengangkatan meteorit, Wailee Ming, tewas tenggelam karena ulah sepasukan khusus Delta Force yang menggunakan mikrobot berbentuk nyamuk. Disusul Norah Mangor yang tewas di dekat kereta luncurnya ketika hendak meruntuhkan asumsi bahwa meterorit itu “disisipkan dari bawah dataran es”.
Sains dalam Intrik Politik
Perjalanan selanjutnya terus memakan korban yang bahkan tak tahu apa-apa mengenai skandal ini. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga rahasia yang disembunyikan oleh the invisible hands, tidak lain mengenai keaslian meteorit. Meteorit yang digadang-gadang akan menjadi aset berharga NASA untuk mengembalikan nama baiknya, sekaligus mendongkrak perolehan suara dan dukungan bagi Sang Petahana, nyaris berubah menjadi senjata makan tuan.
Hal ini terjadi ketika banyak bukti dari pengamatan, analisis, dan riset sederhana di laboratorium “apa adanya” milik Michael Tolland di kapal kerjanya, membuktikan bahwa meteorit itu hanyalah batu fosil dari organisme laut dalam. Fosil organisme berupa serangga purba berusia 190 juta tahun bernama Bathynomous giganteus, sejenis kutu raksasa yang bisa berenang. Meteorit itu adalah “buatan” dan dengan sengaja “disisipkan”.
Kombinasi sains mencakup glasiologi, astrofisika, paleontologi, biologi kelautan, taksonomi, petrologi, menjadi bumbu penyedap dalam lingkaran penuh intrik dan taktik licik politik. Benar-benar diramu menjadi satu cerita utuh yang membawa pembaca seolah menjadi bagian dari cerita dan hanyut terbawa arusnya. Pembaca ikut berpacu untuk mengikuti setiap alur cerita yang dibangun dengan karakteristik penokohan yang kuat. Tentu disertai banyak sajian fakta menarik hasil riset mendalam penulisnya.
Alat-alat militer, data-data sains yang ilmiah, teknologi yang dikembangkan NASA beserta beberapa misi ekspedisi yang berhasil dan gagal, serta berbagai tekanan untuk privatisasi NASA, usaha agar bisnis perjalanan ruang angkasa tidak hanya dimonopoli oleh NASA. Melainkan juga bisa bisa dinikmati oleh perusahaan antariksa milik pengusaha swasta.
Sains masih tetap digunakan sebagai alat politik elektoral yang penuh dengan intrik dan taktik licik yang berorientasi pada kepentingan dan kekuasaan. Pada dasarnya, sains tidak pernah bebas nilai dan meski melalui proses yang kerap tidak mulus. Ia akan tetap menampakkan kebenaran objektifnya.
Nilai yang yang selalu dikandungnya, meskipun seringkali ditutup-tutupi demi hasrat politik yang dibungkus dengan dalih “demi bangsa dan negara”, yaitu nilai kebenaran ilmiah, suatu saat akan tetap nampak ke permukaan. Dan Brown meramu sains tidak hanya menjadi bumbu pelengkap narasinya, tapi juga sebagai sebagai salah satu bahan baku utama.
Namun dalam kesempatan kali ini Dan Brown “membiarkan” sains dijadikan pion politik Sang Petahana, Zachary Herney untuk menghuni Gedung Putih dalam masa jabatan keduanya sebagai POTUS, President of The United States. Semua itu dilakukan “demi bangsa dan negara”.
***
Jika ada genre film science fiction, maka novel Deception Point ini bisa penulis kategorikan sebagai science fiction. Novel ini menjadi bukti, Dan Brown tanpa Robert Langdon tetap mampu menyajikan alur cerita tak terduga dengan fakta sains yang menakjubkan.
Mungkin sains ini memang bukan menjadi spesialisasi dari Robert Langdon yang merupakan ahli simbologi agama. Dengan ini pertanyaan dan keraguan penulis akan ketidakhadiran Profesor Robert Langdon dalam karya Dan Brown terjawab dengan tuntas dan memuaskan. Selamat membaca dan nikmati sensasi petualangannya!
*) Kader IMM Cabang Kota Surakarta. Tim Djazman Research Institute.
Editor: Nabhan
Identitas Buku
Judul buku : Deception Point
Jenis buku : fiksi (novel)
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun terbit : Agustus 2017 (Certakan Keenam)
Jumlah hal. : 700 halaman