Feature

Dinamika Transisi Politik Umat Islam di Mesir

4 Mins read

Masa transisi sangatlah kritis, sebab tidak ada jaminan bahwa proses transisi akan selalu menghasilkan rezim demokratis. Pergolakan-pergolakan internal yang disebabkan faktor-faktor ekonomi, budaya dan politik berpeluang menjadi ketidakpuasan massal yang mengancam kohesi sosial masyarakat. Begitu pula, sikap-sikap politik otoriter akan kembali lagi berkuasa bilamana kohesi rezim transisi lemah atau tidak kredibel secara politik sehingga mendorong kekuatan-kekuatan pro-rezim lama yang otoriter bangkit kembali (Amri 2015, 43).

Pergolakan Politik Mesir 2011

Mesir pada dasarnya merupakan negara yang menerapkan sistem pemerintahan demokratis terutama di masa kepemimpinan Hosni Mubarak. Namun, dalam prakteknya pemerintahan tersebut gagal menerapkan kebijakan-kebijakan demokratis dengan cenderung menggunakan pendekatan politik otoriter. Praktek pemenjaraan lawan politik, penahanan tanpa proses peradilan, eksploitasi ekonomi atas kaum minoritas yang tidak etis, serta berbagai pelanggaran lainnya terhadap hak asasi manusia terus berlangsung selama pemerintahan rezim tersebut. Semua hal tersebut dilakukan demi kepentingan rezim mempertahankan posisi mereka terhadap tekanan tuntutan kebebasan politik rakyatnya (Amri 2015, 43)

Akibat otorisasi pemerintahan tersebut, budaya revolusi Mesir kembali terulang pada tahun 2011 dengan dituntutnya Presiden Hosni Mubarak untuk segera mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya di negara tersebut. Rentan waktu yang cukup lama setelah revolusi yang terakhir kali terjadi, akhirnya rakyat bersatu dan kembali berani bangkit melawan pemerintah. Revolusi ini merupakan revolusi terbesar sepanjang catatan sejarah negara tersebut yang dikenal dengan Revolusi 25 Januari (Amri 2015, 51-52).

Berlanjut pada tanggal 10 Februari 2011, Mubarak menyerahkan semua kekuasaan presiden kepada Wakil Presidennya bernama Omar Suleiman. Namun segera setelah itu ia mengumumkan bahwa ia akan tetap sebagai presiden sampai akhir masa jabatannya. Namun, protes berlanjut terus pada hari berikutnya, dan Sulaiman cepat mengumumkan bahwa Mubarak memilih mengundurkan diri dari kursi kepresidenan dan mentransfer kekuasaan kepada Dewan Agung Angkatan Bersenjata Mesir. Militer segera membubarkan Parlemen Mesir, menunda Konstitusi Mesir, dan berjanji untuk mencabut “hukum darurat” yang telah berusia tiga puluh tahun.

Baca Juga  Tiga Guyonan Orang Muhammadiyah untuk NU yang Nggak Lucu

***

Essam Sharaf dari tokoh sipil diangkat sebagai Perdana Menteri Mesir pada tanggal 4 Maret 2011 sampai adanya persetujuan luas dari kalangan orang Mesir yang melakukan protes di alun-alun Tahrir. Protes terus berlangsung sampai akhir 2011. Bagaimanapun, dalam menanggapi Sharaf dan Dewan Agung Angkatan Bersenjata, merasakan kelesuan dalam melembagakan reformasi sehingga protes di alun-alun Tahrir pun dilakukan kembali, bahkan setelah tiga putaran pemilu yang dimenangkan oleh Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap Ikhwanul Muslimin) dan partai kaum Salafi bernama an-Nur. Tentu saja jalan terjal dan berduri memenuhi prosesi menuju perubahan di negeri piramida ini (Sahrasad 2020, 45).

Para pemuda yang memprakarsai protes jalanan sekuler menyadari kesenjangan besar yang ada antara keberhasilan mereka dalam mengumpulkan massa dan mendirikan partai-partai politik, namun kandas dalam soal jaringan dan basis massa secara nasional untuk mengimbangi Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada tahun 1928 oleh Hassan Al-Banna. Ikhwanul Muslimin telah dan terus membangun dan mempertahankan akar mendalam di masyarakat, meskipun dalam jangka waktu lama mengalami tekanan.

Para pemimpin Ikhwanul Muslimin telah memutuskan untuk memperebutkan kurang lebih 50 persen dari kursi parlemen saat pemilihan umum diadakan, dan Ikhwanul terbukti menang. Maka kini ujian dari sistem demokrasi yang dibangun kaum revolusioner Mesir adalah mendorong sikap tunduk militer kepada otoritas sipil yang terpilih. Para politisi dari semua lapisan menghadapi perjuangan panjang di depan untuk mencapai tujuan tersebut. Para pemuda revolusioner menemukan bahwa menggulingkan para diktator adalah lebih mungkin dan menjadi bagian mudah dari sebuah perjuangan panjang untuk menegakkan demokrasi substansial (Sahrasad 2020, 45-46).

Mesir dalam Masa Transisi Reformasi Demokrasi

Kepercayaan terhadap sebuah institusi memiliki makna yang strategis bagi keberlangsungan dan kelancaran proses transisi. Dalam kasus Mesir, institusi yang dipercaya untuk memimpin Mesir pada masa transisi tersebut adalah Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir (Supreme Council of the Armed Forces – SCAF ). Angkatan Bersenjata (AB) Mesir memang sudah memiliki reputasi yang lebih baik di mata publik dari pada lembaga kepolisian (keamanan). AB Mesir dipersepsikan sebagai lembaga profesional yang mengedepankan keselamatan negara.

Baca Juga  Antara 11 dan 23 Rakaat Tarawih, Manakah yang Sesuai Contoh Nabi?

Penunjukan SCAF sebagai penguasa sementara (carateker) segera mendapatkan penerimaan yang luas dari rakyat. Fenomena ini tidak aneh jika memperhatikan latar belakang reputasi SCAF. Terlebih lagi, reputasi dimaksud tetap dijaga oleh Angkatan Bersenjata (AB) Mesir dengan mengambil posisi dan sikap yang sangat persuasif dan simpatik terhadap para demosntran selama gerakan revolusi 25 Januari 2011 berlangsung (Attahara 2017, 162-163).

Saat itu Mesir berada dalam kendali pemerintahan konstitusi sementara yang dipegang oleh Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, dan saat ini juga dalam masa transisi kepemimpinan, secara umum proses transisi belum berjalan secara transparan dan inklusif. Tidak ada yang tahu bagaimana sebuah undang-undang dibuat dan juga tidak ada dialog yang berarti didalam proses transisi undang-undang dan masalah-masalah lainnya.

***

Namun demikian memang sudah ada beberapa perubahan positif seperti: fasilitasi pembentukan partai politik; fasilitasi untuk calon presiden; para pemilih dapat memberikan suara dengan hanya menunjukkan KTP, pembatasan masa jabatan presiden; pembatasan campur tangan pemerintah dalam serikat pekerja; pembatasan campur tangan polisi dalam proses pemilu dan memastikan dilakukannya pengawasan terhadap hakim.

Pada tanggal 16-17 Juni 2012 adanya Pemilu yang mempertemukan Mursi dari Partai Kebebasan dan Keadilan dan Syafiq dari Partai Nasional Demokrat yang telah dibubarkan karena murapakan partai tunggangan Mubarak. Pemilu dilakukan dalam dua putaran dengan hasil Mursi dari Partai Kebebasan dan Keadilan yang merupakan partai Ikhwanul Muslimin dengan 52,74% dan Syafiq sebesar 47,26% (Attahara 2017, 163).

Dengan demikian, masa transisi politik di negara dengan julukan “Negeri Piramida” ini pernah memiliki masa transisi yang benar-benar demokratis yakni dengan tetap melaksanakan pemilu sesuai dengan kaidah-kaidah konstitusi negara yang berlaku di negara tersebut walaupun tetap ada campur tangan dari militer. Peralihan kekuasaan pada kali ini memang tidak melalui mekanisme kudeta, sebagaimana yang pernah terjadi di Mesir pada revolusi-revolusi Mesir era sebelumya.

Baca Juga  Indonesia Terancam Radikalisme: Fakta atau Mitos?

Referensi

Amri, Ulil. 2015. Masa Depan Mesir Pasca Pemerintahan Hosni Mubarak. Skripsi, Universitas Hasanuddin. https://core.ac.uk/download/pdf/77621106.pdf.

Attahara, Haura. 2017. “Demokratisasi di Negara Muslim: Transisi Menuju Demokrasi pada Masa Reformasi 1998 di Indonesia dan Gejolak Revolusi Mesir 2011.” Jurnal Politikom Indonesiana 2 (2). doi:https://doi.org/10.35706/jpi.v2i2.974.

Sahrasad, Herdi. 2020. “Pergolakan Mesir: Dari Revolusi ke Transisi Demokrasi.” Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi dan Perubahan Sosial 3: 42–55. doi:https://doi.org/10.33258/konfrontasi2.v3i2.62.

Editor: Soleh

Johan Septian Putra
41 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds