Dampak yang diakibatkan dari wabah Covid-19 sangat luas. Hampir semua lini kehidupan, terutama di Indonesia, terganggu oleh pandemi ini. Salah satu sektor yang terkena imbas dari mewabahnya virus adalah sektor pendidikan. Terhitung sejak 16 Maret 2020 hampir semua daerah di Indonesia meliburkan sekolah dan perguruan tinggi.
Di balik mewabahnya virus, pendidikan kita saat ini telah membuktikan teori disrupsi. Salah satunya yaitu digitalisasi pendidikan dengan mengalihkan sementara proses pembelajaran via daring. Tentu pembelajaran ini tidak memiliki perencanaan yang matang. Karena fakta menunjukan bahwa metode ini minim akan transfer ilmu dan cenderung membebankan tugas kepada para mahasiswa. Sehingga ada celetukan seperti berikut: “kuliah online sejatinya adalah tugas online.”
Namun terlepas dari efektif atau tidaknya pembelajaran, metode ini bisa dijadikan bahan kajian untuk pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan supaya bisa mulai merumuskan kebijakan yang mengatur dan memaksimalkan pemanfaatan teknologi digital dalam dunia pendidikan di era disrupsi ini.
Disrupsi Pendidikan
Secara singkatnya, disrupsi adalah perubahan cara atau pola kehidupan manusia dalam menyelesaikan masalah serta menggantikan sistem yang lama dengan sistem yang belum ada presedennya. Berbicara era disrupsi tidak akan lepas dari kata revolusi industry 4.0. Revolusi keempat ini adalah perubahan di bidang industri akibat pesatnya perkembangan teknologi, seperti artificial intelligence, robotik, virtual reality, internet of things, dan lain-lain.
Pada tahun 2014, Clayton Christensen memprediksikan bahwa “50% dari seluruh universitas di AS akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan.” Penyebabnya karena universitas-universitas itu terdisrupsi oleh beragam terobosan dan inovasi seperti online learning dan MOOCs (Massive Online Open Courses).
Hal tersebut juga sudah mulai terjadi di Indonesia dengan ditandai oleh perubahan pola belajar yang beralih kepada pencarian informasi melalui daring. Juga telah banyak pemanfaatan teknologi seperti smarthphone yang menunjang pembelajaran digital. Sehingga para pelajar dan akademisi tidak perlu repot-repot membawa banyak buku. Bayangkan saja tidak ada buku yang tahan air, buku yang tintanya tidak akan luntur, dan buku yang bisa menampilkan informasi yang kita cari dengan mudah hanya dengan mengetik kata kunci kecuali buku-buku yang ada dalam gawai kita.
Tiga Tantangan
Menurut Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno, ada tiga tantangan yang harus dihadapi ketika berbicara pendidikan di era disrupsi ini. Pertama, kurikulum. Kemajuan atau kemunduran pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh kurikulum. “Harus dipikirkan caranya membentuk kurikulum yang bisa beradaptasi, ini mendisrupsi kebiasaan yang ada selama ini. Mungkin lebih baik secara bertahap sehingga polanya mengikuti perkembangan zaman,” ujar Totok Suprayitno dalam Simposium Internasional tentang pendidikan di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Kedua, pembelajaran. Kita tahu kebiasaan adalah hal yang sulit diubah termasuk kebiasaan mengajar yang dilakukan oleh tenaga pengajar. Kita ambil beberapa kasus terkait masih kurangnya keahlian dalam mendidik dari tenaga pengajar yang ada di Indonesia. Tidak jarang ada beberapa dosen misalnya yang dia memahami ilmu tetapi tidak memahami teknik yang efektif dalam menyampaikan ilmu. “Jadi, tantangannya adalah perubahan paradigma mengajar. Hal yang gampang diajarkan biasanya akan gampang juga diotomasi. Biasanya guru mengajarkan yang mudah, itulah yang gampang diganti oleh mesin. Bagaimana caranya supaya tidak gampang diganti? Yang tidak dimiliki mesin adalah hati,” jelasnya.
Ketiga, sistem penilaian. “Asesmen harus melihat diri kita apa adanya untuk mengetahui kemajuan hasil pembelajaran anak-anak dan bisa memperbaiki diri sehingga belajarnya lebih baik,” pungkasnya.
Lantas apa yang terjadi jika semua kegiatan akademik dipindahkan melalui daring dan diterapkan kebijakan pelajar atau mahasiswa diwajibkan untuk berorganisasi?
Pembelajaran via Daring
Secara umum, masalah yang timbul jika kebijakan pembelajaran via daring ini diberlakukan akan tidak jauh berbeda dengan masalah yang banyak terjadi dengan pembelajaran home schooling. Jika kita berselancar di situs pencarian tentang dampak negatif dari sistem pembelajaran home schooling ,maka kebanyakan situs akan memberi jawaban bahwa home schooling berakibat buruk terhadap jiwa sosial anak. Karena anak akan kesulitan memiliki teman baru, kurang pergaulan (kuper), kesulitan bersosialisasi, dan masih banyak dampak buruk yang terjadi dari sistem pembelajaran home schooling.
Maka dari itu, untuk mengatasi dampak negatif dari digitalisasi pendidikan ini adalah salah satunya mewajibkan organisasi dalam kurikulum pembelajaran. Karena kita tahu bahwa aktif di organisasi akan meningkatkan kemampuan sosial kita, menumbuhkan jiwa kepemimpinan kita, dan tentu saja meningkatkan kemampuan soft skill yang sangat berguna sehingga kita bisa bersaing di dunia kerja nanti.
Digitalisasi ini tentu saja dampak positif bagi dunia pendidikan. Anggap saja kita menggunakan teknologi virtual reality dalam proses pembelajaran tentu kita bisa lebih fleksibel dalam menentukan jadwal kegiatan kita sehari-hari. Karena kita tidak perlu repot-repot datang ke sekolah untuk menimba ilmu. Kita juga bisa lebih bebas untuk mengekspresikan diri karena setiap orang tentu memiliki ketertarikan yang berbeda-beda sehingga banyak inovasi-inovasi yang tercipta.
Editor: Arif