Inspiring

Tiga Pendekar Kemanusiaan: Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii

3 Mins read

Hadirnya tiga pendekar kemanusiaan pada tahun 1980-an menandai masa periodisasi kegairahan menyebarkan pemikiran Islam progresif di Indonesia. Kebangkitan pemikiran Islam ini ditandai arus globalisasi, populisme Islam, serta modernitas Sains yang senantiasa bergerak dinamis. Kecenderungan lahirnya pemahaman Islam tekstual-kontekstual yang semakin beragam ini juga memunculkan dikotomi terhadap esensi Islam semakin mengalami absurditas secara eksistensial. Fenomena sosial yang berkembang ini memunculkan tipologi gerakan Islamisme yang berkembang di Indonesia; Islam eksklusif, Islam inklusif, dan Islam pluralis.

Pada 1980-an, kita mengenal tiga pendekar kemanusiaan di Indonesia yang senantiasa menyebarkan Islam mazhab cinta lewat tulisan. Mereka adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii). Dari berbagai literatur Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii tulis, penafsiran atas esensi Islam cenderung sama dalam mengartikan Islam sebagai agama kasih sayang yang menyebarkan nilai kemanusiaan.

Pemahaman ini adalah ajaran pokok yang terkandung dalam Islam sebagai agama cinta-kasih, toleran, dan saling menyayangi. Mereka merupakan tokoh bangsa sekaligus pemikir Islam kontemporer yang tekun membela kaum minoritas yang memperoleh diskriminasi dalam persoalan agama, etnis, sosial-kebudayaan.

***

Kita dapat membuktikan dan menyebut mereka sebagai tiga pendekar kemanusiaan yang selalu menyebarkan Islam-ramah. Seperti saat Gus Dur menuangkan pemikiran Islam-pluralis dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017). Tulisan-tulisan Gus Dur merupakan kritik terhadap kebijakan pemerintah, ormas, birokrat, politisi, kiai, penegak hukum yang—barangkali terindikasi melanggar nilai-nilai kemanusiaan-keagamaan.

Tulisan yang pernah dimuat di kolom majalah Tempo itu tampaknya masih relevan terhadap situasi sosial keagamaan yang—hingga kini selalu bersitegang. Sebagai pendekar kemanusiaan, Gus Dur selalu menyebar kritik sekaligus nasehat jika dirasa kebijakan pemerintah tidak melahirkan kemaslahatan sosial sesuai anjuran agama. Jika Gus Dur selalu mempersoalkan kenegaraan, kebudayaan dan keislaman, hal itu mencerminkan bukti ketekunannya dalam menyebarkan Islam-ramah yang dapat merangkul semua golongan.

Baca Juga  Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

Seperti ketika Gus Dur melakukan aksi damai di beberapa daerah yang terjadi konflik agama yang terjadi di Poso, Ambon, Lombok, Papua, yang dipicu isu SARA, antar-agama, atau antar umat Islam. Contoh yang paling nyata adalah perbedaan pemahaman seperti kasus Ahmadiyah, status etnis kaum Tionghoa, dan aliran kepercayaan.

Pada masa Gus Dur belum menjadi presiden, Gus Dur sangat rajin menuangkan pemikirannya lewat tulisan. Meskipun Gus Dur berhasil menjadi Presiden RI ke-4, ia tetap rutin mengunjungi daerah-daerah yang rawan konflik untuk mempererat persaudaraan sebagai bentuk menyebarkan cinta kasih antar insan manusia.

***

Nasehat-nasehat serupa juga pernah dilakukan oleh Cak Nur dalam pengajian-pengajian dan forum-forum ilmiah di perguruan tinggi berbasis keislaman maupun negeri. Dalam buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1989), Cak Nur mengajak umat muslim berdialog tentang modernitas dan tantangan yang akan dihadapi di masa depan.

Modernisasi yang bergerak dinamis perlu diimbangi dengan pemikirin sesuai konteks (ijtihad) dalam menghadapi problem sosial yang akan terjadi, termasuk perkembangan globalisasi yang dapat berpengaruh terhadap esensi Islam. Sebab, Islam berkembang di Indonesia dapat menyatu dengan sosial-kebudayaan di berbagai wilayah baik di perkotaan maupun pedesaan. Hal ini menandakan, bahwa keberagamaan Islam kultural merupakan cerminan masyarakat Indonesia yang inklusif.

Cak Nur sebagai tokoh neo-modernisme dan salah satu dari tiga pendekar kemanusiaan mengajak kita untuk memikirkan persoalan Islam yang lebih terbuka. Belajar Islam juga belajar bagaimana menerima pendapat serta kritik sesama umat, bahkan dari kelompok atau golongan yang lain, sehingga menempatkan Cak Nur sebagai pendekar kemanusiaan. Sejak Cak Nur mengenalkan gagasan sekularisasi di Indonesia, banyak publik terutama dari kalangan Islam eksklusif  yang langsung menolak tanpa meminta penjelasan, menelaah, dan mendiskusikan secara komprehensif.

Baca Juga  Hijrah Intelektual Buya Syafii: Puritanisme ke Progresif

***

Adapun persinggungan dari literatur klasik atau—bahkan kitab suci pun juga menjadi bahan dialog untuk menemukan sebuah ijtihad baru. Dialog kritis ini pernah disampaikan Buya Syafii tatkala mencari konsep ketatanegaraan atau memahami etika politik Islam. Buya Syafii pernah menulis buku berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009) yang menjelaskan konstruksi sosial-budaya dalam peradaban Islam yang berkembang, terutama di Indonesia. Sebagai tokoh yang awalnya pemikir tekstualis, Buya menemukan sebuah jawaban atas kegelisahannya ketika belajar Islam bersama Fazlur Rahman ketika menimba ilmu di Chicago.

Diskusi terbuka bersama Fazlur Rahman ini melahirkan corak baru bagi pemikiran progresif yang dikembangkan Buya Syafi’i ketika usai menimba ilmu di Barat. Sebagai pendekar kemanusiaan, ia menemukan Islam bukan sebuah ideologi yang memuat sistem kekhalifahan, tapi lebih pada esensi Islam yang memuat cinta kasih dan menumbuhkan rasa kemanusiaan.

Refleksi kritis Buya Syafi’i yang disampaikan di buku ini memuat pandangan-pandangan yang mencerminkan sikap Buya Syafi’i yang egaliter, non-diskriminasi, toleran, dan inklusif. Paradigma ini Buya temukan setelah menelaah literatur kitab suci serta berbagai literatur sejarah, budaya, agama, politik, sastra, ekonomi, dan lain-lain.     

***          

Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii telah membuktikan bahwa Islam berkembang bukan melalui jalur kekerasan, melainkan Islam berkembang melalui jalan cinta kasih. Warisan pemikir tiga pendekar ini harus kita sebarkan. Sebab, gagasan Islam-pluralis inilah yang dapat menciptakan kemaslahatan dan perdamaian bagi umat Islam di masa mendatang.

Editor: Arif

Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *