Wabah Covid-19 yang berskala besar bahkan mendunia (pandemi), bukanlah yang pertama yang melanda Nusantara. Lebih satu abad lalu, wabah akbar Flu Spanyol menerjang dunia, hampir bertepatan dengan berakhirnya Perang Dunia Pertama. Ada dokter Abdul Rivai yang berperan penting di Nusantara pada saat itu.
Amukan Flu Spanyol (1918-1920) menelan korban jutaan jiwa dan menjalar jauh hingga ke Hindia Belanda. Sejumlah literatur menyebut 21 juta hingga kisaran 50-100 juta orang tewas akibat Flu Spanyol di seluruh dunia, dan sekitar 1,5 juta jiwa di berbagai daerah di Hindia Belanda. Liputan surat kabat dan juga sejumlah karya akademik berupa buku dan artikel jurnal merekam dahsyat dan mencekamnya wabah Flu Spanyol di Nusantara.
Dokter Abdul Rivai
Namun selain mencatat besaran dan kengerian wabah Flu Spanyol di Hindia Belanda, literatur-literatur tersebut juga merekam kelambanan daya tanggap pemerintah kolonial dan peran penting kaum cendekia dalam upaya menanggulangi wabah tersebut. Di antara kaum cendekia bumiputera kala itu, peran dokter Abdul Rivai, sangat menonjol.
Rivai, sosok luar biasa dan berjasa sangat besar bagi lahir dan tumbuhnya nasionalisme Indonesia. Namun dirinya tidak banyak dikenal bahkan di kalangan medis di masa kini, lantang mengkritik tindakan lambat pemerintah. Dibandingkan dokter-dokter pendahulu seperti Dokter Wahidin Sudirohusuod, Soetomo, Dokter Tjipto Mangunkusomo, nama Dokter Abdul Rivai tidak banyak lagi disebut.
Berkat suara lugas Rivai dan kawan-kawan di Volksraad (parlemen semu Hindia Belanda) akhirnya Influenza Ordonantie—protokol resmi untuk menanggulangi epidemi influenza di masa depan—diresmikan pada Oktober 1920 setelah melalui debat sengit di parlemen dan pemerintahan (Ravando Lie, Seabad Flu Spanyol, Historia, 2018). Sebuah kemajuan penting meskipun jelas telat mengantisipasi wabah tersebut.
Wabah dan kaum cendekia memang memiliki hubungan erat. Di masa modern setelah penemuan mikroskop yang memungkinkan kaum cendekia seperti ilmuwan biomedis-kesehatan meneliti dan mengembangkan sains mengenai aneka kuman dan penyakit-penyakit infeksi. Kalangan ini seringkali menjadi “penabuh kentongan” ketika ancaman wabah datang. Ironisnya, sangat sering peringatan dari kaum tercerahkan ini diabaikan oleh para pengambil kebijakan.
Tentu tidak mengherankan bila dokter Rivai menjadi sosok paling menonjol ketika wabah Flu Spanyol menyerang Hindia Belanda. Abdul Rivai jelas seorang perintis dan yang pertama dalam banyak tonggak sejarah ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu kedokteran-kesehatan di Nusantara.
Ahli sejarah kedokteran, Professor Hans Pols dari Universitas Sydney (Australia), dalam bukunya yang mengharukan Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan para Dokter Indonesia (Kompas, 2019) menempatkan sosok dokter Rivai di bagian awal. Professor Pols tidak memiliki pilihan lebih baik. Karena sosok Rivai seperti sebuah gerbang untuk memasuki lorong waktu demi mengenali sosok-sosok yang melahirkan nasionalisme Indonesia dan konteks zaman itu.
Flu Spanyol
Rivai memang merupakan lulusan pertama Dokter Djawa (nama STOVIA dari tahun 1851-1902). Ia pula yang pertama menerima pendidikan medis lanjutan di Belanda dan lalu meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Universitas Ghent, Belgia.
Rivai adalah pemuda bercita-cita tinggi dan pekerja keras. Namun ia sangat kecewa bahwa kualifikasi medis yang diraihnya dari Sekolah Dokter Djawa di Batavia hanya mengantar dirnya dalam posisi rendah dan penuh diskriminasi dalam sistem kesehatan kolonial. Karena itu ia ingin membuktikan pada sistem rasis-diskriminatif tersebut. Bahwa seorang berkulit cokelat pun mampu meraih gelar medis bahkan doktoral di “jantung ilmu pengetahuan dunia” yakni di universitas di Eropa.
Ketika berada di Belanda saat itu, ia juga menjadi mentor kaum nasionalis dan pelajar lebih muda seperti Mohamad Hatta dan Sutan Syahrir. Ia membuktikan diri sanggup menyelesaikan studi medis dan bahkan doktoraln
ya yang membuatnya secara hukum diakui setara orang kulit putih sekembalinya dari Eropa. Namun apa boleh buat, pengakuan hukum di atas kertas tidak dengan sendirinya membuat Rivai dapat sepenuhnya meraih perlakuan setara dari orang-orang kulit putih dalam kehidupan sehari-harinya di Hindia Belanda ketika itu.
Diskriminasi sistem kolonial membuat Rivai selalu tertarik pada bidang jurnalisme dan politik. Tak banyak lagi yang mengingat bahwa Rivai juga adalah perintis dunia jurnalisme di Nusantara. Ia merintis pendirian Bintang Hindia Belanda pada 1902, sebuah majalah bergambar untuk orang-orang bumiputera terpelajar.
Dalam periode hidup selanjutnya selain bekerja sebagai dokter ia kemudian masuk dalam bidang politik dan menjadi anggota Volksraad. Perannya sebagai ilmuwan, dokter, politikus sekaligus naluri sebagai wartawan yang membuatnya lantang mengingatkan pemerintah kolonial dan masyarakat kala itu mengenai ancaman wabah Flu Spanyol.
***
Abdul Rivai dan para sejawatnya yang memainkan peran “penabuh kentongan” terhadap bahaya Flu Spanyol. Tentu hal ini memiliki banyak kemiripan ketika sejak bulan Januari 2020 lalu sejumlah ilmuwan dan profesional kesehatan di Tanah Air juga mulai gencar mengingatkan pemerintah untuk serius mewaspadai virus korona baru. Di mana waktu itu menerjang Wuhan di China Tengah.
Seperti dokter Rivai dan kawan-kawan, peringatan para ilmuwan dan tenaga kesehatan masa kini juga tidak segera ditanggapi pemerintah. Ada waktu dua bulan terbuang dan kini kita harus menebusnya dengan banyak korban jiwa. Termasuk nyawa para profesional kesehatan, para dokter dan perawat serta tenaga kesehatan lainnya yang bekerja keras mengatasi Covid-19.
Betapa kita belum benar-benar belajar dari sejarah meskipun telah 112 tahun mengalami kebangkitan nasional.
Editor: Nabhan