Falsafah

Dua Tangga Pencapaian: Catatan Akhir Debat KH Mas Mansur dengan Dr Soetomo

5 Mins read

Diskusi tentang keberadaan Tuhan memang selalu menarik untuk diangkat sebagai wacana publik. Dalam konteks kehidupan akademik, diskusi Filsafat Ketuhanan (Teologi) selalu hangat dan menjadi semakin menarik ketika muncul pandangan-pandangan baru tentang bagaimana seharusnya memahami keberadaan Tuhan.

Para filosof terdahulu, baik dari kalangan Yunani Kuno maupun umat Islam di Abad Klasik (Pertengahan) seakan-akan sepakat, bahwa keberadaan Tuhan sebagai “Wujud Yang Pertama” atau segala sumber kehidupan. Dalam konteks perdebatan antara KH. Mas Mansur dan Dr. Sutomo pun penulis mendapati semacam kata sepakat antara keduanya. Oleh karena itu, berdasarkan perbandingan keyakinan antara dua tokoh tersebut, terdapat beberapa aspek yang menyerupai persamaan pandangan dan sekaligus beberapa aspek perbedaannya.

Maha Awal dan Akhir

Persamaan pandangan antara KH. Mas Mansur dengan Dr. Sutomo dalam hal menempatkan posisi Tuhan sebagai “Yang Pertama” (al-Awwal), yang menjadi sumber bagi keberadaan seluruh alam semesta. Persamaan berikutnya, Dr. Sutomo meyakini “Yang Pertama” itu sebagai “Yang Akhir” (al-Akhir) sebagai tujuan hidup. Hal ini pun setara dengan keyakinan KH. Mas Mansur.

Dalam khazanah teologi Islam—yang menurut hemat penulis tidak banyak yang mengkajinya secara mendalam—sebenarnya terdapat beberapa doktrin yang dapat mempertemukan pandangan teologis antara dr. Sutomo dan KH. Mas Mansur di atas. Taruhlah sebuah dalil yang menyatakan: “Dialah (Allah) Yang Pertama dan Yang Terakhir (Qs. al-Hadid: 3).  

Jika mencermati beberapa doktrin lain dikenal firman Tuhan seperti Surat Ali Imran ayat 55, al-Maidah ayat 48, 105, al-An’am ayat 60, 164, 108, Yunus ayat 4, 23, 46, 70, Hud ayat 4, al-‘Ankabut ayat 8, Luqman ayat 15, 23, az-Zumar ayat 7, dan ash-Shaffat ayat 68. beberapa ayat tersebut menyatakan bahwa Tuhan sebagai Wujud Yang Pertama (al-Awwal) merupakan tempat kembali (Marji’) sebagai tujuan akhir hidup. Firman-fiman Tuhan ini dapat membimbing untuk memahamkan persoalan teologis bahwa pada mulanya seluruh makhluk adalah milik-Nya. Dari milik-Nya kemudian akan kembali lagi kepada-Nya.

Pandangan teologis yang menyatukan antara KH. Mas Mansur dan Dr. Sutomo adalah bahwa keberadaan seluruh alam semesta beserta isinya, termasuk manusia di dalamnya, adalah berasal dari Tuhan sebagai “Wujud Yang Pertama”, kemudian berproses di dunia menuju kehidupan akhir untuk menuju ke Hadirat-Nya. Doktrin Islam sangat meyakini paradigma teologis yang demikian.

Baca Juga  Ketika Hasil Ijtihad Manusia Dianggap Sebagai Hukum Tuhan

Khazanah Tersembunyi

Akan tetapi, di balik dua paham teologi antara dua tokoh nasional di atas terdapat banyak sekali perbedaannya. Dr. Sutomo, sebelum dia memahami keberadaan Tuhan sebagai “Wujud Pertama” yang menjadi sumber dari segala-galanya, berawal dari pemikiran bebasnya yang menjadi ciri khas dalam permikiran filsafat. Dengan berpikir bebas, tanpa sekat-sekat dogma agama, dia berhasil menemukan pemahaman akan peran dan posisi Tuhan dalam dunia ini.

Melalui perenungan yang dalam (reflektif), dia berhasil menemukan prinsip kesatuan wujud antara Tuhan dan benda-benda (materi) sebagai manifestasi terakhir-Nya. Inilah paham Wihdah al-Wujud.

Bagi KH. Mas Mansur, kebebasan berpikirnya tidak bebas buta seperti keyakinan Dr. Sutomo. Kebebasan berpikir, menurut KH. Mas Mansur, terikat oleh ajaran-ajaran Tuhan yang disampaikan kepada Nabi-Nya, yakni Muhammad saw. Artinya, kebebasan berpikir KH. Mas Mansur dibatasi oleh doktrin-doktrin normatif Wahyu sebagaimana tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an.

Menurut keyakinan KH. Mas Mansur, berpikir mendalami keberadaan (hakekat) Tuhan justru dilarang, karena bisa menyesatkan. Selebihnya, menurut keyakinan KH. Mas Mansur, masalah-masalah terkait dengan keberadaan Tuhan adalah menjadi hak Tuhan sendiri. Manusia dan segenap makhluk ciptaan-Nya tidak memiliki otoritas untuk mengetahui-Nya.

Dalam hal ini, Tuhan seakan-akan menjadi “Khazanah Tersembunyi” karena terdapat jurang pembatas antara hakekat Pencipta dan Makhluk. Tuhan adalah Pencipta dan benda-benda di alam semesta ini, termasuk manusia, adalah Makhluk. Inilah batasan tegas dalam paham teologi KH. Mas Mansur.

Namun kemudian, penulis menganggap bahwa paham yang demikian justru menambah misterius bagi keberadaan Tuhan. Dengan pembatasan yang demikian, menurut penulis, menjadi argumentasi teologis untuk melarang manusia memikirkan hakekat keberadaan Tuhan. Akhirnya manusia tidak akan sampai memahami hekekat Tuhan itu.

Diibaratkan Tuhan itu seperti “khazanah tersembunyi” sebagaimana dinyatakan dalam sebuah Hadis Qudsy, “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu ‘an u’raf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’raf “ (Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itu, Aku lalu menciptakan makhluk agar Aku bisa diketahui).

Baca Juga  Arti Kebahagiaan Menurut Filosof

Misteri Firman Tuhan

Dr. Sutomo memahami Tuhan dalam posis sebagai “Wujud Pertama” dalam bentuk Materi sebagai penjelmaan terakhir dari Dzat Tuhan sendiri. Karakter pemikiran seperti ini jelas identik dengan pemikiran Filsafat Materialisme. Di sinilah KH. Mas Mansur tidak sepakat dengan pemikiran Dr. Sutomo. Tuhan, di mata KH. Mas Mansur bukan berupa Materi, tetapi Dzat (Esensi).

Secara harfiah, Dzat dipahami sebagai sesuatu yang jauh lebih tinggi tingkatannya dibanding Esensi (Hakekat). Akan tetapi, akal manusia tidak mungkin mencapai pengetahuan Dzat Tuhan, sehingga dalam konteks pemikiran filsafat hanya bisa dipahami sebagai Esensi. Selanjutnya penulis memahami Esensi Tuhan pada dasarnya adalah Ruh. Pengetahuan manusia pun tidak dapat mencapai Hakekat ini (Ruh).

Meskipun Ruh diyakini keberadaannya, tetapi hanya sedikit pengetahuan manusia tentangnya. Tuhan sendiri menyatakan bahwa pengetahuan tentang Ruh menjadi urusan pribadi-Nya.

Agak menarik untuk dikaji kembali, mengapa KH. Mas Mansur hanya meyakini bahwa Wujud Tuhan hanya sebatas Dzat (Esensi), sementara Dr. Sutomo meyakini bahwa Tuhan sudah menjelma yang terakhir kalinya dalam bentuk Materi (Benda). Berarti, sebelumnya, dia telah meyakini bahwa pada awal mulanya Tuhan adalah Dzat (Esensi) yang kemudian menjelma dalam Wujud Terakhir-Nya.

Dalam doktrin Islam, keberadaan Tuhan, di samping sebagai Wujud Pertama dan Terakhir, juga menjelma menjadi adz-Dzahir wa al-Bathin (Materi/Eksistensi dan Esensi). Dinyatakan dalam firman-Nya: “Dialah (Allah) Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Dzahir (nampak/materi) dan Yang Bathin (transenden/esensi)” (Qs. al-Hadid: 3). Firman Tuhan ini masih menjadi misteri yang belum terkuak.

Sebenarnya, apakah maksud Tuhan menyatakan diri sebagai Yang Awal dan Yang Akhir, lalu menyatakan diri sebagai Yang Dzhahir dan Yang Bathin? Sepanjang pengetahuan penulis selama mendalami Ilmu Tauhid, pemahaman tentang firman ini selalu ditafsirkan secara tekstual apa adanya.

Perbedaan Keyakinan Mas Mansur dan Soetomo

Di sini persoalan keberadaan Tuhan menjadi misteri. Seperti yang penulis katakan sebelumnya, seakan-akan debat tentang keberadaan Tuhan seperti debat kusir yang berputar-putar di seputar titik. Tetapi sesungguhnya tidak mampu mencapai titik tersebut. 

Kemudian, Dr. Sutomo memahami bahwa keberadaan manusia, yang termasuk bagian dari alam semesta, merupakan penjelmaan Terakhir dari Wujud Tuhan. Dia menempatkan posisi setara dengan alam atau orang lain, sehingga memicunya untuk berbuat baik terhadap sesama. Karena pada hakekatnya berbuat baik terhadap orang lain sama dengan berbuat baik untuk diri sendiri, juga untuk Tuhan. Dia memahami posisi dirinya dalam proses “menjadi Tuhan kembali” dengan cara mengamalkan sifat-sifat Ketuhanan.

Baca Juga  Dari Keraguan Mencapai Kepastian: Metode Filsafat Rene Descartes

Bagi KH. Mas Mansur, posisinya di alam semesta ini sebagai “Makhluk” yang diciptakan oleh Sang Khalik. Hal ini lain dengan Dr. Sutomo yang memposisikan diri sebagai bagian dari “Diri Tuhan”, namun dalam proses menjadi Diri-Nya.

Dengan memposisikan diri sebagai penjelmaan terakhir dari Wujud Tuhan, keyakinan Dr. Sutomo menjadi semakin unik. Hal ini persis seperti dalam beberapa kasus teologis dalam sejarah Islam di mana beberapa mistikus (sufistik) menerapkan paham Wihdah al-Wujud.

Beberapa di antara mistikus Islam menjadi makin ekstrem ketika kemudian mengklaim diri sendiri sebagai “Tuhan”. Sosok al-Hallaj mengaku dirinya sebagai Tuhan dengan mengatakan, “Ana al-Haq” (Akulah al-Haq (Kebenaran Sejati)—merupakan salah satu Nama dan Sifat Tuhan yang sempurna (asma al-khusna). Kemudian sejarah umat Islam di Indonesia juga mengenal sosok Syaikh Siti Jenar yang kurang lebih memiliki paham teologis yang sama dengan al-Hallaj. Beruntung Dr. Sutomo tidak menjadi ekstrim dengan paham teologisnya itu.

Kemudian sebagai konsekuensinya, keyakinan KH. Mas Mansur mensyaratkan wajib tunduk kepada Sang Khalik, karena merasa dirinya adalah makhluk. Rasa ketertundukan itu diwujudkan dalam bentuk segala perintah dan larangan dari Sang Khalik yang kemudian diamalkan menjadi bentuk ibadah (ritual). Itulah sebabnya KH. Mas Mansur, meskipun sebagai seorang pemikir ulung, dia juga seorang yang tekun beribadah.

***

Lain dengan Dr. Sutomo, meskipun dia seorang pemikir ulung, tetapi sangat mengabaikan ibadah dalam bentuk ritual. Bisa dimengerti, mengapa Dr. Sutomo mengabaikan aspek-aspek ritual, atau dalam konteks ajaran Islam dia meninggalkan Syariat. Baginya, Syariat merupakan sebuah jalan (cara) untuk mencapai hakekat, tetapi dengan memposisikan dirinya sebagai “hamba”, bukan sebagai penjelmaan Wujud Terakhir Tuhan. Antara dirinya dengan Diri Tuhan adalah setara, demikian keyakinan Dr. Sutomo.

Sementara menurut KH. Mas Mansur, antara dirinya dengan Diri Tuhan jelas dibatasi oleh unsur penciptaan. Di mana salah satu di antaranya harus menduduki posisi antara: Pencipta dan makhluk.

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds