Perspektif

Emosi, Apakah Menyelesaikan Pandemi?

4 Mins read

Di tengah wabah Covid-19 ini, negara kita indonesia mengalami masalah yang bertubi-tubi. Ditambah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak konsisten membuat masyarakat semakin resah setelah melakukan karantina sekitar dua bulanan. Masyarakat kemudian melampiaskan kekesalan pada kebijakan-kebijakan tersebut sehingga membuat kondisi semakin tak terkendali. Pertanyaannya, apakah emosi menyelesaikan pandemi?

Melihat fenomena ini, tentu yang paling dirugikan adalah dari pihak tenaga medis. Betapa tidak, di tengah situasi yang gawat darurat seperti ini, mereka lah yang bersusah payah menangani jumlah korban virus Covid-19 yang semakin hari mengalami lonjakan grafik.

Sulit sekali melihat siapa yang salah dan siapa yang benar sekarang. Namun perlu kita ketahui segala upaya telah kita jalani semaksimal mungkin. Jadi di situasi seperti ini, Ketika kita menjadi abai atas kondisi yang terjadi dan tidak saling bersatu dalam melawan pandemi Covid-19, maka jangan pernah ada harap pandemi ini akan segera berakhir.

Emosi itu Menipu

Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini membuat kita mennjadi geram atas ketidak konsistenan pemerintah dalam menetapkan keputusan di tengah wabah Covid-19 yang cenderung merugikan masyarakat. Saya tidak akan menyebutkan kasus-kasus tersebut tapi ada baiknya kita harus segera bangkit dan bersatu untuk melakukan kerjasama secepat mungkin. Seperti suatu ungkapan Let’s gone be by gone, yang lalu biarlah berlalu.

Namun kenyataanya kita justru terperangkap pada lingkaran setan yang mengharuskan kita untuk fokus pada masalah yang tidak menjadi prioritas utama. Prioritas Utama sekarang adalah melawan wabah Covid-19 supaya cepat berlalu, namun hal itu menjadi terabaikan karena kurangnya concern khusus secara sungguh-sungguh dalam melawan wabah Covid-19 ini.

Seorang Nabi sewaktu menyampaikan dakwah di hadapan masyarakat makkah banyak mendapat cibiran, celaan, hinaan bahkan lemparan-lemparan batu akan tetapi apa yang dilakukan Nabi sunggih mulia. Nabi tidak membalas mereka dengan hal serupa, melainkan mendo’akan mereka dengan sebaik-baik do’a. Dan akhirnya mereka sebagian dapat menerima ajaran nabi walau tidak semuanya.

Baca Juga  Peta Palestina dalam Pusaran Google dan Baidu

Kita mungkin kesal dengan segala kebijakan yang dibuat pemerintah namun segala kebijakan tersebut telah dibuat dan nasi sudah menjadi bubur. Tidak seharusnya kita larut dalam kekecewaan tanpa ada suatu tindakan pembenahan. Toh kebijakan tersebut dibuat demi kebaikan bersama.

Ibarat ada kebakaran ketika api yang menyala disiram dengan api lagi maka api itu tidak akan padam melainkan akan menjadi lebih besar, berbeda lagi jika kita siram menggunakan air pasti api tersebut akan padam dan keadaan menjadi tenang kembali.

Sungguh tanpa ada kontrol diri dan hanya mengandalkan emosi, maka hidup hanya lah seputar halusinasi ragawi tanpa ada pemaknaan rohani. Karena hidup tidak hanya soal jasmani namun juga rohani. Ketika tidak terjadi keseimbangan di antara keduanya maka tinggal tunggu waktu yang menghampiri dan akan memberi jawaban yang pasti.

Kebencian Melahirkan Kekacauan

Setiap hari berita-berita yang disuguhkan membuat emosi kita naik pitam dengan terus bertambahnya jumlah korban dan membuat kondisi semakin ruwet akibat wabah Covid-19 ini. Emosi itu berimplikasi pada kehidupan sehari-hari yang secara terang-terangan masyarakat sudah mengabaikan protokol-protokol yang dibuat oleh pemerintah.

Memang kita tengah berada pada kondisi yang sulit namun jika kita hanya mengedepankan emosi tanpa melakukan hal-hal positif, justru akan sangat membahayakan keberlangsungan ras bangsa indonesia kedepannya. Setiap masalah yang dihadapi dengan cara emosi bukannya akan melahirkan penyelesaian masalah tapi masalah tersebut akan semakin menjadi-jadi. Sejatinya rasa emosi itu melahirkan kebencian dan kebencian sendiri jika terus dipupuk akan menjadi subur dalam diri dan tentunya akan menyakiti diri sendiri.

Kembali pada poin emosi di atas yang melahirkan kebencian, maka kebencian tersebut akan berdampak pada lahirnya sifat egoisme. Sifat ego akan mengacaukan jika tidak bisa dikatakan menghancurkan keselamatan ras bangsa indonesia di tengah wabah Covid-19. Tentu kita tidak menginginkan kekacauan terjadi di negri tercinta ini.

Baca Juga  Pendidikan Kolonial: Dulu dan Sekarang

Ibarat memegang gelas jika kita memegannya hanya sesaat maka kita tidak akan merasakan capek tapi jika kita memeganggnya terlalu lama tentu rasa capek yang hebat akan mendatangi kita. Meskipun kondisi sedang ruwet bukan berarti kita menjadi tidak terkendali dan hanya mengandalkan emosi. Jika demikian tidak ada bedanya dengan binatang. Tentunya derajat manusia lebih tinggi daripada binatang karena manusia memiliki akal untuk berpikir.

Pengontrolan emosi di tengah wabah Covid-19 menjadi hal penting untuk direnungkan kembali. Apalagi kita tidak tahu kapan wabah ini akan berakhir. Tidak ada yang tahu masa depan tapi masa depan bisa dipersiapkan dari sekarang.

Keutuhan Bangsa Indonesia

Obat atau vaksin untuk penyembuhan Covid-19 masih membutuhkan waktu lama kira-kira satu setengah tahunan sehingga akhir-akhir ini muncul istilah Herd Immunity. Herd Immunity adalah situasi yang menyerahkan rakyat pada seleksi alam. Yang kuat akan bertahan sedangkan yang memiliki imun lemah akan meninggal dengan sendirinya.

Nah dalam proses seleksi tersebut kita tidak hanya seleksi untuk diri sendiri seperti ketika ujian maupun tes masuk ke suatu perusahaan atau university, namun tentunya kita tidak mau kehilangan orang-orang di sekitar kita sehingga tetap menjaga dan kontrol penuh kepada diri sendiri khususnya dan orang lain pada umumnya akan menjadi hal yang penting untuk keutuhan ras bangsa indonesia.

Rasa empati terhadap orang lain sangat di dinantikan pada masa ini, karena dengan empati tersebut kita dapat menyalurkan kontribusi-kontribusi kita. Kontribusi-kontribusi menjadi bentuk upaya nyata entah itu berupa sembako, donasi, dan seterusnya. Apalagi setelah ini kita dihadapkan pada era kehidupan new normal sehingga perlu mempersiapkan apapun demi menyongsong kehidupan tersebut.

Baca Juga  Praktik Tasawuf Akhlaki untuk Menyambut Kemenangan Idul Fitri

Maka dengan segala polemik yang terjadi, demi keselamatan ras bangsa ini, mari kita bersatu untuk saling menjaga dan menghormati apa-apa yang menjadi ketentuan di tengah wabah Covid-19 ini.

Sebagai penutup, sekali lagi selesai tidaknya wabah ini bukan tergantung pada pemerintah, dokter maupun influencer, melainkan dari diri kita sendiri masing-masing. walau pun ada yang memprediksi akan selesai sekian dan sekian, namun tetap diingat bahwa hal itu hanyalah prediksi yang belum tentu kebenaranya.

Hidup memang misteri dan kita sebagai pelaku di dalam misteri itu. Namun bukan berarti misteri itu tidak bisa kita ungkap, mungkin kita perlu belajar lagi kepada detektif conan atau sherlock holmes untuk mengungkap suatu misteri. Wallahu ‘alam

4 posts

About author
Mahasiswa Sekolah tinggi ilmu al-Qur'an dan sains Al-ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds