Dinamika sejarah Islam memang cukuplah menarik untuk dipelajari. Namun selama ini yang ditampilkan dalam sejarah perdaban Islam seolah-olah hanya prestasinya saja. Padahal, di balik prestasi-prestasi yang digaungkan tersebut, ada banyak sejarah yang tersembunyi termasuk masa kelamnya peradaban Islam.
Tidak dimungkiri, kebanyakan orang tentu hanya ingin mendengarkan apa yang mereka sukai. Secara psikologis, manusia memang condong untuk meminati aspek emosional atau merasa nyaman dengan kebenaran yang dianggap sudah mapan.
Namun, perlu juga diketahui, sebenarnya di balik pemahaman yang sudah mapan itu, ada sebuah fakta yang harus diungkap. Mungkin tidak terdengar menggembirakan terkait fakta itu. Namun, perlu disingkirkan dulu sisi subjektif dan ideologis dalam jiwa kita. Kemudian beralih menjadi manusia yang memiliki pandangan objektif, terutama tentang pembacaan ulang sejarah Islam yang dikaburkan itu.
Faraq Fouda: Menelisik Sisi-Sisi Kelam Sejarah Islam
Sebenarnya, mengenai sisi kelam sejarah Islam, pernah diungkapkan oleh seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) asal Mesir yaitu DR. Farag Fouda di dalam bukunya Al-Haqiqah Al-Ghaibah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Kebenaran yang Hilang. Namun, akibat buku tersebut DR. Faraq Fouda akhirnya tewas dieksekusi oleh kelompok ekstremis setelah vonis halal darahnya oleh ulama Mesir.
Berikut adalah fakta sejarah kelam Islam setelah Nabi Muhammad wafat yang tidak banyak diketahui. Bahkan jarang ditemui penjelasan gamblangnya dalam buku-buku pelajaran sejarah sekolah keislaman ataupun perguruan tinggi keislaman.
Pertama, Memerangi Orang yang Tidak Mau Bayar Zakat pada Zaman Abu Bakar
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah pertama pengganti Rasulullah saw., ada peristiwa yang penting dalam kiprahnya. Salah satunya yaitu ketika Abu Bakar memerangi orang yang dituduh murtad karena tidak mau membayar zakat.
Dr. Farag Fouda dalam bukunya Al-Haqiqah Al-Ghaibah mengatakan di titik ini, perlu memilah, apakah serangan Abu Bakar dikarenakan mereka benar-benar murtad dari Islam atau hanya karena enggan membayar zakat ke Abu Bakar atau Baitul Mal?
Dalam pemvonisan murtad tersebut, di ranah akademis masih menjadi perdebatan. Karena, kalau didalami lebih lanjut, orang-orang yang diperangi Abu Bakar, sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, masih rajin menjalankan perintah-perintah agama, dan juga masih membayar zakat langsung kepada orang yang membutuhkannya tidak melalui Baitul Mal.
Atas kebijakan Abu Bakar tersebut, Umar mempertanyakannya. Kenapa Abu Bakar tetap melakukan serangan terhadap orang-orang yang telah mengikrarkan syahadat. Lalu, Abu Bakar menjawabnya yang intinya, bahwa syahadat adalah konsekuensinya untuk membayar zakat di Baitul Mal.
Sementara bagi Umar ketika mempertanyakan kebijakan Abu Bakar, ia sebetulnya teringat sebuah hadis nabi yang mengatakan bahwa seorang muslim tidak boleh dibunuh, kecuali karena tiga alasan, yaitu; berzina setelah berumah tangga, murtad setelah beriman, atau dikisas setelah melakukan pembunuhan tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
Kedua, Pengkaburan Sejarah Pembunuhan Utsman
Thaha Husein dalam karya kitabnya Al-A’mal al-Kamilah li Taha Husein, bagian al-Fitnah al-Kubra, menjelaskan bahwasannya terbunuhnya Utsman bin Affan tak lepas dari gejolak politik yang memanas pada saat itu. Entah siapa yang patut disalahkan. Pada saat itu, permasalahannya sangat kompleks sekali. Mulai dari dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), perebutan kekuasaan, dan pemecatan penjabat yang dianggap boros.
Sementara itu, Abdurahman bin Auf yang merupakan sahabat nabi sekaligus sahabat Utman bin Afan, justru mendukung golongan pemberontak untuk mengkudeta Utsman. Ia berkata, “Kalau engkau berkenan, silahkan angkat senjata. Aku pun juga angkan senjata. Utsman telah mengambil kembali apa yang telah ia berikan kepadaku.”
Bahkan Thalhah juga memprovokasi pemberontakan terhadap Baitul Mal. Ia tidak setuju atas kebijakan Utsman yang menurutnya super pelit dalam mengeluarkan dana. Sampai-sampai, penjabat yang dinilainya boros, tidak tanggung-tanggung langsung dipecat Utsman secara seketika. Pemberontakan tersebut berakibat pada dibukanya kembali Baitul Mal dan harta di dalamnya dibagi-bagikan.
Tidak lama kemudian, tidak menunggu berbulan-bulan, Utsman pun terbunuh. Pemakamanny apun sulit karena ribuan pihak oposisi telah menguasai Madinah. Sehingga, baru beberapa hari berjalan, jasad Utman baru bisa dikebumikan.
Setelah kejadian itu, anehnya, Thalhah justru tampil sebagai orang yang menuntut balas kematian Utsman bin Affan dalam kelompok tentara Aisyah pada saat melawan pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, Thalhah pun terbunuh di medan peperangan.
Ketiga, Kisah di Balik Pembunuhan Husein
Mungkin pembaca sudah familiar dengan tragedi Karbala. Peristiwa yang mengakibatkan salah satu cucu Nabi Muhammad saw. terbunuh, yaitu Husein bin Ali. Namun ada peristiwa yang tidak kalah penting untuk diketahui.
Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Kamil halaman 310-314 setelah peristiwa karbala, balatentara Yazid menyerang Kota Madinah karena pendukungnya mencabut baiat terhadapnya. Dengan pasukan Madinah yang sedikit, kemudian pasukan Madinah takluk dengan mudah di kawasan Hirah.
Setelah balatentaranya berhasil menaklukan pasukan Madinah, kemudian Yazid memberikan maklumat yang anarkis di dalam kota selama tiga hari.
Bunyi maklumat tersebut adalah “Bujuklah untuk menyerah tiga hari, jika tidak menyerah juga, perangi mereka. Bila mereka takluk, rebutlah harta, ternak, senjata, dan pangan mereka untuk dinikmati para tentara. Jika lewat masa tiga hari, butakanlah mata mereka.”.
Konon, peristiwa tersebut mengakibatkan 4.500 jiwa terbunuh. Lebih mirisnya lagi, sekitar seribu perawan diperkosa oleh tentara Yazid.
Keempat, Dendam Klasik Bani Muawiyah saat Perang Badar
Ad-Dinuri dalam kitabnya Al-Akhbar, menjelaskan bahwa bersamaan pasukan Yazid membantai pasukan Madinah, Yazid mengatakan sesuatu lewat sebuah puisi “Andai nenek moyangku di Badar bersaksi, tombak dan panah lumpuhkan Khazraj.”
Dalam puisi tersebut mengandung makna, bahwa Yazid berandai-andai hari itu nenek moyangnya menyaksikan bagaimana kaum Khazraj takluk. Tentu nenek moyang Yazid adalah Bani Ummayah, musuh kaum Khazraj pada saat perang Badar. Puisi tersebut sangat jelas bahwa Yazid masih ada dendam yang terpendam terhadap warga Madinah terutama Bani Kazraj yang merupakan suku terbesar dari kalangan Anshar.
Pelajaran yang Diambil dari Persitiwa Tersebut
Pelajaran yang dapat diambil tentunya, dalam memahami atau memberikan pelajaran sejarah Islam di lembaga sekeloah maupun perguruan tinggi keislaman, harusnya tidak sekedar cuplikan sejarah yang memuat hal-hal yang saya rasa kurang komprehensif. Harusnya dalam menyampaikan sejarah tidak hanya menyampaikan sesuatu yang disukai saja.
Hal yang kelam pun juga penting disampaikan supaya dijadikan hikmah bagi generasi penerus, terutama pelajar muslim. Harapannya, konflik-konflik masa lalu yang mengatasnamakan agama tidak terulang kembali.
Tentu masih banyak lagi sejarah yang tersembunyi pada masa tersebut. Kalau disampaikan secara menyeluruh, mungkin artikel ini akan sangat panjang.
Untuk mempelajarinya secara lanjut, penulis sarankan pembaca mencari refrensi yang lebih banyak lagi dari berbagai sudut pandang. Guna mempertajam analisis dan literasi kita.
Editor: Yahya FR