Falsafah

Inilah Epistemologi Al-Jabiri Pendobrak Kejumudan Muslim

3 Mins read

Tentang Al-Jabiri

Isu mengenai kemunduran peradaban Islam memang tidak pernah ada habisnya. Hingga saat ini, banyak penelitian yang dilakukan oleh para tokoh cendikiawan dan akademisi untuk menemukan titik terang dan mengangkat peradaban Islam agar kembali seperti pada saat masa keemasannya.

Pemikiran dari berbagai tokoh kontemporer dengan berbagai corak pun bermunculan dari berbagai belahan dunia. Tidak terkecuali Maroko, Al-Jabiri berdiri dengan gagahnya mengumandangkan buah pikiran beliau demi kemajuan pemikiran Islam di kemudian hari dan menyongsong lahirnya peradaban baru yang kelasnya mengungguli Barat.

Beliau memiliki nama lengkap Muhammad ‘Abid Al-Jabiri. Tercatat lahir di Provinsi Fegig (Figuig) pada tanggal 27 Desember 1935 dalam keluarga yang aktif dalam kegiatan berpartai untuk mendukung kemerdekaan.

Nama Al-Jabiri tidaklah asing apabila kita mengkaji mengenai pemikiran-pemikiran Islam kontemporer. Beliau melahirkan suatu proyek pemikiran fenomenal, yaitu kritik terhadap nalar Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi).

Puluhan tahun beliau memberikan perhatian penuh terhadap proyek tersebut yang mana dituangkan dalam trilogi magnum opus Naqd al-‘Aql al-‘Arabi dengan jumlah 1200 halaman lebih.

Trilogi Naqd al-‘Aql al-‘Arabi berisikan judul-judul yang lebih spesifik, yaitu Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, dan al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi.

Alasan Kritik Al-Jabiri

Alasan dari kritik yang diajukan Al-Jabiri adalah demi mengangkat umat Islam dari stagnansi karena pemahaman pada tradisi (turats) secara sirkular, tidak mengarah pada pembaharuan.

Al-Jabiri ingin menyatakan ketidakpuasan karena intelektual Muslim yang sangat mengagungkan pencapaian pada zaman dahulu sehingga mengabaikan realitas sosial yang senantiasa berubah seiring waktu berlalu.

Karena dirasa tidak dapat menjawab tantangan zaman, Al-Jabiri mulai menyuarakan pemikirannya untuk berpikir kritis terhadap turats. Sesuatu yang dirujuk, serta bagaimana merujuk sesuatu.

Baca Juga  Islam Post Konvensional: Agama Kasih Tanpa Pilih

Pada zaman sekarang, kritik atas masa lalu dan masa kini merupakan dua hal yang paling dibutuhkan agar mampu mengatasi pergerakan modernitas yang massive.

Al-Jabiri menawarkan rekonstruksi untuk menyikapi Turats Arab dengan perangkat serta metodologi yang khas bagi pemikiran Islam. Dengan begitulah rekonstruksi epistemologi versi Al-Jabiri yakni; bayani, irfani, dan burhani selanjutnya masyhur dalam dunia pemikiran Islam.

Epistemologi Al-Jabiri (1): Bayani (Nalar Tekstual)

Bayani, dalam kamus bahasa Arab memiliki arti pisah/terpisah dan jelas/menampakkan.

Sistem epistemologi bayani merupakan batu pijakan pertama dari kritik Al-Jabiri terhadap nalar Arab. Sumber pokok dari epistemologi bayani sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Jabiri adalah teks atau wahyu.

Dalam sejarah peradaban Arab-Islam, sistem bayani terbagi menjadi dua; aturan menafsirkan wacana dan syarat memproduksi wacana.

Tradisi menafsirkan wacana telah ada pada zaman Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidi>n yang dapat direkam pada saat para sahabat meminta penjelasan terhadap makna dan ungkapan dalam Al-Qur’an.

Sedangkan, tradisi pemroduksian wacana dimulai pada saat munculnya kelompok-kelompok berbasis politik serta teologi seusai peristiwa majelis tahkim.

Pola berpikir bayani cenderung mengedepankan analogi (qiyas) daripada logika (mantiq) melalui silogisme dan premis-premis logika. Tradisi berpikir bayani, epistemologi tekstual kebahasaan (al-ashl dan al-far’ serta lafaz dan makna) memiliki derajat paling tinggi apabila dikomparasikan dengan epistemologi kontekstual-analitis maupun spiritual-gnosis.

Nalar bayani dapat ditemukan dalam kajian kebahasaan, hukum Islam, filologi, hingga teologi (ilmu kalam). Alasannya adalah tidak lain karena kajian-kajian tersebut bersumber dari teks Al-Qur’an dan sunah. Jadi, secara ideologis, kekuatan otoritatif dari nalar bayani adalah dogma Islam.

Oleh karena terpaku pada teks, nalar bayani sangat sinis memandang dua sistem epistemologi lainnya. Nalar irfani dinilai tidak dapat dibuktikan kevalidannya karena terlalu liberal serta tidak sesuai pedoman teks dan nalar burhani dituding menjauhi kebenaran teks, sehingga akal berakhir dikerdilkan oleh nalar bayani.

Epistemologi Al-Jabiri (2): Irfani (Nalar Gnosis)

Arti irfani secara bahasa adalah ilmu, pengetahuan, atau al-hikmah. Berbeda dengan bayani, nalar irfani menjadikan pengalaman langsung (ilmu hudhuri) sebagai pokok epistemologinya.

Baca Juga  Dekonstruksi Islam Arkoun: Kritik Keras Atas Ortodoksi Islam

Pengalaman tiap manusia memiliki sifat yang otentik karena perbedaan dalam menghayati alam semesta, khususnya pencipta alam semesta.

Pola dari nalar ini adalah menjatuhkan diri ke dalam hakikat, dengan jalur ilham atau kasyf. Sehingga, menghasilkan pengalaman batin yang murni dan sangat personal. Nalar ini terkenal di dalam ilmu tasawuf.

Menurut Al-Jabiri, dalam tradisi Islam, nalar irfani digunakan antara sebagai sikap atau teori oleh penganutnya. Untuk aplikasi teori, diwakili oleh kalangan sufi sedangkan kalangan yang menggunakan nalar irfani sebagai teori contohnya adalah Syi’ah.

Epistemologi Al-Jabiri (3): Burhani (Nalar Demonstratif)

Nalar burhani menggunakan realitas (al-waqi’) sebagai sumber pokok dari pengetahuannya. Realitas di sini mencakup segala sesuatu, seperti realitas kemanusiaan, realitas alam, hingga realitas keagamaan.

Arti dari burhan dalam bahasa Arab adalah bukti yang rinci dan jelas. Sedangkan,  demonstration, dalam bahasa Latin berarti isyarat, gambaran, dan jelas.

Menurut Al-Jabiri, tradisi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab yang didasarkan pada kemampuan manusia yang dianugerahi oleh Allah berupa akal serta indera yang dapat menangkap pengalaman empirik. Nalar burhani diperkenalkan oleh Al-Kindi pertama kali sebagai usaha untuk menepis kalangan pembenci filsafat.

Kebalikan dari bayani, burhani lebih mengedepankan mantiq daripada qiyas. Di dunia burhani, akal dan indera digunakan untuk mensintesis ilmu yang valid. Penelitian lapangan, literatur, hingga laboratorium adalah hal yang pasti ada. Karena itulah ilmu burhani dikenal juga sebagai ilmu yang dikonsep.

Sedangkan perbedaan dengan nalar irfani adalah nalar burhani mengandalkan akal untuk mencari hubungan sebab-akibat, sedangkan dalam nalar irfani memiliki keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada sebab-akibat, yang ada hanyalah kehendak Allah.

Dari ketiga sistem epistemologi, tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Umat Islam hendaknya secara bijak dan kritis dalam menggunakannya tanpa menuduh sesat bahkan kafir terhadap sistem epistemologi yang bukan merupakan kecenderungan kita.

Baca Juga  Abid Al-Jabiri: Tiga Problem Besar dari Khilafah

Dengan begitulah diharapkan umat Islam menjadi kuat, maju dan harmonis dengan berbagai variasi pola berpikir tanpa mensuperiorkan salah satu pola berpikir.

Editor: Yahya FR

Mar’atus Sholikhah
3 posts

About author
Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UINSA Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds