“To love people is the only thing worth living for, and without this love you are not really living.” (Kierkegaard dalam Karyanya Works of Love)
Ketika mendengar atau membaca nama “Kierkegaard”, kita mungkin selalu teringat tentang pemikiran-pemikiran monumentalnya di abad 20 yang sering disebut dengan pemikiran eksistensialisme.
Beberapa filsuf eksistensialis seperti Martin Heidegger, Karl Jaspers, dan Jean Paul Sartre, mereka adalah para filsuf yang terbantu oleh pemikiran Kierkegaard. Maka tak ayal, jika Kierkegaard hingga sejauh ini disebut oleh para filsuf dunia sebagai bapak eksistensialisme.
Meskipun Kierkegaard dikenal dengan pemikiran eksistensialismenya, namun pemikiran-pemikirannya tentang cinta juga tak kalah cemerlang. Pembahasan eksistensial seperti misalnya tentang makna hidup, kegelisahan hidup, atau pergulatan jati diri, juga sempat dibahas oleh Kierkegaard secara spesifik dengan menitikberatkan pada entitas “cinta”.
Kalau kita membaca Kierkegaard, utamanya memang konsep-konsepnya merujuk pada relasi antara manusia dengan kehidupan. Tetapi kalau kita membaca diktum di awal paragraf tadi secara teliti, Kierkegaard sebetulnya menunjukkan bahwasannya perihal eksistensial itu secara implisit sentralisasinya adalah pada entitas ‘cinta’. Lantas, bagaimanakah pandangan Kierkegaard tentang cinta?
Pada pembahasan kali ini, penulis merujuk pada bukunya Kierkegaard yang berjudul Works of Love. Dalam karyanya tersebut, Kierkegaard tidak secara eksplisit menunjukkan bagaimana cara mencintai, tetapi ia menunjukka kita pada dua hal, yaitu relasi interpersonal dan kebutuhan manusia.
Ketika sudah mengerti serangkaian pembahasan dari dua hal tersebut, barulah nanti secara tidak langsung kita mengerti tentang bagaimana cara mencintai.
Cinta Eros dan Cinta Agape
Pemikiran Kierkegaard juga tak luput dari dua istilah cinta yang masyhur di dalam tradisi Yunani, yaitu eros dan agape. Istilah eros secara letterlijk merujuk pada hasrat seksualitas. Artinya, apa yang disebut cinta eros adalah cinta yang berlandaskan hawa nafsu seksual. Karena itu kata turunan dari eros adalah erotis yang artinya sesuatu yang merangsang nafsu birahi.
Berbeda dengan agape yang diartikan sebagai cinta yang tidak memperhitungkan nilai untung ataupun rugi. Dengan kata lain, agape adalah jenis cinta yang otentik; cinta yang memungkinkan manusia tidak mementingkan dirinya sendiri.
Meskipun demikian, antara eros dan agape dalam pandangan Kierkegaard penjelasannya tidak sesempit itu. Bahkan Kierkegaard menjelaskan eros dan agape ini berdasarkan ethics of love-nya, yang setidaknya terdiri dari 5 poin.
Pertama, cinta eros itu sifatnya egosentris, tapi cinta agape sifatnya teosentris.
Kedua, cinta eros berkaitan dengan permintaan yang serakah, sedangkan cinta agape kaitannya dengan pemberian diri.
Ketiga, cinta eros orientasinya pada cinta duniawi, sedangkan cinta agape orientasinya pada eksistensi manusia terhadap segala hal yang melingkupinya.
Keempat, cinta eros itu sumbernya dari keinginan manusia, sedangkan cinta agape sumbernya dari rahmat Allah sendiri.
Kelima, cinta eros lebih tertarik pada objek tertentu, sedangkan cinta agape justru menciptakan dan menyentuh nilai dari keseluruhan objek.
Tenang saja, pertanyaan-pertanyaan itu memang wajar bagi kita sebagai manusia eksistensial. Akan tetapi, Kierkegaard lagi-lagi tidak menunjukkan metode konkret untuk mencapai cinta agape. Sebab, menurutnya apapun yang berkaitan dengan eksistensial, itu tidak bisa dipaksakan, atau tidak bisa ditunjukkan dengan cara yang dogmatis.
Kierkegaard menunjukkan dua persoalan pada kita agar masuk pada kondisi eksistensial tentang ihwal cinta.
Spontanitas dan Autentisitas
Karena Kierkegaard adalah seorang eksistensialis, maka penjelasan tentang titik persoalan dari eros dan agape ini merujuk pada sifatnya yang temporal, yaitu spontanitas dan autentisitas.
Seperti pada umumnya, konsepsi dari spontanitas merupakan sesuatu yang dihasilkan tanpa adanya pertimbangan. Sedangkan autentisitas itu sesuatu yang dihasilkan berdasarkan pertimbangan yang ketat.
Kalau kita sudah membaca perihal eros dan agape tadi dengan baik, maka kita akan paham bahwa eros itu kaitannya dengan relasi interpersonal, dan agape kaitannya dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk eksistensial. Dari sinilah kondisi temporal tentang kedua jenis cinta tadi terlihat kontras.
Sebagai contoh, ketika kita sedang mengalami “hubungan interpersonal” dengan seorang yang dicintai, kita pasti masuk pada kondisi: bagaimana seseorang yang dicintai itu menerima dan memberi respon kita dengan baik. Secara tersirat, cinta semacam ini akan berhenti apabila seseorang yang dicintai tidak menerima dan memberi respon dengan baik. Inilah yang disebut spontanitas di dalam cinta; ia sebatas reflek karena pada ruang hubungan interpersonal.
Tetapi akan menjadi berbeda ketika kita mencintai seseorang dalam kondisi “keterbutuhan” diri. Dengan kata lain, kita sebagai makhluk eksistensial, menganggap aktivitas mencintai seseorang itu sebagai sesuatu yang harus ada pada keberadaan kita sebagai manusia.
Cinta semacam ini menggambarkan bahwa seseorang yang kita cintai melekat pada apapun yang berkaitan kebutuhan eksistensi. Inilah yang disebut autentikasi di dalam cinta; ia tidak ada kaitannya dengan direspon sesuai keinginan.
Setelah membacanya dengan benar, kita mulai sedikit paham, atau bahkan sudah sepenuhnya paham apa yang dimaksud Kierkegaard tentang cinta. Tetapi dari serangkaian penjelasan tadi, ternyata masih ada kejanggalan yang tersemat.
Dalam bukunya Works of Love, secara tersirat ia mengatakan, “Kebutuhan bawaan kita akan persahabatan, betapa dalam kebutuhan cinta berakar pada sifat manusia; kebutuhan akan cinta ini, bagaimanapun, juga merupakan kebutuhan yang mendalam untuk ‘mencintai dan dicintai’”.
Tanggapan Kritis
Kendatipun Kierkegaard menjelaskan tentang cinta dari mulai jenis cinta, etika cinta, sifat temporalnya, dan hakikat cinta terhadap eksistensi manusia, ia justru memberikan sebuah paradoks lewat diktumnya tentang sifat dasar manusia untuk “mencintai dan dicintai”.
Entah apa maksud Kierkegaard di dalam bukunya, saya menganggap bahwa Kierkegaard dari awal memang enggan memberikan penjelasan yang terlalu eksplisit.
Kita, sebagai pembaca seakan-akan disuruh untuk masuk pada kondisi eksistensial. Terlihat juga dengan sejarah hidupnya ketika membuat karya-karya yang selalu menggunakan nama samaran agar pembacanya tidak hanya memahami tulisannya karena ia sebagai seorang filsuf, dan juga agar merefleksikan tulisannya tanpa ada keterkaitan dengan pengalaman hidupnya.
Tanggapan kritis saya tentang paradoks dari Kierkegaard, bahwa yang dimaksud kebutuhan dasar manusia untuk dicintai itu sebetulnya menyuruh kita untuk mencintai diri sendiri. Sebab, ketika kita mencintai diri sendiri, secara tidak langsung pun kita sudah dicintai. Oleh karena itu, vocal point dari serangkaian penjelasan tadi adalah memungkinkan kita menuju cinta agape.
Editor: Yahya FR