Falsafah

Keutamaan Etika atas Metafisika: Inti Filsafat M. Amin Abdullah

3 Mins read

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel Kritik M. Amin Abdullah terhadap Etika Al-Ghazali. Inti dari argumen artikel ini, Amin Abdullah menilai etika teologis berbasis wahyu Al-Ghazali kurang memadai untuk konteks sekarang.

Selama ini, para pengkritik sains modern, cenderung menjadikan metafisika sebagai tema sentral dan sorotan utama untuk memperlihatkan kelamahan sains modern yang bebas nilai.

Salah satu seorang filsuf yang keras dan konsisten mengkritik sains modern adalah Syed Hossein Nasr. Sains modern dijadikan biang masalah bagi aneka krisis kehidupan modern.

Problem utamanya adalah sains modern yang mengabaikan aspek metafisika dan menolak Tuhan, sehingga berakibat krisis peradaban, seperti kerusakan alam, krisis krisis sosial-ekonomi-politik, masalah moral dan lain sebagainya.

Metafisika, bagi Nasr, merupakan pengetahuan tentang yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif. Oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal di dunia lebih lama, prinsip-prinsip metafisis harus dihidupkan kembali.

Etika Lebih Penting daripada Metafisika

Adalah M. Amin Abdullah, filsuf Islam kontemporer memiliki argumen yang berbeda dengan kebanyakan kritikus modernitas. Amin Abdullah berhipotesis bahwa mengkaji pemikiran etika jauh lebih penting daripada metafisika dan epistemologi. Hal ini arena dalam cabang filsafat etika sesungguhnya terlatak struktur terdalam pemikiran manusia.

Tampaknya Amin Abdullah sepertinya ingin menyampaikan bahwa segala kerusakan kehidupan maupun kebaikan kehidupan adalah akibat pemikiran etika manusia, bukan karena konsep metafisikanya.

Menurut Amin Abdullah, manusia sebagai individu dan kelompok sosial, melaksanakan aktivitasnya secara luas dalam kehidupan sehari-hari senantiasa terlibat dalam makna luas dari etika.

Makna luas ini tidak dapat diungkapkan ataupun dijustifikasi dengan terma-terma sederhana “baik” dan “buruk” saja, karena bagian dari aktivitas manusia jauh lebih dalam dan rumit.

Baca Juga  Berjalan di Atas Keyakinan yang Ekstrim

Dengan kata lain, “keputusan” untuk melakukan sesuatu “kebaikan” ataupun “menahan diri” untuk tidak melakukan “kejahatan” dalam lapangan kehidupan, aktivitas sosial, budaya, keilmuan, keagamaan dan seterusnya yang secara langsung berhubungan dengan sisi dinamika individual ataupun kelompok sosial, sejatinya muncul dari struktur inti pemikiran manusia.

Berdasarkan sudut pandangan ini, etika memiliki keterkaitan erat dengan mentalitas menusia, yaitu “model atau cara berpikir (way of thought). Jika mentalitas seseorang berbeda, keseluruhan pengalaman hidupnya berbeda.

Dia tidak hanya berperilaku berbeda, melainkan juga memiliki sikap, keinginan yang berbeda. Mentalitas manusia sebagai suatu keseluruhan dibangun dari pemikiran etikanya, tidak dari pemikiran metafisika ataupun epistemologinya.

Metafisika dan epistemologi tidak berperan apa-apa menyangkut kehendak dan keputusan manusia.

Dalam pengertian tradisional, etika sering dipahami sebagai pengetahuan tentang baik dan buruk, dan biasanya dihubungkan dengan doktrin teologis keagamaan.

Terlalu banyak konsentrasi pada pengertian tentang baik dan buruk dalam makna literal membawa kita membalik lagi pada wilayah metafisika.

Luput pada Sisi Fundamental Etika

Menurut Amin Abdullah, kebanyakan kita sepenuhnya lupa memfokuskan perhatian pada sisi fundamental etika, yaitu “memperoleh pemahaman yang jelas mengenai peran ‘subyek aktif’ dalam menyatakan sikap, memutuskan prinsip, ataupun mengungkapkan maksud”.

Hidup manusia senantiasa dihadapkan dengan begitu banyak problem, sehingga manusia harus mengambil keputusan seketika untuk menangani dan menyelesaikannya.

Dari pandangan ini, etika berseberangan dengan metafisika yang memahami dunia sebagai sesuatu yang selesai dan dengan demikian kehendak untuk tidak berbuat apapun. Orang yang mengambil metafisika menjadi kebenaran tidak akan melanjutkan lagi perjuangannya. Akan tetapi sebaliknya, ia akan mempercayai bahwa ia telah menyelesaikan dunia dan dapat merasa puas dengan cinta intelektual kepada Tuhan.

Baca Juga  Hikmah dan Filosofi Seekor Nyamuk

Metafisika seperti itu, tidak saja merupakan lorong kebutaan intelektual, tetapi juga suatu penyimpangan dari penalaran moral, karena sistem metafisika menghasilkan pengetahuan ilusif yang mengguncangkan fondasi moral manusia dan memperkosa keanggunan “keharusan” moral.

Adalah umum, bagi lingkaran metafisika untuk menganggap “keutamaan” hanya berlaku bagi sekelompok istimewa dari manusia, seperti filsuf. Jika hal tersebut benar, bagaimana mereka memandang ide bahwa keutamaan yang dapat dicapai oleh orang awam tidak kurang dari yang dapat dicapai oleh orang terpelajar?

Dan dalam banyak kasus, manusia secara umum memiliki tipe “mentalitas: tertentu yang memiliki konotasi nyata dengan pemikiran etikanya daripada metafisika ataupun epistemologi.

Inti Filsafat Amin Abdullah

Begitulah kira-kira inti filsafat Amin Abdullah. Mengapa inti? Karena tanpa pemikiran ini, tidak akan lahir konsep integrasi-interkoneksi ilmu. Mengapa demikian?

Selama ini, para penikmat diskusi dekotomi agama dan sains hanya fokus pada mendamaikan keduanya, akan tetapi Amin Abdullah melampaui dekotomi dengan integrasi dan interkoneksi antara agama, sains, dan etika.

Terakhir, selama ini orang sibuk mengkritik sains modern yang dinilai bebas nilai dan dinilai sebagai penyebab segala kerusakan dunia akibat metafisikanya.

Dengan mengutamakan etika atas metafisika, Amin Abdullah seakan ingin menyatakan bahwa kerusakan masyarakat terletak pada etika, bukan karena metafisika.

Tanpa membela sains modern dan mengkritik sains Islam atau islamisasi ilmu, Amin Abdullah dalam konsep integrasi-interkoneksi menggabungkan agama yang subyektif, sains yang obyektif, dan etika yang intersubyektif. Konsep ini seakan menjadi sebuah kompromi atau rekonsiliasi antara agama, sains dan etika.

Konten ini adalah hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama Republik Indonesia

Editor: Yahya FR 

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds