Review

Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban

7 Mins read

Kajian sosiologis dan antropologis mengenai etika Muhammadiyah belum banyak dilakukan. Beberapa karya yang termasuk ke dalam studi semacam ini antara lain: Ahmad Najib Burhani dengan dua bukunya Muhammadiyah Berkemajuan (2016), Muhammadiyah Jawa (2016), dan tentu saja karya MT. Arifin Muhammadiyah Potret yang Berubah (1990). Sebagian karya-karya yang lain menyinggung Muhammadiyah dalam konteks politik kebudayaan dengan mendirikan lembaga pendidikan, perpustakaan umum, dan penerbitan majalah (Ali, 2016). Sebagian lain memotret perilaku keagamaan orang-orang yang berafiliasi dengan Muhammadiyah (Kim, 1996). 

Modernisasi dan Islam Berkemajuan

Satu hal yang menghubungkan berbagai karya-karya tentang Muhammadiyah tersebut adalah ketertarikannya untuk menjelaskan bagaimana gerakan ini berkembang dan memperbaharui diri. Bagian diskusi semacam ini sangat penting bagi Muhammadiyah karena merupakan usaha untuk memahami salah satu transformasi gerakan sosial-keagamaan tertua di Indonesia (berdiri tahun 1912). Diskusi seputar transformasi Muhammadiyah tidak saja berkaitan dengan perubahan-perubahan internal komunitas ini, melainkan juga informasi berharga tentang proses modernisasi Islam di Indonesia. 

Buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban karya Zakiyuddin Baidhawy dan Azaki Khoirudin merupakan salah satu buku yang berusaha menunjukkan betapa pentingnya peran gagasan modernisasi Islam abad ke-20 terhadap bentuk-bentuk Islam kolektif kontemporer di Indonesia. Gagasan modernisasi Islam adalah kunci penting untuk memahami transformasi pemikiran Islam di Indonesia. Gagasan modernisasi Islam tentu tidak terjadi untuk agama ini saja. 

Talal Asad (1993), antropolog studi agama-agama mengemukakan bahwa agama-agama pada dasarnya adalah fenomena transhistoris dan transkultural, di mana nyaris tidak mungkin memisahkannya dari proses-proses sosial serta medan diskursif yang membentuk wacanan tentangnya kecuali melalui domain Kuasa (dalam pengertian Foucault). Etika adalah konsep penting untuk memahami jembatan antara ide dan gagasan yang dipengaruhi oleh agama dan dampaknya terhadap proses-proses sosial. Etika pertama-tama harus dilihat sebagai simbol, terdiri atas relasi-relasi antara objek atau kejadian, serta membawa dampak intelektual, instrumental, dan emosional.

Gagasan hari ini tentang Islam modern nyaris dapat diterima oleh tipe budaya beragama mana pun. Tidak terelakkan lagi misalnya bahwa Islam berkaitan dengan proses budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Tumbuhlah berbagai eksperimen memodernkan Islam melalui institusionalisasi ajaran-ajarannya. Kajian mengenai Islam pun tampaknya sangat ganjil dan aneh jika dibagi berdasarkan cara Geertz melakukannya; abangan, santri, dan priyayi (Asad, 1993). Kendati demikian, penting untuk mengingat bahwa varian modern Islam juga sangat dipengaruhi oleh medan diskursus kajian agama pada masa-masa developmentalisme tahun 1970-an yang diawali oleh kelompok MIT di Indonesia. 

Oleh karena itu menjadi demikian menarik upaya buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban untuk memperlihatkan cara kerja diskursus dalam perkembangan gerakan sosial-keagamaan. Cara itu antara lain ditempuh dengan menunjukkan bagaimana gagasan Islam “kemadjoen” ala Ahmad Dahlan seolah-olah muncul kembali menemukan konteks simbolnya dalam perkembangan Muhammadiyah masa ini. Etika “Islam Berkemajuan” yang dipopulerkan beberapa tahun belakangan ini sebagai pemodelan dari “Islam Modern”, “Islam Inklusif”, dan “Islam Progresif” adalah tubuh dari diskursus yang lama terpelihara, dan memberi orientasi terus menerus bagi Muhammadiyah.  

Baca Juga  Muslim Indonesia 2019, Makin Mengeras?

Etika Muhammadiyah: Dari Teologi ke Etos

Satu hal yang penting untuk dicatat dari buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban terletak pada upayanya merumuskan apa sebenarnya etika Muhammadiyah itu. Tidak hanya jawaban, tapi juga pertanyaan tentang hal ini tampaknya luput begitu lama, terutama dalam konteks penyelidikan antropologis. Padahal sebagaimana terlihat dengan sangat jelas, suatu bentuk etika tengah beroperasi dalam cara Muhammadiyah berkembang. 

Pertumbuhan amal usaha Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia selain karena didorong oleh perkembangan sosial, ekonomi, dan revolusi teknologi, juga berkaitan dengan kehadiran diskursus yang telah lama hidup dalam kesadaran beragama aktivis Muhammadiyah secara khusus dan masyarakat muslim secara umum. Bentuk-bentuk kesalehan sosial memperoleh petunjuk dari bangunan etika Muhammadiyah yang selalu mendorong pada partisipasi-partisipasi sosial. Jika dilacak secara historis maka etika “Kemadjoen” hidup dalam kesadaran beragama enterpreneur muslim, dan perlahan diterima sebagai kesadaran beragama mainstream karena perkembangan kapitalisme di Indonesia. 

Basis etika “Kemadjoen” itu antara lain bersumber dari dua surat di dalam al-Qur’an, surat al-Ma’un dan surat al-‘Ashr. Surat al-Ma’un berisi perintah untuk berderma, memperluas jaminan sosial kaum miskin, dan relasi tak terhindarkan dari hubungan antara kesejahteraan dan probabilitas menjadi pribadi yang shaleh. Pesan surat al-Ma’un sangat penting bagi pedagang muslim untuk membentuk solidaritasnya mengimbangi perdagangan kolonial, melalui penggunaan kapital yang terarah. 

Kaum pedagang muslim awal abad ke-20 dihubungkan oleh diskursus tentang betapa pentingnya solidaritas berbasis agama untuk merespon dunia modern sebagai dampak globalisasi kolonial. Kaum pedagang muslim saat itu merupakan salah satu kelompok yang sadar bahwa modernisasi tak terhindarkan karena melihat sendiri sirkulasi perdagangan tanpa henti telah mengubah struktur sosial dan politik. Kaum pedagang muslim telah memungkinkan ilmu pengetahuan memperoleh perantaraan. 

Kaum pedagang atau kelas menengah awal muslim di Indonesia ini adalah kelompok yang paling mungkin memperoleh pembaruan-pembaruan informasi tentang perkembangan Islam di berbagai tempat di Asia, Afrika, dan sebagian tempat di Eropa. Mereka mulai melakukan kerja-kerja literasi dengan menerbitkan buku dan mengadakan diskusi-diskusi, mendorong terciptanya jenis publik Islam modern (Casanova, 1994). Surat al-Ma’un hidup di dalam publik Islam modern yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan dan beberapa muridnya. Melalui publik Islam modern (penerbitan majalah, konferensi nasional, korespondensi, dan khutbah-khutbah), gagasan-gagasan Islam dan perubahan sosial menjadi sangat mungkin berperan hingga saat ini. 

Surat al-Ashr berbeda dengan Surat al-Ma’un yang menunjukkan konsekuensi kesejahteraan individu terhadap kesejahteraan sosial. Surat al-Ashr menunjukkan pentingnya kesadaran terhadap perkembangan zaman, dan respon atas perkembangan zaman sangat berhubungan dengan kualitas kesalehan. Surat al-Ashr sebagai basis teologis dari etika Muhammadiyah tampil untuk memberi penekanan mengenai kesadaran zaman, di mana diskursus keagamaan tak terelakkan lagi harus menjadi bagian dari diskursus sosial baru yang terbentuk begitu cepat oleh intensi perdagangan, rezim Hindia-Belanda, dan bersatunya kaum pedagang-ulama-intelektual. 

Artinya, surat al-Ashr menjadi penting bagi kelompok muslim yang berupaya untuk merespon perkembangan sosio-ekonomi abad ke-20. Ahmad Dahlan saat itu berhasil menjadikannya perbincangan publik melalui komunitas pengajiannya. Etika beragama dan kualitas kesalehan memperoleh makna baru melalui ruang publik Islam. 

Baca Juga  Bagaimana Agama dan Filsafat Membangun Peradaban?

Konsep kunci ketika membicarakan soal ruang publik Islam modern adalah berubahnya Islam sebagai wacana keagamaan yang diatur oleh otoritas keagamaan, menjadi Islam sebagai wacana keseharian di mana setiap penganutnya diberi kesempatan untuk memperluas maknanya. Peran penting Ahmad Dahlan untuk perkembangan wacana Islam modern sebenarnya terletak pada kemampuannya menciptakan ruang publik Islam modern. 

Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah menyelenggarakan penerbitan majalah yang hingga kini terus terbit, kemudian pertemuan rutin antar anggota Muhammadiyah, serta praktik kesalehan yang melembaga seperti mendirikan sekolah dan rumah sakit. Etika Muhammadiyah secara tidak langsung lahir dari kesempatan memperluas makna Islam di dunia yang terus berkembang.

Kesalehan dan Peradaban

Apa yang menghubungkan antara etika sebagai prinsip kesalehan sosial dan spirit peradaban sebagai doktrin sosial Muhammadiyah? Pertanyaan tersebut selama ini dijawab melalui keberhasilan agenda tajdid Muhammadiyah, suatu kondisi struktural dan sistemik yang memberi ilham bagi perkembangan gerakan (Darban & Pasha, 2000; Nashir, 2010; Mulkhan, 2010). 

Jawaban atas pertanyaan penting ini jarang dieksplorasi sebagai kesadaran keberagamaan Islam modern yang telah menjadi bagian penting bagi infrastruktur pembangunan ekonomi Negara-negara berpenduduk muslim. Kuntowijoyo (1985) misalnya mengajukan jawaban bahwa integrasi antara iman sebagai kesalehan individual dan dorongan modernisasi (spirit peradaban) menjadi diskursus struktural Muhammadiyah.

Penekanan yang sangat tinggi terhadap peran struktural ini berusaha dijembatani oleh buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban dengan memperlihat peranan diskursus dan peran keagenan dalam Muhammadiyah. Sehingga spirit peradaban dapat berperan sebagai doktrin sosial Muhammadiyah dan berhubungan langsung dengan perkembangan sosial di mana ide-ide tentang kedermawanan sosial modern sudah diterima sebagai manifestasi keagamaan. Selain itu, dengan meminjam Max Weber, praktik-praktik kesalehan tertentu telah mendukung berkembangnya infrastruktur ekonomi, menciptakan relasi tak terhindarkan antara keduanya. 

Melalui buku ini kedua penulis berargumen bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan modern dapat bertahan sejak masa Kolonial melalui relasi timbal balik antara “Etika Muhammadiyah” (pelestarian diskursus; “Kemadjoen”, Islam berkemajuan) dan “spirit peradaban” (arah perkembangan global, situasi ekonomi-politik, kemajuan ekonomi, perkembangan sains). Intinya, mengapa orang-orang Muhammadiyah berhasil melanjutkan tongkat estafet keorganisasian yang berusia seabad lebih ini, karena orang-orang Muhammadiyah menganggap bekerja adalah implementasi paling tepat untuk menghayati apa itu Islam. Perilaku fisik adalah kunci dari praktik keagamaan, tidak sekedar perilaku ritual (terdiri dari kewajiban agama individual; sholat, atau puasa). 

Pemahaman ini ikut membantah dasar asumsi teorikus sosial tentang agama sebagai sekedar keyakinan yang dibuat-buat untuk merasionalisasikan praktik hidup yang ditentukan (misalnya Frazer dan Geertz). Agama juga tidak semata-mata membantu langgengnya kekuasaan dan industri sebagaimana dijelasan oleh Weber. Ada yang kurang dari penjelasan tentang agama dari Geertz dan Weber. Kenyataannya, agama yang dihayati sebagai bagian dari proses pelatihan diri atau yang diistilahkan dalam buku ini, sebagai pembentukan “etika Muhammadiyah” itu terjadi secara pedagogis. 

Baca Juga  Cak Nun: Hubungan Islam, Budaya, dan Seni

Sebelum lebih jauh, ada baiknya juga dua istilah dalam buku ini saya jelaskan. Pertama, istilah etika itu mengacu pada nilai-nilai yang membentuk perilaku seseorang atau kelompok. Etika memberikan bahan acuan apakah suatu pilihan itu “baik” atau “buruk”. Dalam buku ini, istilah etika Muhammadiyah berarti nilai-nilai yang membentuk cara pandang, perilaku, dan imajinasi orang Muhammadiyah tentang bagaimana seharusnya Muhammadiyah merespon perkembangan zaman. Kedua, pengertian spirit peradaban berarti serangkaian nilai dan semangat bekerja orang Muhammadiyah membentuk peradaban. 

Etika Muhammadiyah menurut buku ini dibentuk melalui dua basis teologis, yakni etos al-Ma’un dan etos al-Ashr. Kedua etos ini memberikan inspirasi bagaimana etika Muhammadiyah mengimplementasikan konsep-konsep “menjadi kelompok yang menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran” (al-Ma’un) dan “demi waktu” (al-Ashr). Etos al-Ma’un sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, mengacu pada praktik “welas asih” (kasih sayang) atau filantropi. Sedangkan etos al-Ashr mendorong terbentuknya kesadaran waktu atau kesadaran untuk melibatkan diri dengan perkembangan zaman. 

Etos al-Ma’un memberi fondasi bagi model asketisme atau kesalehan intelektual, sedangkan etos al-Ashr memberi fondasi bagi institusionalisasi kesalehan. Dalam praktiknya, etos al-Ma’un memberi inspirasi dalam cara berpikir orang Muhammadiyah mengenai praktik beragama yang menghubungkan antara praktik spiritual dan praktik sosial. Sedangkan al-Ashr memberi inspirasi orang Muhammadiyah dalam memberi wujud setiap praktik sosial itu ke dalam konteks zamannya masing-masing. 

Spirit peradaban dalam buku ini dijelaskan melalui suatu konsep yang sudah dikenal lazim dalam menganalisis gerakan sosial, yakni institusionalisasi (pelembagaan). Spirit peradaban berarti semacam hidden transcript dari mengapa orang Muhammadiyah mendirikan sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, dan meluaskan gerakannya ke berbagai bentuk. Melalui buku ini, kedua penulis hendak menyatakan bahwa gagasan Islam berkemajuan dalam konteks tertentu selalu berhasil menemukan bentuknya karena mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat muslim Indonesia. 

Makna modern sebagai sifat gerakan Muhammadiyah tidak terletak pada cara organisasi ini mentransformasi institusi sosial tradisional menjadi modern, tetapi pada caranya hidup dari kelompok-kelompok muslim yang punya kemampuan mentransformasi kondisi sosial. Buku ini pada satu sisi turut berhasil memperlihatkan bagaimana potret kerja Muhammadiyah melalui aspek struktural dan agensi (keagenan).

Keberhasilan Muhammadiyah membangun kesalehan kolektifnya terletak pada kemampuannya memfasilitasi dan turut menjembatani berbagai perkembangan sosial dengan diskursus prinsip dan doktrin Islam. Ahmad Dahlan misalnya berhasil menghubungkan antara tauhid (ajaran Keesaan Tuhan) dan cara memanifestasikannya di dalam struktur sosial yang senantiasa berubah-ubah. 

Buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban secara sepintas tampaknya sangat dipengaruhi oleh pemodelan strukturasi ala Giddens (1984) di mana etika dan spirit peradaban adalah konsekuensi dari terbentuknya sarana-sarana pengungkapan diri anggota Muhammadiyah. Sarana-sarana pengungkapan Islam “kemadjoen” sebagai tindakan sosial anggota Muhammadiyah terartikulasi melalui kedermawanan sosial dan tindakan sosial itu sendiri dalam konteks rekonstruksi wacana Islam. 

50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds