Tajdida

Fatwa Vape; Berharap Qaul Jadid, Yang Muncul Qaul Qadim

2 Mins read

Baru-baru ini, Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram menghisap Vape. Tampaknya fatwa ini merupakan kelanjutan dari fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh MTT PP. Muhammadiyah satu dekade yang lalu. Terlepas dari pro dan kontra yang beredar di masyarakat, saya justru penasaran mengapa Majelis Tarjih perlu mengulangi sebuah fatwa dengan substansi yang sama?

Bagi saya substansi fatwa vape sama saja dengan fatwa merokok, illat-nya sama-sama perbuatan merusak. Tidak cukupkah fatwa keharaman rokok yang telah ditetapkan? Mengapa harus mengulangi fatwa yang esensinya sama? Di tengah banyaknya permasalahan bangsa, MTT PP. Muhammadiyah diharapkan memberikan fatwa-fatwa berkaitan dengan permasalahan kebangsaan dan lingkungan hidup.

****

Sebagaimana yang diketahui, ada 3 produk MTT yakni putusan tarjih, fatwa tarjih dan wacana pemikiran. Selama ini majelis tarjih mempunyai putusan yang menarik seperti fikih air, fikih kebencanaan. Sekarang sedang dalam proses penyusunan fikih anak dan fikih disabilitas.

Wacana pemikiran tersebut sebagian telah dibawa ke forum munas tarjih untuk menjadi putusan tarjih. Persoalannya, produk putusan dan wacana tarjih kurang tersosialisasi di masyarakat dengan baik. Mungkin karena pembahasannya yang terlalu berat. Berbeda dengan fatwa tarjih yang dengan mudah viral seperti fatwa rokok dan fatwa vape.

Yang kita harapkan adalah munculnya fatwa-fatwa turunan dari putusan tarjih yang lebih praktis untuk dipahami masyarakat. Majelis tarjih juga perlu mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai isu-isu kontemporer. Misalnya apa hukumnya menggunakan bahan-bahan plastik dalam perilaku konsumsi sehari-hari? Dimana plastik adalah penyebab kerusakan lingkungan.

Contoh lain persoalan bangsa kita adalah oligarki politik yang sudah menggurita. Bagaimana hukum oligarki menurut Majelis Tarjih? Persoalan-persoalan seperti ini lebih urgen untuk dibahas dan difatwakan. Sayangnya majelis tarjih malah melakukan repetisi fatwa yang sebenarnya sudah dimengerti oleh warga Muhammadiyah.

Baca Juga  Dakwah Muhammadiyah: Proaktif, Bukan Provokatif

Imam Syafii mempunyai fatwa yang berbeda saat di Mesir dengan sebelum masuk Mesir. Fatwa-fatwa sebelum Imam Syafii tinggal di Mesir disebut qaul qadim (fatwa terdahulu). Sementara fatwa yang ditulis Imam Syafii setelah tinggal di Mesir disebut qaul jadid. Saya mencoba memaknai qaul qadim dan jadid secara etimologis, lalu mengkontekstualisasikan dengan kondisi hari ini.

Qaul qadim adalah fatwa-fatwa lama yang sudah lama terkodifikasi dan tinggal kita baca kembali, sementara qaul jadid adalah fatwa-fatwa isu-isu kontemporer yang belum ditemukan fatwanya dalam khazanah terdahulu. Qaul qadim juga berisi fatwa-fatwa terhadap isu-isu dengan skala makro bukan hanya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. MTT PP. Muhammadiyah bisa lebih massif membuat fatwa dalam ranah yang sifatnya qaul jadid, bukan justru mengulang qaul qadim.

Tentu saja saya sepakat bahwa MTT PP. Muhammadiyah tidak bisa sendirian dalam menyebarkan fatwa-fatwa yang berisi isu kontemporer. Perlu sinergi dari berbagai pihak untuk mensosialisasikannya. Misalnya dengan majelis tabligh yang mempunyai ribuan mubaligh Muhammadiyah se-Indonesia. Majelis Dikdasmen yang mempunyai ribuah sekolah dan seluruh elemen persyarikatan. MTT PP. Muhammadiyah tidak boleh dibiarkan menjadi single fighter dalam mensosialisasikan produk pemikirannya.

****

Memang ada perdebatan, apakah kita perlu kembali memfatwakan sesuatu yang sudah jelas hukumnya baik secara syariat maupun common sense? Misalnya menebang hutan sembarangan itu jelas melanggar hukum negara dan perbuatan dilarang agama. Apakah perlu ada fatwa haram illegal logging? Korupsi itu jelas haram menurut hukum positif dan hukum agama. Apakah perlu fatwa bahwa korupsi itu haram?

Menurut saya sah-sah saja jika otoritas keagamaan mengeluarkan fatwa bagi isu kontemporer yang sudah jelas hukumnya. Hal ini karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius. Barangkali aturan pemerintah saja tidak membuat masyarakat kita takut, walau sudah ada ancaman sanksinya. Perlu aturan tambahan yang mendapatkan legitimasi Ilahi melalui para ulamanya. Karena itu tidak salah jika otoritas keagamaan mengeluarkan fatwa seputar illegal logging, korupsi, pengrusakan lingkungan dll.

Baca Juga  Lima Varian Salafisme di Indonesia

Selain itu, fatwa ulama terhadap isu-isu sosial politik ekonomi juga menunjukan arah keberpihakan para ulama. Korupsi jelas haram. Saat ulama berfatwa korupsi haram, maka setidaknya jelas bahwa para ulama mendukung pemberantasan korupsi.

Begitupun dengan isu-isu kontemporer lainnya. Otoritas agama akan menjadi lebih dihargai karena tak lagi melulu mengurusi persoalan-persoalan simbolik dan kosmetik dari agama, namun menggarap hal-hal substantif dari agama yakni yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds