Falsafah

Akal dan Kegaibannya

2 Mins read

Oleh: KH. Mas Mansur

Akal dan Kekuatannya

Apabila kita ditanya, apakah akal itu? Dan bagaimanakah hakikat dan wujudnya? Maka di sinilah kita manusia ini tentu diam tak bisa menjawab. Sebab, jangankan hal akal yang disimpan dan dibungkus oleh ruh kita, sedangkan hal ruh kita sendiri yang me­nyimpannya itu tak dapat kita ketahui kekuatannya, sebagaimana sabda Tuhan dalam surat Isra’ ayat 85 yang artinya demikian: “Mereka itu menanyakan padamu Muhammad tentang hal ruh, katakanlah bahwa ruh itu adalah urusan Tuhan (manusia tak akan dapat mengetahuinya).”

Jangan pula tentang ruh, sedangkan tentang sifatnya ruh, pikiran kita tak sampai mengetahuinya, bagaimana hakikat yang dikatakan hidup. Yang kita dapati hanyalah bisa mengetahui bahwa ini hidup dan ini tidak hidup. Tetapi apa hakikatnya hidup itu tak dapat kita ketahui.

Sedangkan tentang hakikat hidup ini saja tak dapat kita ketahui, apalagi tentang hakikatnya ruh yang mana hidup tadi adalah sifatnya ruh. Tentu lebih tak mengerti lagi tentang hakikatnya yang mana akal itu tersimpan dalam ruh, yang kita telah tak mengertinya, tentu semakin tiada (sangat jauh) pengertian kita padanya.

Jadi, apakah dia? Adakah ia juga makhluk? Ataukah ia sebagai Nur Illahi yang bertempat dalam badan manusia?

Dalam  memecahkan soal ini , maka  ahli-ahli  pikir  berpecah menjadi dua aliran. Yang pertama berpendapat bahwa akal adalah pancaran Nur daripada Allah SWT. Dan yang kedua berpendapat bahwa ia termasuk jenis makhluk juga. Manakah yang benar?

Kita sendiri belum dapat memastikan. Cuma, sebagai bayangan yang mirip pada pendapat yang kedua yang mengatakan bahwa akal itu adalah makhluk, maka di sini saya ajukan sebuah hadits. Akan tetapi, sayang hadits ini bercacat (dha’if). Itulah sebabnya, kita belum dapat memastikan. Hadits mana yang berarti:

Baca Juga  Oksidentalisme: Upaya Melawan Orientalisme Barat

“Sesudah Allah SWT menjadikan akal, maka berfirmanlah padanya: ‘menghadaplah engkau’. Maka akal itu pun menghadaplah. ‘Kembalilah engkau’. Maka akal itu pun kembalilah. Kemudian Allah berfirman pula: “Dengan engkau, hai akal, Aku memerintah, dan dengan engkau Aku melarang dan dengan engkau Aku memberi pahala, dan dengan engkau Aku menyiksa.”

Perhatikanlah pada kalimat yang pertama dari hadits ini, ialah dengan terang-terangan menerangkan pada kita bahwa akal itu adalah makhluk. Kemudian ia disiarkan pada sekalian makhluk di atas dunia ini. Akan tetapi, di antara segala makhluk itu kebanyakan enggan menerimanya, tak sanggup ditempai olehnya, baik kepada batu, kepada pohon-pohonan, maupun kepada binatang. Semuanya tak sanggup menerimanya.

Hanya satulah di antara mereka itu yang sanggup, ialah manusia. Setelah ia mempunyai akal, maka memuncaklah ia melebihi dari makhluk-makhluk yang lain. Timbullah kecerdasannya dapat menaklukkan segala isi bumi menurut apa yang dikehendakinya. Muncullah kekuatannya mengalahkan segala hewan-hewan yang melata dan yang terbang di atas alam ini.

Karena siapakah yang dapat mengetahui rahasia-rahasia alam yang mungil dan molek ini, perikeadaan dan perjalanan matahari, bulan dan bintang-bintangnya, kalau bukan akal manusia yang telah memuncak itu? Dan siapakah yang dapat menerbangkan, melayarkan, menjalankan benda-benda yang beku keras dan berat di alam ini dari kapal terbang, kapal api, kereta api dan lain-lainnya kalau bukan akal manusia yang begitu cerdas dan tajam itu?

Dan siapa pulakah yang sanggup menangkap, mengurung, dan menundukkan binatang-binatang yang maha kuat, besar dan buas itu, sebagaimana gajah, harimau, macan, dan lain-lainnya kalau bukan akal manusia yang menyimpan kekuatan yang luar biasa itu?

Sehingga dari ketinggiannya si akal tadi, maka timbullah paham yang berpendapat bahwa akal itu adalah percikan daripada Tuhan, sebagian daripada cahaya Tuhan.

Baca Juga  Antropologi Agama: Kritik Talal Asad terhadap Clifford Geertz (Bagian 2)

Tapi,…. Ah, di manakah tempatnya? Bagaimanakah wujud dan keadaannya? Dapatkah ia kita lihat?

Tidak. la tak akan dapat kita kenal. Apa wujud dan hakikatnya tak akan dapat kita sifatkan. Tak akan dapat kita lihat.

la gaib…. Dan kita tak akan dapat mengetahuinya.

Oleh sebab itu, kita tak perlu lagi mengetahui dan menyelidiki karena ia gaib, tak berwujud.

Disusun oleh M. Arsjad Al-Donggalawy
Sumber: Adil no. 31 Tahun VIII/4 Mei 1940
Editor: Arif
Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *