Falsafah

Islam, Modernisme, dan Akal (3): Akal Menurut Pemikiran Modern

6 Mins read

Secara pribadi saya begitu menyukai mata kuliah pemikiran dan gerakan modern di dalam Islam.

Pertama kali saya mendapatkan mata kuliah ini tatkala menjadi mahasiswa strata satu di Universitas Negeri Jakarta.

Kemudian, saat ini, di tingkat strata dua saya juga masih menemukan mata kuliah serupa di Universitas Paramadina.

Senang? Tentu saja. Tapi juga agak terkejut. Hal ini sebab, tidak jarang saya mendengar dan membaca apologi-apologi dari banyak akademisi Islamic Studies.

Mereka berapologi bahwa umat Islam tidak membutuhkan reformasi pemikiran yang bisa membawa kepada rasionalisme, sebagaimana dahulu Barat membutuhkannya.

Dalam ekspresi apologis mereka, dikatakan bahwa Islam tidak pernah mempunyai institusi gereja yang mempersekusi kebebasan orang untuk berpikir.

Katanya, Islam tidak seperti Eropa Barat di Zaman Pertengahan, yang membutuhkan alasan untuk memberontak terhadap gereja, dan akhirnya memilih menciptakan sebuah “agama” baru bernama humanisme sekuler.

Virus Apologia

Alasan mengapa orang-orang berapologia adalah karena ia sudah terlebih dahulu percaya bahwa tidak mungkin agamanya itu salah dan kurang.

Dan alasan mengapa orang tidak mau mempercayai kekurangan agamanya adalah karena keyakinannya bahwa agamanya adalah pesan langsung dari Tuhan, bukan sebuah produk pemikiran dan kebudayaan manusia.

Apologia semacam itu tidak akan bertahan lama apabila orang-orang mau menerima sejarah –dan bahkan realitas– secara apa adanya.

Apakah kita tidak akan menyebut eksekusi mati atas Hallaj dan Ain al-Qudhat –untuk menyebut sedikit sekali dari banyak sekali korban– sebagai persekusi ulama ortodoks dan negara terhadap pemikiran bebas manusia?

Apakah fatwa-fatwa sesat dan kafir bukan sebuah persekusi dan pembatasan atas kebebasan berpikir?

Apakah Islam di Zaman Pertengahan –dan, wow, di zaman modern ini juga– sepi dari fatwa-fatwa yang melanggar kebebasan manusia tersebut?

Mengapa dunia Islam penuh dengan apologi dan pembelaan-pembelaan defensif yang seringkali tidak sesuai dengan fakta dan sejarah?

Bahkan di zaman modern kita saat ini pun, alih-alih mengakui betapa banyaknya kekurangan yang peradaban Islam miliki selama ini, umat Islam jauh lebih suka untuk mencari-cari alasan bahwa sebenarnya agama dan peradabannya adalah peradaban yang maju, toleran, dan unggul.

Sepertinya, sikap defensif sudah merupakan naluri alamiah spesies kita yang selalu bekerja saat kita merasa terancam.

Begitu pula, sudah sangat alamiah bagi umat Islam untuk merasa harus terlebih dahulu melakukan penafsiran ulang atas agamanya untuk mencocokkan agamanya dengan modernitas – sebelum bisa secara jujur mengakui manfaat dan jasa dari kemajuan, kebebasan, atau toleransi yang diciptakan oleh modernisme.

Baca Juga  Epikuros, Kota, dan Perut

Akal di Fajar Modernitas

Dalam beberapa hal, ada perbedaan mendasar antara kemajuan, kebebasan, dan toleransi yang diusung oleh modernisme dengan yang diusung oleh Islam.

Begitu pula ada perbedaan yang tidak kecil antara ajaran akal dalam modernisme dengan yang diajarkan oleh Islam.

Di bagian ini, kita akan melihat bagaimana modernisme mempromosikan superioritas akal, dan dunia seperti apa yang akhirnya telah ia ciptakan.

Sementara di bagian-bagian yang selanjutnya barulah kita akan menelaah akal seperti apa yang Islam ajarkan kepada manusia.

Hal pertama yang menjadi penanda bagi modernisme adalah penghargaan atas rasionalitas atau kemampuan akal manusia dalam menentukan kebenaran.

Ide-ide modern yang muncul selanjutnya adalah akibat saja dari rasionalitas modern mereka ini.

Modernisme bercerita kepada manusia bahwa dengan akalnya sendiri ia bisa membongkar misteri-misteri alam semesta, menciptakan kemajuan kualitatif dalam sains dan teknologi, dan juga kemajuan yang sama dalam bidang-bidang sosial dan politik, serta tidak lupa kemajuan kuantitatif dalam bidang-bidang kemakmuran [kekayaan] dan ekonomi.

***

Ajaran akal di zaman modern sangatlah berbeda dari ajaran akal di Zaman Pertengahan. Di zaman yang disebut terakhir ini akal adalah alat yang cukup penting untuk digunakan menyelami naskah-naskah kitab suci, mencari kebenaran-kebenaran kosmis darinya, dan menyusun teori-teori metafisika, juga darinya.

Ciri utama Zaman Pertengahan adalah teosentrisme, dan panglima semua bidang ilmu adalah teologi. Dengan menyebut “Zaman Pertengahan” tentu saja Islam sebagai doktrin dan peradaban juga termasuk ke dalamnya.

Banyak universitas modern yang kita [masyarakat dunia] banggakan hari ini berasal dari universitas Zaman Pertengahan, dan berawal dari sebuah sekolah teologi atau seminari.

Dalam suasana yang seperti itu, sesuatu yang penting kemudian terjadi di zaman modern, sewaktu manusia mengambil alih otoritas kebenaran dan pusat perhatian dari Tuhan.

Hal ini membuat beberapa filsuf kita memandang zaman modern sebagai zaman antroposentrisme – kebalikan dari teosentrisme Zaman Tengah.

Sebenarnya, manusia bukan benar-benar menjadi satu-satunya pusat perhatian di zaman modern.

Manusia modern hanya tidak mau lagi membuat akalnya tunduk dan takut pada agama atau pada penafsiran-penafsiran otoritas agama dan politik.

Akal dan Subjectum

Banyak sejarawan melihat pergeseran dari teosentrisme Zaman Tengah menuju antroposentrisme modern ini terjadi secara berangsur-angsur – alias tidak sekali jadi.

Maka, adalah naif jika ada yang mengatakan bahwa semua pemikir modern pastilah orang-orang yang ateis karena tidak lagi meletakkan Tuhan dalam pusat pandangan-dunianya.

Fakta menunjukkan kepada kita bahwa kebanyakan pemikir modern awal, termasuk orang-orang yang lebih kita kenal sebagai ilmuwan sains alam, adalah juga seorang teolog, atau seorang yang sangat religius, atau bahkan seorang mistikus.

Baca Juga  Teori Belajar Humanistik ala Abraham Maslow

Hanya saja itu semua berada dalam pengertian teologi dan religiusitas modern, yang sudah memiliki metode-metode yang baru dalam menjelaskan relasi antara Tuhan, alam, dan manusia.

Namun dibandingkan itu semua, yang jauh lebih penting untuk diskusi kita di sini adalah kesadaran baru umat manusia yang lahir di zaman modern tersebut.

Setelah selama ribuan tahun hanya menjadi aktor pendamping bagi sosok-sosok yang dianggap lebih penting seperti Tuhan, nabi, santo, atau kaisar – kini, di zaman modern, panggung drama menjadi terbuka untuk setiap individu manusia.

Secara harfiah, kini semua orang adalah subjek yang menentukan, aktor penting dalam kehidupan, dan bebas menggunakan akalnya untuk menciptakan kemajuan.

Sejarawan dan filsuf menyebutnya kesadaran subjectum. Dan di sinilah sebenarnya terletak inti dari ajaran modernisme mengenai akal.

Tidak ada manusia yang terlahir tanpa akal, sehingga tidak ada manusia yang bisa untuk dianggap tidak berarti.

Pada waktunya kelak, teori imperatif moral dari Kant mempertegas ajaran subjectum, akal, dan individualisme ini.

Kata Kant: Manusia adalah tujuan dari semua perbuatan, maka perlakukan semua orang sebagaimana ia adalah tujuan, bukan sekadar alat.

Kritik Akal

Adalah Descartes yang memperkuat aspek ontologis dan epistemologis ajaran akal dalam modernisme. Kita sudah hafal kata-katanya yang sudah bagaikan mantra, cogito ergo sum, yang berarti “aku berpikir maka aku ada.”

Ramai filsuf menyatakan bahwa ucapan Descartes ini adalah rumusan paling singkat dan paling padat mengenai ide modern tentang akal, subjek, dan individu.

Sepertinya, Descartes juga ingin menyampaikan kepada kita bahwa sejak saat ini kita harus mulai menyadari akal kita sendiri, dengan begitu kita bisa menyadari bahwa akal mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk menguak misteri-misteri realitas.

Di dalam kredo modern Descartes tersebut, akal yang berpikir adalah penentu atas segala sesuatu, sebab hanya dengan berpikir maka aku menjadi ada.

Baiklah, jika memang seperti kata Descartes bahwa akal itu luar biasa, lalu apa buktinya bahwa ia memang luar biasa? Kita berpikir sejak masih kanak-kanak, dan itu semua tampak biasa-biasa saja, kok.

***

Di sinilah pentingnya memahami konsekuensi logis dari ide tentang akal dalam diri manusia sebagai subjectum yang menentukan kehidupan.

Karena akal, dan hanya karena akal-lah yang merupakan satu-satunya otoritas yang paling esensial, maka akal berhak melakukan kritik atas siapa pun dan apa pun.

Baca Juga  Hasan Hanafi: Tiga Agenda Besar Oksidentalisme

Kritik akal ditujukan kepada apa saja yang menghalangi jalannya untuk menebak kebenaran dan untuk menciptakan kemajuan.

Adalah akal dari Copernicus dan Galileo yang mengkritik ajaran geosentrisme Ptolomeus yang dipertahankan oleh otoritas gereja. Adalah akal Luther yang mengkritik dogma-dogma irasional Paus di Roma.

Begitu juga, adalah akal rakyat Prancis yang membebaskan mereka dari kediktatoran. Atau, di masa yang belum lama berlalu, Anda bisa menyebut bahwa adalah akal rakyat Jerman yang mengkritik komunisme dan meruntuhkan Tembok Berlin.

Lalu, adalah akal rakyat Indonesia yang menghentikan dan menjatuhkan diktator Suharto, atau adalah akal rakyat Mesir yang menghancurkan rezim Mubarak.

Seperti yang terus-menerus terulang dalam sejarah, kritik akal selalu membuka gerbang kebebasan bagi umat manusia.

Dengan kata lain, bila Descartes meletakkan dasar-dasar ontologis dan epistemologis akal sebagai sumber paling absah dalam urusan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka kritik akal mempertegas peran-peran praktis, sosiologis, dan politis akal.

Penutup

Secara praktis, kritik akal membuat individu dan masyarakat menjadi terbebas dari otoritas agama dan tradisi yang tidak rasional.

Kritik akal membuat mereka mampu menghancurkan segala macam asumsi-asumsi metafisik dan mitologis Zaman Tengah yang menyesatkan pandangan manusia dari realitas apa adanya.

Masih ketika di awal-awal zaman modern yang kita bicarakan, pada era yang disebut Enlightenment (Pencerahan), Kant merumuskan apa yang ia sebut kritik akal ini sebagai keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan dan batasan tradisi dan otoritas.

Secara agak dramatis, Kant menamai momen keberanian akal dalam melakukan kritik ini sebagai “terbangun dari tidur dogmatis”.

Bagi filsuf Kant –dan bagi modernisme pada umumnya– kritik akal adalah penyelamat manusia setelah sekian lama ia tenggelam dalam lautan asumsi-asumsi tradisional yang irasional, yang hanya meninabobokan mereka, dan menghambat kemajuan mereka.

Dan dengan demikian, kritik akal telah membawa kita kepada satu lagi konsekuensi logis dari ajaran modern mengenai akal, yaitu kemajuan (progress).

Jika akal adalah sumber utama ilmu pengetahuan, dan ia akan selalu mampu dan vital mengkritik apa pun yang tidak rasional, maka ke mana kah ia –akal– sebenarnya membawa kehidupan kita ini?

Kemajuan, seperti yang bisa Anda tebak, adalah jawabannya. Kemajuan ini terjadi dalam berbagai bidang – terutama dalam bidang kebebasan politik, toleransi sosial, scientific discovery, dan juga, seperti kata Adam Smith, dalam penciptaan kekayaan.

Bersambung. []

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *